Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hallo Maya, Selamat Pagi?

9 Desember 2012   03:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:58 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini masih pukul 07.04. Masih terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Namun dipagi itu, pukul tujuh lewat tujuhbelas menit, aku sudah rapih berpakaian. Entah dapat mukjizat darimana , kali ini aku ingin datang pagi-pagi sekali ke kampus. Setidaknya itu untukku yang selalu berangkat limabelas menit menjelang pukul delapan. Biasanya sih aku tiba di kampus tepat tiga menit menjelang kuliah dimulai. Jadi, sudah biasa mepet, yang penting kuliah, ya gak ? Kan sudah mahasiswa, kuliah itu kudu, harus, dan wa........jib. Hehehhehe, biasanya sih aku sering bolos cuma buat nongkrong di ruang Unit Kegiatan Mahasiswa, pura-pura diskusi politik.

Lanjut. Menjadi mahasiswa memang cita-citaku. Tidak perlu lagi berseragam seperti masa SD upto SMA. Kalau sudah jadi mahasiswa mau pakai baju apa saja asal sopan, silahkan. Mau yang out of date juga tidak ada yang menggugat. Maka hari ini aku pakai kemeja batik dengan warna dasar kuning gading dan celana jeans. Sssttt, jangan bilang-bilang ya kalau itu pakaian lebaran yang kemarin. Sementara sepatuku cukup sepatu kets mirip sepatu NB yang dipakai anak-anak sekolah, hiks hiks....

Setelah itu, tidak lupa aku mengenakan jaket mahasiswa kesayangan. Cuma jaketnya sudah terlalu lusuh untuk dipakai lagi. Tidak keren untuk dilirik. Bukan karena sering dicuci, tapi justru karena sering diumpel-umpel setelah habis demo atawa camping.  Meski begitu, aku paling bangga kalau sudah memakai jaket mahasiswa. Jaket itu bak "halo-halo" yang mempromosikan kalau aku adalah seorang mahasiswa. Jelas kan, kalau aku seorang kapiten bukan pakai jaket dong.

Tralala....... aku sekarang sudah di atas motor. Menyusuri jalanan beraspal menuju kampus. Cuma, apa motorku yang emang sudah jadul atau jalanan kota Semarang yang tidak lagi nyaman, aku tidak lagi bebas menyalip kanan kiri. Sesaat ketika memasuki Simpang Lima, aku tidak sabar dengan banyaknya mobil pribadi yang berjalan seolah penari Bedhoyo Ketawang. Uppss...sedikit lagi lampu merah akan menyala. Lampu  hijau mulai berganti kuning. Aku tidak mau warna lampu itu berubah !

Kesempatan datang ketika sebuah sedan Honda Civic tahun 1997 warna hijau tua memberi ruang untuk disalip. Tanpa permisi aku langsung memepet dan memotong jalur. Satu detik kemudian nyaris aku sudah melewati mobil itu. Tetapi sebuah Kijang putih  1993 tiba-tiba nyelonong ingin ikut masuk.

Sedam Civic tidak mau kalah. Aku kini terjepit diantara dua kendaraan legenda (daripada dibilang jadul, ya kan ). Karena gugup akupun terjatuh. Untung aku mengenakan helm, jadi masih selamat (hehehhehe...promosi manfaat helm). Masih untung lagi, kedua mobil tadi sempat mengerem. Aku hanya mengalami luka gores sedikit. Setelah meminggirkan motor dan juga kedua mobil tadi ikut minggir, aku baru melihat dengan jelas siapa saja pengemudi kedua mobil lawas tadi.

"Kamu tidak apa-apa ?" tanya seorang perempuan cantik yang usianya kira-kira duapuluhan.

"Tidak, tidak apa-apa. Aku memang salah," aku tiba-tiba saja mengakui kesalahanku.

"Memang kamu yang salah, Bung ! Makanya naik motor  harus hati-hati !" maki seorang laki-laki yang usianya kira-kira limapuluhan.

"Aku tidak naik motor, tetapi mengendarai," aku menjawab santai.

"Dasar ! Sudah tahu salah malah ngejek !" maki laki-laki itu lagi sambil cepat berlalu.

"Lho, aku kan berkata apa adanya ?" aku masih mengambil posisi santai.

"Sudah, bila kamu benar tidak luka, aku mau segera pergi," perempuan cantik itu segera menengahi.

"E...eh, mbak, eh....., mau pergi kemana ?" tanyaku spontan.

"Mau ke kampus," jawab perempuan cantik itu sambil tersenyum.

"Kampusnya dimana ?" aku nekat bertanya.

"Di UNDIP," jawab perempuan itu tetap dengan senyum manisnya.

"Oh, aku juga kuliah disana, di sebelahnya," aku menanggapi sekenanya.

"Sudah dulu ya, aku ada kuliah pagi ini," kata perempuan itu ingin cepat-cepat berlalu.

"Aku juga. Kalau bisa kita kesana sama-sama ya ?" aku semakin nekat bertanya.

"Bagaimana bisa ?" perempuan itu kebingungan.

"Aku tetap naik motor, mbak naik sedan itu," kataku ringan.

"Aku naik Kijang ini, sedan itu milik bapak yang tadi," perempuan itu menjawab sambil tesenyum geli.

"Ok, sudah dulu ya ?" kata perempuan itu lagi.

"Tunggu dulu, mbak siapa namanya dan dari jurusan apa ?" aku tidak mau kehilangan kesempatan.

"Ehm...., namaku Maya. Aku di jurusan Manajemen Bisnis," perempuan itu menjawab dengan ragu-ragu.

"Nama yang bagus sekali," aku memuji sambil tersenyum semanis mungkin.

"Ok, aku pergi dulu ya," perempuan itu kali ini tidak memberiku kesempatan yang kedua dan berikutnya.

Aku pun tidak lagi mengejarnya dengan pertanyaan konyol bualanku. Aku membiarkan Maya memasuki Kijangnya dan berlalu dari hadapanku. Tetapi aku masih tetap tidak dapat melupakan wajahnya yang bulat cantik, matanya yang berbinar indah, bibirnya yang tipis ranum dengan lipstik merah jambon, alisnya yang hitam bak bulan sabit, penampilannnya yang anggun dengan blazer dan celana panjang warna hijau pastel, ooooooohhhhhhhhh seakan bidadari turun dari pesawat ruang angkasa.

Hahhahaa, aku tiba-tiba saja berubah menjadi seorang penyair dadakan. Aku sendiri tidak mau kehilangan kesempatan entah ke beberapa kali. Aku cepat-cepat naik motor kembali dan terus saja menguntit kemana Kijang itu pergi. Ternyata benar, Kijang itu bergerak menuju kawasan Pleburan. Aku masih saja terus mengikuti hingga Kijang itu berhenti di tempat parkir Fakultas Ekonomi.

Aku masih tetap pe-de ketika Kijang itu diparkir di tempat khusus para dosen. Tempat parkir di pagi itu memang telah penuh dengan mobil aneka merk. Aku berfikir memang hak setiap civitas academica untuk mengambil tempat parkir dimana saja. Tanpa terkecuali di tempat khusus untuk para dosen. Masa hak eksklusif juga berlaku sampai ke tempat parkir sih ? Lagi pula, mana mungkin dosen punya mobil Kijang jadul seperti yang Maya punya ? Berarti, dia mahasiswa juga kan, seperti aku ?

Masalahnya, aku tidak tahu harus taruh dimana motorku ini ? Padahal aku ingin sekali mendampingi "Dewi Nawangwulan" ku ini ? Hiiiiii, aku malah mengibaratkan menjadi Joko Tarub. Dengan penuh percaya diri, aku nekat saja memarkirkan motorku di sisi Kijangnya Maya. Masalah nanti aku harus jalan kaki jauh ke kampusku sendiri, urusan belakang. Belum sempat aku mendirikan standar motor, tiba-tiba saja sudah ada petugas Satpam menghampiriku. Sementara itu Maya sudah membuka pintu mobilnya pula.

"Selamat pagi, bu Maya ?" sapa Satpam itu.

"Pagi," sahut Maya dengan ramah.

"Oh, ya. Maaf mas, ini tempat parkir mobil dosen, bukan untuk motor," tegur petugas Satpam itu kepadaku dengan tatapan mata tajam.

"Aku tahu, tetapi tempat parkir lain sudah penuh," aku menjawab penuh percaya diri.

"Untuk parkir motor mahasiswa, masih banyak tempat di sana, mas," Satpam itu menunjuk ke satu arah.

"Motorku ini tidak mau berpisah dengan mobilnya Maya," aku masih tidak perduli.

"Bu Maya, mas. Tolong berkata yang sopan !" Satpam itu mulai tidak sabar.

"Aku biasa memanggilnya dengan Maya," aku tidak mau lagi tahu.

"Mas, bu Maya ini dosen, sekaligus ketua jurusan !" Satpam itu berkata keras.

"Ketua jurusan ?" aku hampir mau tertawa.

Sementara itu Maya melihatku dengan tatapan datar. Aku mau terus saja tertawa, tetapi akhirnya aku sadar sendiri. Maya memang terlihat masih muda. Masih belum terlihat pantas dilihat sebagai ketua jurusan. Setidaknya itu dimataku. Namun yang membuatku ciut adalah bahwa tiba-tiba saja terlintas difikiranku sejumlah mata kuliah yang nilainya selalu pas rata-rata untuk tidak di DO.

Belum lagi ada tujuh mata kuliah yang  harus diulang karena TL. Sekarang ini sudah beberapa hari aku membolos. Maka berhadapan dengan Maya, aku jadi seperti terpidana. Tanpa banyak berkelit lagi, aku menuruti perintah Satpam. Malah aku sedikit gemetar ketika menghidupkan mesin motor.

"Maaf, bu Maya, aku mau permisi," aku berkata gugup.

"Ya, lain kali kita ketemu lagi," Maya menjawab sambil tersenyum.

Aku tidak berani bicara lagi. Menatapnya pun tidak berani. Aku benar-benar pergi dan tidak ingin bertemu lagi dengannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun