Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ada Pantai Kuta di Pelosok Pacitan

4 September 2016   07:13 Diperbarui: 4 September 2016   12:46 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gundukan bukit berbatu ini memisahkan dua pantai, yang sebelah barat cocok untuk sunset, sedangkan yang timur untu sunrise. Tampak pula bangunan baru yang teratur dan modern untu menginap

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 Km dari kota Pacitan, akhirnya sampai juga di Desa Watu Karung. Sebenarnya ada rambu dari papan, rambu jalan sedang diperbaki. Tapi setelah tanya salah satu warga di sekitar rambu, katanya bisa dilewati dan alasan ini membuat nekat.

 “Maaf mas... jalan ke pasir putih sedang dikeruk pakai alat berat, bila pengin ke sana beserta mobil, harus jalan kaki 150-an meter...” kata petugas tiket.

“Jauh mas?” tanya saya lagi

“150 meter mas, mobil taruh di selatan lapangan ini saja aman..” katanya sambil menunjuk ke lapangan yang disarankan. Lapangan yang saban hari dipakai bongkar muat para nelayan Pantai Watu Karung sekaligus merupakan pasar ikan (TPI).

Sebenarnya saya tidak gampang percaya pada orang tentang jarak saat di daerah beginian, seringnya orang bilang, 'cuma itu lo... deket situ.... habis itu belok.... ' Karena yang ditunjuk 'situ' seringkali terlihat dekat namun harus menuruni lembah dan menaiki bukit. Wakakaka! Akhirnya saya turun dan segera menenteng tas kamera.

Tampak alat berat mengepras jalan, jalan sedang dikeruk biar landai. Mirip memotong gunung karena dari sisi timur (tempat saya berjalan) dan barat lebih rendah. Jalan yang di keras sepanjang 150-an meter. Wakakaka tadinya saya berharap 150 di balik gunung batu yang dikepras adalah pantai.

“Jalan ke pantai pasir putih sebelah mana ya..” tanya saya pada para pekerja pengerasan.

“Mas terus saja jalan, setelah ada gapura nanti belok kiri 500 meter... nah di situ pantainya...” jawabnya sambil nunjuk-nunjuk. Benar 150 kata penjaga tiket, wakakaka.. Nambah angka nol-nya satu. 150 ternyata 1500.

gundukan bukit berbatu ini memisahkan dua pantai, yang sebelah barat cocok untuk sunset, sedangkan yang timur untu sunrise. Tampak pula bangunan baru yang teratur dan modern untu menginap
gundukan bukit berbatu ini memisahkan dua pantai, yang sebelah barat cocok untuk sunset, sedangkan yang timur untu sunrise. Tampak pula bangunan baru yang teratur dan modern untu menginap
Setelah melewati gundukan yang dikepras saya melewati perkampungan, perkampungan yang datar mirip kota kecil. Rumah-rumahnya sederhana. Berkali-kali berpapasan dengan bule, semakin mendekati pantai nampak homestay dan vila dengan gaya modern tidak berkonsep seperti homestay di pantai-pantai Pacitan lainnya. Di Watu Karung ini lebih rapi, mirip-mirip bangunan di Kuta Bali.

Begitu juga bangunan-bangunan di bibir pantai juga rapi, tapi tidak seperti pantai-pantai lainnya di wilayah Pacitan. Pedagang minuman dan persewaan toilet hanya ada satu tempat, benar-benar rapi. Mungkin panjang pantai tak seberapa.

"Hello...” kata bule yang sedang membawa peralatan surfing ketika berpapasan. Mereka bersama para bule lainnya menuju ke air. Sementara bule-bule lainnya asyik nongkrong di penginapan yang menghadap ke laut. Penginapan yang dilengkapai kolam renang kecil di bibir pantai, terlihat mini bar, juga tampak puluhan bule sedang asyik bercengkerama sambil menikmati minuman. Sementara yang lainnya berjemur sambil bermalasan. 

Saya merasa asing, merasa ini bukan Pacitan. Sedikit sekali orang lokal yang terlihat, perkampungan di bibir pantai ini jauh dari angan saya. Jujur lebih indah dan teratur baik bangunan serta pedagang maupun fasilitas toiletnya.

"Mas bangunan-bangunan indah ini miik siapa?" tanya saya pada lelaki yang menawarkan menginap. Tapi dia hanya menggeleng.

"Nginap di sini mahal mas... di atas 3 juta, kalau pengin murah di tempat saya di dekat gapura masuk 200-an sudah AC dan Wi-fi..." tawarnya.

"Ini milik siapa mas?" tanya saya lagi

"Pokok bukan milik orang sini," jawabnya singkat serasa ingin menghentikan pertanyaan saya. Kontras sekali terasa bangunan yang di sekitar jalan dibanding di sekitar pintu masuk ataupun di bibir pantai.

Konon dulu orang-orang luar Pacitan membeli tanah-tanah di sekitar pantai. Dulu tanah-tanah berbatu ini tidak produktif, ditanami singkong saja sulit. Konon tanah-tanah disini dibeli murah, dibeli mengatasnamakan orang asli Pacitan tapi yang mendanai orang-orang luar Pacitan. Tapi entahlah, orang-orang hanya menggeleng atau menjawab bukan milik orang desa ini, ketika ditanya.

pantai di timur bukit
pantai di timur bukit
jernih da mbak berbuik, membuat gila penyuka potograpy
jernih da mbak berbuik, membuat gila penyuka potograpy
Semak belukar dan terjalnya gunung batu Desa Watu Karung menjelma menjadi surga, surga pelancong begitu juga surganya pecinta surfing. Saban hari tak bule pecinta surfing berlalu-lalang di pantai yang antara cekungan barat dan timur tak lebih dari 1 Km.

Ombak berbuih, pantai berpasir putih, air yang jernih dijamin bisa menghilangkan letih. Sebenarnya ada 2 jalan besar ke tempat ini, satu lewat timur satu jalan dengan Pantai Serau, sedangkan satunya lagi dari barat jalannya satu jalur dengan Pantai Klayar. Jalan yang terakhir ini lebih landai dan lebar. Dan ini seharusnya yang saya pilih kemarin, agar tidak terlalu jauh berjalan kaki menuju pantai.

hotel-hotel yang rapi dan tertata, menambah keindahan
hotel-hotel yang rapi dan tertata, menambah keindahan
Gegap gempita rakyat sekitar menyesuaikan kondisi. Desa terpencil tersebut berangsur menjadi kota di tengah hutan. Begitu mata pencaharian buruh tani yang turun temurun berangsur dikesampingkan. Tapi masih terasa gagap, mereka serasa menjadi penonton di kampungnya sendiri. Mereka rata-rata berjualan di jalan besar, berjualan cindera mata.

Sebagian lagi menjadi nelayan, mereka bekerja sama dengan nelayan Jawa Barat-an yang melaut di laut Pacitan. Tampak perahu-perahu nelayan bertuliskan Garut dan bernama khas Sunda. Tapi biar bagaimanapun, kehadiran orang luar Pacitan ini berdampak baik untuk orang sekitar Desa Watu Karung. Keahlian mencari ikan bertambah maju dengan datangnya nelayan Jawa Barat, katanya.

Sarana dan prasarana pun terus dikejar oleh pemerintah daerah. Jalan-jalan dikepras dan dilebarkan, jalan-jalan diperhalus, jalan-jalan baru dibuka agar terkoneksi dengan pantai atau tempat wisata lainnya.

Apapun yang terjadi, inilah adalah risiko. Risiko kemajuan jaman, resiko jaman keterbukaan. Jangan ditanya lagi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Siapkan diri untuk menghadapi globalisasi agar tidak asing di tempat sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun