Mohon tunggu...
Bustanil Ilmi Agustin
Bustanil Ilmi Agustin Mohon Tunggu... Guru - Beginner

Seorang guru bahasa sekaligus mahasiswi pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Nasib dan Nasab

15 Januari 2024   08:44 Diperbarui: 7 Maret 2024   00:18 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokumentasi pribadi

"Mungkin tidak. Tetapi percayalah, ketika anaknya akan menikah, para kiai selalu bertafakkur untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi anaknya.", jawab Kiai Hamid.

Ridho terdiam menahan tangis

"Apa seorang Gus itu harus dapet Ning? Begitupun sebaliknya?", gumamnya dalam hati.

Ridho memahami bahwa ayahnya hanya ingin menjaga kemurnian nasab dan mengembangkan pesantren. Ia juga menyadari bahwa sebagai penerus, ia harus melanjutkan syi'ar yang telah dirintis keluarganya. 

Kali ini ia berhadapan dengan pilihan yang sulit. Di satu sisi ia tidak ingin menyakiti Tia, tetapi di sisi lain ia juga tidak ingin durhaka kepada orangtuanya. Terlebih lagi Kiai Hamid mulai sakit-sakitan.

Namun, Ridho sangat mencintai Tia. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Pikirannya kacau. Jika Ridho menuruti keegoisannya --menikah tanpa restu, maka ia harus siap menerima resiko diasingkan oleh keluarganya. 

Hal itu dilakukan karena menikah dengan masyarakat biasa dianggap melanggar tradisi yang sudah ada. Bagaimana Ridho akan menjelaskan semua ini kepada Tia sedangkan Tia pernah berkata bahwa ia tidak mau menikah dengan siapapun tanpa restu orangtua.

Setelah berpikir panjang, dengan berat hati Ridho memutuskan untuk berpura-pura dijodohkan dengan wanita lain. Dengan begitu Tia akan membencinya dan mudah untuk melupakannya. 

Ridho tidak ingin keluarganya dianggap egois sehingga ia terpaksa membohongi wanita yang ia cintai. Sebenarnya ia tak tega melukai Tia, tapi hanya ini yang bisa ia lakukan saat ini. Ridho tidak ingin Tia tau kalau hubungan mereka tidak mendapat restu. Ia hanya berusaha berbakti kepada kedua orangtuanya.

Beberapa hari kemudian Ridho menemui Tia di taman fakultas. Seperti biasa, mereka berdua duduk di tepi kolam. Ridho belum siap untuk jujur kepada Tia. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetaran. Matanya sembab dan wajahnya pucat. Hatinya masih tersayat.

"Tia, Mas mau ngomong sesuatu", Ridho memulai pembicaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun