Lebih lanjut mas Dirman mengatakan, warog tak ubahnya guru. Guru dalam seni, kepribadian, bahkan sudah dianggapnya sebagai orang tua. Pelaku seni menurutnya lebih dihargai pada masa itu, para penari jathilan diasuh disekolahkan tak ubahnya diberi bea siswa.
Apresiasi luar biasa buat mas Dirman mas Andi Pranata. Kami berkesempatan menikmati gemulainya penari lelaki yang sempat menjadi kontroversi. Meski usia mas Dirman sudah 54 tahun tapi "maaf" kecantikanya tak kalah dengan jathilan perempuan. Bahkan membuat ibu-ibu yang nonton pertunjukan menjadi cemburu karena para suaminya menggoda mas Dirman dan Andi.
Mereka menari sambil berjalan di jalan jalan desa, berhenti tiap kali di pertigaan atau perempatan. Antusias penonton melebur dalam keramaian, penonton bergantian menabuh gamelan, dan saling berebut ingin memanggul barongan dadak merak.
Penonton lebur ikut menembang lagu lagu campursari dalam mengiringi jejogetan. Lagu lagu perjuangan tak luput dinyanyikan mumpung perayaan Agustusan  masih berlangsung. Hampir sulit di bedakan mana penonton dan pemain, semua seakan merasa memiliki. Saling menghibur dan saling terhibur, mereka menari, bernyanyi, adzan Magrib yang menghentikan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H