Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 Km dari kota Pacitan, akhirnya sampai juga di Desa Watu Karung. Sebenarnya ada rambu dari papan, rambu jalan sedang diperbaki. Tapi setelah tanya salah satu warga di sekitar rambu, katanya bisa dilewati dan alasan ini membuat nekat.
“Maaf mas... jalan ke pasir putih sedang dikeruk pakai alat berat, bila pengin ke sana beserta mobil, harus jalan kaki 150-an meter...” kata petugas tiket.
“Jauh mas?” tanya saya lagi
“150 meter mas, mobil taruh di selatan lapangan ini saja aman..” katanya sambil menunjuk ke lapangan yang disarankan. Lapangan yang saban hari dipakai bongkar muat para nelayan Pantai Watu Karung sekaligus merupakan pasar ikan (TPI).
Sebenarnya saya tidak gampang percaya pada orang tentang jarak saat di daerah beginian, seringnya orang bilang, 'cuma itu lo... deket situ.... habis itu belok.... ' Karena yang ditunjuk 'situ' seringkali terlihat dekat namun harus menuruni lembah dan menaiki bukit. Wakakaka! Akhirnya saya turun dan segera menenteng tas kamera.
Tampak alat berat mengepras jalan, jalan sedang dikeruk biar landai. Mirip memotong gunung karena dari sisi timur (tempat saya berjalan) dan barat lebih rendah. Jalan yang di keras sepanjang 150-an meter. Wakakaka tadinya saya berharap 150 di balik gunung batu yang dikepras adalah pantai.
“Jalan ke pantai pasir putih sebelah mana ya..” tanya saya pada para pekerja pengerasan.
“Mas terus saja jalan, setelah ada gapura nanti belok kiri 500 meter... nah di situ pantainya...” jawabnya sambil nunjuk-nunjuk. Benar 150 kata penjaga tiket, wakakaka.. Nambah angka nol-nya satu. 150 ternyata 1500.
Begitu juga bangunan-bangunan di bibir pantai juga rapi, tapi tidak seperti pantai-pantai lainnya di wilayah Pacitan. Pedagang minuman dan persewaan toilet hanya ada satu tempat, benar-benar rapi. Mungkin panjang pantai tak seberapa.
"Hello...” kata bule yang sedang membawa peralatan surfing ketika berpapasan. Mereka bersama para bule lainnya menuju ke air. Sementara bule-bule lainnya asyik nongkrong di penginapan yang menghadap ke laut. Penginapan yang dilengkapai kolam renang kecil di bibir pantai, terlihat mini bar, juga tampak puluhan bule sedang asyik bercengkerama sambil menikmati minuman. Sementara yang lainnya berjemur sambil bermalasan.
Saya merasa asing, merasa ini bukan Pacitan. Sedikit sekali orang lokal yang terlihat, perkampungan di bibir pantai ini jauh dari angan saya. Jujur lebih indah dan teratur baik bangunan serta pedagang maupun fasilitas toiletnya.
"Mas bangunan-bangunan indah ini miik siapa?" tanya saya pada lelaki yang menawarkan menginap. Tapi dia hanya menggeleng.
"Nginap di sini mahal mas... di atas 3 juta, kalau pengin murah di tempat saya di dekat gapura masuk 200-an sudah AC dan Wi-fi..." tawarnya.
"Ini milik siapa mas?" tanya saya lagi
"Pokok bukan milik orang sini," jawabnya singkat serasa ingin menghentikan pertanyaan saya. Kontras sekali terasa bangunan yang di sekitar jalan dibanding di sekitar pintu masuk ataupun di bibir pantai.
Konon dulu orang-orang luar Pacitan membeli tanah-tanah di sekitar pantai. Dulu tanah-tanah berbatu ini tidak produktif, ditanami singkong saja sulit. Konon tanah-tanah disini dibeli murah, dibeli mengatasnamakan orang asli Pacitan tapi yang mendanai orang-orang luar Pacitan. Tapi entahlah, orang-orang hanya menggeleng atau menjawab bukan milik orang desa ini, ketika ditanya.
Ombak berbuih, pantai berpasir putih, air yang jernih dijamin bisa menghilangkan letih. Sebenarnya ada 2 jalan besar ke tempat ini, satu lewat timur satu jalan dengan Pantai Serau, sedangkan satunya lagi dari barat jalannya satu jalur dengan Pantai Klayar. Jalan yang terakhir ini lebih landai dan lebar. Dan ini seharusnya yang saya pilih kemarin, agar tidak terlalu jauh berjalan kaki menuju pantai.
Sebagian lagi menjadi nelayan, mereka bekerja sama dengan nelayan Jawa Barat-an yang melaut di laut Pacitan. Tampak perahu-perahu nelayan bertuliskan Garut dan bernama khas Sunda. Tapi biar bagaimanapun, kehadiran orang luar Pacitan ini berdampak baik untuk orang sekitar Desa Watu Karung. Keahlian mencari ikan bertambah maju dengan datangnya nelayan Jawa Barat, katanya.
Sarana dan prasarana pun terus dikejar oleh pemerintah daerah. Jalan-jalan dikepras dan dilebarkan, jalan-jalan diperhalus, jalan-jalan baru dibuka agar terkoneksi dengan pantai atau tempat wisata lainnya.
Apapun yang terjadi, inilah adalah risiko. Risiko kemajuan jaman, resiko jaman keterbukaan. Jangan ditanya lagi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Siapkan diri untuk menghadapi globalisasi agar tidak asing di tempat sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H