Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Uang Baru dan Tradisi Lebaran

23 Juni 2016   09:26 Diperbarui: 24 Juni 2016   03:55 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ratusan meter orang mengantre, mereka membuat barisan mirip ular yang panjang. Ekornya berkelok-kelok makin lama makin memanjang. Ada sekitar 5 kelompok untuk ular-ularan dadakan di jalan Alun-alun timur Ponorogo kemarin. Tampak mobil-mobil Bank lapangan, mobil tersebut otomatis menjadi kepala dari antrean yang mengular tersebut.

Menurut polisi yang berjaga di sekitar lokasi, kerumunan sudah terjadi sejak jam 2 siang, ratusan orang rela berpanas-panasan menunggu mobil-mobil milik Bank Nasional yang ada di Ponorogo. Pihak Bank Indonesia memberi kesempatan kepada masyarakat Ponorogo untuk menukarkan uang pecahan baru, imbuhnya.

Sesuai pengumuman di radio serta di medsos bahwa sore jam 3 kemarin pihak Bank Indonesia mengadakan penukaran uang pecahan di seputaran alun-alun Ponorogo, cerita Langgeng.

Penukaran uang dibatasi 3 juta rupiah tiap pengantre. Setiap pengantre wajib menunjukkan KTP atau tanda pengenal lainnya.

Cerita mas Bambang, sebenarnya setiap hari di BRI cabang tempatnya bekerja sudah dibuka loket khusus untuk menukarkan uang pecahan baru untuk lebaran. Namun hanya dibatasi 50 an orang, dan tiap orang dijatah kisaran yang sama 3 jutaan. Menurutnya lagi uang yang paling banyak diminta adalah pecahan 5 ribuan dan 10 ribuan, namun 2 ribuan dan 20 ribuan tetap disediakan.

Meski begitu di pinggir-pinggir jalan marak penjaja jasa penukaran uang baru. Bagi mereka yang tidak telaten mengantre lebih memilih menukarkan di pinggir-pinggir jalan. Para penyedia jasa ini mengambil keuntungan 8% dari nominal uang yang ditukarkan.

Santi, salah satu penyedia jasa penukaran uang baru buat lebaran dalam sehari menghabiskan 21 jutaan. Berdua dengan adiknya dia mangkal di jalan Soekarno-Hatta sedari pagi sampai jam 9 malam.

"Lumayan mas..." katanya.

Menurut Santi, dia sudah 6 tahunan ini menjadi jasa penukaran uang. Uang tersebut didapatkan dari kenalannya orang dalam di sebuah bank. 

Santi dan penyedia jasa penukaran uang lainnya sepakat dan seragam mengambil keuntungan 8%.

Tradisi uang baru saat lebaran sudah marak di 20-an tahun terakhir. Dulu hanya kerabat dekat yang diberi uang lebaran, itupun untuk keluarga yang berada yang memberikan.

Tradisi silaturahmi saling berkunjung menjadi agenda di setiap lebaran. Yang muda mengunjungi yang tua, anak buah mengunjungi pimpinan, santri mengunjungi Kyai dan seterusnya. 

Saling mengunjungi inilah disediakan makanan dan jajanan. Biasanya dalam satu kelompok terdiri puluhan orang, yang terdiri dari orang-orang dewasa dan membawa anak-anak mereka. Semakin hari jajanan kurang diminati, hanya dilihat saja terutama oleh anak-anak. 

Pak Yanto rela jauh-jauh bersepeda untuk mendapatkan uang baru
Pak Yanto rela jauh-jauh bersepeda untuk mendapatkan uang baru
Hal itulah yang membuat alasan pak Yanto rela mengantre untuk menukarkan uang baru di alun-alun ini. Menurutnya anak-anak lebih suka diberi uang daripada diberi jajanan. Tiap anak diberi 2 ribuan, dia menukarkan 500 ribu untuk ditukar lembaran-lembaran 2 ribuan. Anak-anak sensitif akan menceritakan kepada teman-temannya tempat mana yang memberi uang dan tempat mana yang tidak memberi uang, imbuhnya. Di pedesaan di daerah-daerah Ponorogo masih berlangsung tradisi berkunjung seperti di atas. 

Orang Ponorogo Menyebut "Sejarah" 

"Ayo sejarah ke tempate Pak Hadi.. disana diberi yang baru..." begitu anak-anak mengatakan pada temannya. Dikatakan sejarah, dulu jaman saya kecil ditiap berkunjung ke tempat orang tua yang disejarahi pasti diberikan cerita tentang sejarah desa atau sejarah keturunan sambil menikmati jajanan yang disediakan. Si tuan rumah adalah orang yang ternama seperti Kyai, guru, kepala desa, atau sesepuh desa yang banyak punya cerita buat tamunya. Setelah diberikan cerita ditutup dengan doa para tamu mengamini.

Dulu sebelum ada reuni-reunian saling mengunjungi ini adalah hal yang wajib bagi sebagian orang, namun berkembangnya kesibukan bekerja dan keterbatasan waktu saling mengunjungi beralih dalam bentuk reuni. Dimana semua terjadwal dan bisa bertemu banyak orang di sekali waktu dan di tempat yang sama. Bahkan silahturahmi diserahkan lewat ponsel berupa telepon atau pesan.

Begitu juga jajanan tradisional hanya dipandang saja. Dahulu menjelang lebaran ibu-ibu di desa bekerja keras membuat kue tradisinal untuk lebaran. Kini makanan tradisional tergantikan makanan swalayan yang dianggap lebih simple dan praktis. 

Bahkan semua makanan tersebut tidak ada artinya dibanding uang baru, bagi anak-anak.

Bagaimana tradisi lebaran di tempat anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun