Mohon tunggu...
Bustanil Ilmi Agustin
Bustanil Ilmi Agustin Mohon Tunggu... Guru - Beginner

Seorang guru bahasa sekaligus mahasiswi pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Nasib dan Nasab

15 Januari 2024   08:44 Diperbarui: 7 Maret 2024   00:18 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokumentasi pribadi

Semuanya berawal ketika Ridho bertemu dengan Tia di salah satu Universitas di Jogja. Mereka berdua kuliah di jurusan yang sama, yaitu sastra Arab. Tia adalah seorang mahasiswa baru sedangkan Ridho adalah seniornya. 

Ridho mulai jatuh hati pada Tia sejak Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) satu bulan yang lalu. Tia memang memiliki paras yang cantik, suara yang merdu, dan juga pandai, sehingga tak heran mengapa Ridho jatuh hati padanya.

Seiring berjalannya waktu, ternyata Tia juga memiliki perasaan yang sama kepada Ridho. Hubungan mereka menjadi semakin dekat dan akrab --lebih dari sekedar teman biasa. 

Tak lama kemudian, mereka memutuskan untuk berpacaran. Layaknya sepasang kekasih, mereka selalu bersama kemanapun mereka pergi. 

Mulai dari makan, jalan-jalan, nonton, ngerjain tugas kuliah, belanja, bahkan sampai ikut lomba. Saking seringnya, orang-orang satu fakultas tahu kalau mereka berpacaran --termasuk dosen dan karyawan.

***

Tidak banyak yang tau bahwa Ridho adalah seorang putra kiai sekaligus pengasuh pondok pesantren ternama di Madura. Lahir di kalangan keluarga pesantren membuat Ridho tumbuh menjadi seorang yang manja. Bagaimana tidak? Di rumah semuanya serba ada. 

Jika membutuhkan bantuan, ia tinggal memanggil mbak-mbak atau mas-mas santri. Semua keinginanya pun selalu dituruti. Namun, untuk masalah agama Ridho memang jagonya.

Ayah Ridho bernama Kiai Hamid. Beliau merupakan keturunan dari KH. Anwar Situbondo. Sedangkan ibunya bernama Nyai Halimah, keturunan dari kiai Hasan Pasuruan. 

Sebagai tokoh agama, keluarga Ridho sangat disegani masyarakat sekitar. Oleh karena itu, apa saja yang dilakukan dan diucapkan oleh keluarganya kerap kali dijadikan sebagai panutan.

***

Berbeda dengan Ridho, Tia harus berusaha keras untuk mewujudkan keinginannya. Ia tumbuh menjadi seorang yang mandiri dan berbakti kepada orangtuanya. 

Tidak pernah sekalipun ia menolak permintaan orangtuanya, terutama ibunya. Ketika ibunya terbaring sakit, Tia yang mengurus semua pekerjaan rumah sementara adik-adiknya bersekolah dan ayahnya pergi ke sawah.

Tia hanyalah seorang putri petani dari Gunungkidul. Tidak banyak yang tau pula bahwa ia broken home. Orangtuanya berpisah sejak Tia masih duduk di bangku sekolah dasar. 

Beberapa tahun setelahnya, ibunya menikah lagi. Dari pernikahan tersebut, Tia memiliki dua saudara tiri. Meskipun hidup sederhana, tetapi keluarganya bahagia dengan apa yang mereka punya.

***

Setelah tiga tahun menjalin cinta, keduanya sepakat untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius --pernikahan. Tia memang belum pernah bertemu dengan orangtua Ridho tetapi Ridho pernah berkunjung ke rumahnya dan bertemu dengan kedua orangtuanya. 

Sebenarnya ada kekhawatiran dan ketakutan dalam benak orangtua Tia karena perbedaan status sosial antara Tia dan Ridho. Namun, menurut mereka Ridho adalah pribadi yang baik, santun, penyayang, dan bertangung jawab. Sehingga ketakutan itu musnah dan orangtua Tia pun merestui hubungan mereka.

Sebaliknya, ketika Ridho meminta restu kepada orangtuanya, Kiai Hamid langsung menanyakan bagaimana latar belakang keluarga Tia. Ridho akhirnya berterus terang bahwa Tia bukan berasal dari keturunan kiai. Spontan kiai Hamid menolak permintaan Ridho. 

Beliau menganggap bahwa Tia tidak sekufu dengan Ridho baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Sebenarnya Ridho pernah ditawarkan beberapa Ning yang lebih cantik daripada Tia. 

Tetapi Ridho bersikeras memilih Tia dan mencoba membujuk ayahnya. Namun, hasilnya tetap sama, usahanya berakhir sia-sia. Ia telah gagal memperjuangkan Tia dihadapan orangtuanya.

"Abah, memangnya pernikahan antara sesama kalangan kiai akan menjamin keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah?", tanya Ridho kepada Kiai Hamid.

"Mungkin tidak. Tetapi percayalah, ketika anaknya akan menikah, para kiai selalu bertafakkur untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi anaknya.", jawab Kiai Hamid.

Ridho terdiam menahan tangis

"Apa seorang Gus itu harus dapet Ning? Begitupun sebaliknya?", gumamnya dalam hati.

Ridho memahami bahwa ayahnya hanya ingin menjaga kemurnian nasab dan mengembangkan pesantren. Ia juga menyadari bahwa sebagai penerus, ia harus melanjutkan syi'ar yang telah dirintis keluarganya. 

Kali ini ia berhadapan dengan pilihan yang sulit. Di satu sisi ia tidak ingin menyakiti Tia, tetapi di sisi lain ia juga tidak ingin durhaka kepada orangtuanya. Terlebih lagi Kiai Hamid mulai sakit-sakitan.

Namun, Ridho sangat mencintai Tia. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Pikirannya kacau. Jika Ridho menuruti keegoisannya --menikah tanpa restu, maka ia harus siap menerima resiko diasingkan oleh keluarganya. 

Hal itu dilakukan karena menikah dengan masyarakat biasa dianggap melanggar tradisi yang sudah ada. Bagaimana Ridho akan menjelaskan semua ini kepada Tia sedangkan Tia pernah berkata bahwa ia tidak mau menikah dengan siapapun tanpa restu orangtua.

Setelah berpikir panjang, dengan berat hati Ridho memutuskan untuk berpura-pura dijodohkan dengan wanita lain. Dengan begitu Tia akan membencinya dan mudah untuk melupakannya. 

Ridho tidak ingin keluarganya dianggap egois sehingga ia terpaksa membohongi wanita yang ia cintai. Sebenarnya ia tak tega melukai Tia, tapi hanya ini yang bisa ia lakukan saat ini. Ridho tidak ingin Tia tau kalau hubungan mereka tidak mendapat restu. Ia hanya berusaha berbakti kepada kedua orangtuanya.

Beberapa hari kemudian Ridho menemui Tia di taman fakultas. Seperti biasa, mereka berdua duduk di tepi kolam. Ridho belum siap untuk jujur kepada Tia. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetaran. Matanya sembab dan wajahnya pucat. Hatinya masih tersayat.

"Tia, Mas mau ngomong sesuatu", Ridho memulai pembicaraan.

"Iya, Mas. Mau ngomong apa?", tanyanya penasaran.

"Maafin Mas, ya. Ternyata Mas udah dijodohin sama orang lain", Ridho tak kuasa menatap mata Tia.

"Mas Ridho bohong kan? Pasti Mas mau ngeprank aku, tapi ini sama sekali ngga lucu, Mas", Tia meminta penjelasan.

"Mas ngga bohong, tolong sampaikan permintaan maaf Mas sama bapak dan ibu, ya. Mas sayang sama Tia", jawab Ridho pelan.

Tia sangat terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Ridho. Air mata mulai membasahi pipinya. Hatinya hancur sehancur-hancurnya, ia menangis sejadi-jadinya. 

Tia masih belum percaya dengan semua ini. Rasanya seperti mimpi, mimpi yang buruk sekali. Tia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam seribu bahasa.

Ridho mengusap air mata Tia

"Sabar ya, sayang. Mas Ridho berharap Tia kelak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Mas. Mas ingin melihat Tia bahagia", bisik Ridho sambil menggenggam tangan Tia.

Beginilah cara Ridho mencintai Tia. Ia rela melepaskan wanita pilihannya demi menyenangkan hati kedua orangtuanya. Memang tidak mudah baginya, tapi ia mencoba untuk ikhlas. 

Mungkin nasib hanya sekadar mempertemukan Ridho dan Tia, bukan menyatukan. Siapa sangka bahwa nasab akan membuat mereka berpisah. Kini mereka berjalan di alur cerita yang berbeda. Bagaimanapun akhirnya, semoga inilah yang terbaik untuk keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun