Di akhir tahun 80-an keberadaan penari jathil lanang (lelaki) Â tergantikan dengan jathil perempuan. Dengan segala kontroversi masa itu terutama tentang isue hubungan sesama jenis sesama lelaki.
Alasan lain menurut mas Oky tahun 1991 Â TMII meminta jathilan perempuan untuk reog akan ditampilkan diperhelatan di TMII tersebut, dengan alasan waktu itu jathil perempuan lebih menjadi daya tarik.
Dengan perubahan tersebut perlahan kontroversi gemblak juga berangsur memudar, meskipun sampai sekarang makna gemblak tiap daerah berbeda.
Intervensi dari kalangan agamawan kala itu cukup memberi andil, tak hanya pada kesenian reog. Sampai-sampai orang kelompok yang tidak setuju jathilan lelaki membuat group kesenian jaran kepang, terutama pemuda remaja masjid di daerah Pulung dan Sooko.
Di awal 2017 tahun ini, nampak ada semacam kerinduan pada masa silam. Ingin mengembalikan seperti jaman dulu.
Munculnya jathil lanang di beberapa daerah, seringkali tampil jathilan lelaki pada reog obyogan. Mulai lagi ada anak lelaki yang berlatih jathilan di daerah daerah pinggiran. Muncul juga istilah sebutan untuk kegiatan seperti jaman sebelum tahun 90-an sebagai pertanda bila kesenian itu tidak statis, menyesuaikan jaman.
Mas Dirman seusai tampil menjadi jathil lanang di desa Bedingin (beberapa hari yang lalu ) mengatakan, dia mencintai reog, dia akan melakukan segala hal untuk kemajuan reog.
Menurut dia gemblak tak beda dengan cantrik, tugasnya melayani warok. Sedangkan warok atau pengasuh gemblak tak ubahnya sebagai orang tua asuh. Mas Dirman sangat berterima kasih pada warok, para jathilan lelaki atau ada yang menyebut gemblak bisa mencicipi sekolah lebih tinggi, sampai menjadi orang (berhasil). Mas Dirman juga tidak menampik kalau sebagian dari jathil lanang pada jamannya ada yang menjadi kurban pelecehan sexual oleh oknum warok.
Lebih lanjut mas Dirman mengatakan, warog tak ubahnya guru. Guru dalam seni, kepribadian, bahkan sudah dianggapnya sebagai orang tua. Pelaku seni menurutnya lebih dihargai pada masa itu, para penari jathilan diasuh disekolahkan tak ubahnya diberi bea siswa.
Apresiasi luar biasa buat mas Dirman mas Andi Pranata. Kami berkesempatan menikmati gemulainya penari lelaki yang sempat menjadi kontroversi. Meski usia mas Dirman sudah 54 tahun tapi "maaf" kecantikanya tak kalah dengan jathilan perempuan. Bahkan membuat ibu-ibu yang nonton pertunjukan menjadi cemburu karena para suaminya menggoda mas Dirman dan Andi.
Mereka menari sambil berjalan di jalan jalan desa, berhenti tiap kali di pertigaan atau perempatan. Antusias penonton melebur dalam keramaian, penonton bergantian menabuh gamelan, dan saling berebut ingin memanggul barongan dadak merak.
Penonton lebur ikut menembang lagu lagu campursari dalam mengiringi jejogetan. Lagu lagu perjuangan tak luput dinyanyikan mumpung perayaan Agustusan  masih berlangsung. Hampir sulit di bedakan mana penonton dan pemain, semua seakan merasa memiliki. Saling menghibur dan saling terhibur, mereka menari, bernyanyi, adzan Magrib yang menghentikan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H