Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebangkitan Jathil Lanang dalam Seni Reog Ponorogo

17 September 2017   14:44 Diperbarui: 18 September 2017   09:49 5205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reyog obyog di desa Bedingin Sambit

Lebih lanjut mas Dirman mengatakan, warog tak ubahnya guru. Guru dalam seni, kepribadian, bahkan sudah dianggapnya sebagai orang tua. Pelaku seni menurutnya lebih dihargai pada masa itu, para penari jathilan diasuh disekolahkan tak ubahnya diberi bea siswa.

Apresiasi luar biasa buat mas Dirman mas Andi Pranata. Kami berkesempatan menikmati gemulainya penari lelaki yang sempat menjadi kontroversi. Meski usia mas Dirman sudah 54 tahun tapi "maaf" kecantikanya tak kalah dengan jathilan perempuan. Bahkan membuat ibu-ibu yang nonton pertunjukan menjadi cemburu karena para suaminya menggoda mas Dirman dan Andi.

Reyog obyog di desa Bedingin Sambit
Reyog obyog di desa Bedingin Sambit
Terima kasih pula pada masyarakat Bedingin Sambit, Nostalgia reog jalanan kembali dapat kami nikmati, rasa reyog jaman tempo dulu bisa kami saksikan.

Mereka menari sambil berjalan di jalan jalan desa, berhenti tiap kali di pertigaan atau perempatan. Antusias penonton melebur dalam keramaian, penonton bergantian menabuh gamelan, dan saling berebut ingin memanggul barongan dadak merak.

Penonton lebur ikut menembang lagu lagu campursari dalam mengiringi jejogetan. Lagu lagu perjuangan tak luput dinyanyikan mumpung perayaan Agustusan  masih berlangsung. Hampir sulit di bedakan mana penonton dan pemain, semua seakan merasa memiliki. Saling menghibur dan saling terhibur, mereka menari, bernyanyi, adzan Magrib yang menghentikan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun