Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru Bisu di Datsun Risers Expedition dan Kompasiana BlogTrip (7)

22 Januari 2016   18:03 Diperbarui: 23 Januari 2016   15:12 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru adalah siapa saja yang mengajari kita untu bisa, entah guru di sekolah formal, sekolah agama, atau guru di luar sekolah. Baik yang langsung terus terang mengajar atau hanya mengajar tersirat saja. Guru bisa kita didapatkan di mana saja, di sekolah atau bisa juga di jalanan.

Guru bisu, begitu saya menyebutnya. Dia diam tidak banyak bicara, tak nampak kalau sedang mengajari. Dia sederhana, tidak serta merta langsung mengajari. Dia mengajar dengan caranya sendiri, murid dituntut peka untuk rekam segala gerak dan tingkahnya.

Guru silent, mereka diam namun penuh ajaran. Ajarannya diam, tak terlihat dan tidak diperlihatkan. Mereka guru bagi yang membutuhkan, guman saya.

Dalam pasafah Jawa "Timbo marani sumur, dudu sumur marani timbo"

Yang artinya, yang membutuhkan (timbo) mencari sumber (sumur), bukan sebaliknya sumber (sumur) mencari (timba).

Kedua orang di atas sangat berkesan buat saya, Yohanes Kurnia Irawan dia perpenampilan menarik  mirip Kaka vokalis Slank band kesukaan saya. Awal ketemu dia tidak banyak bicara, kalaupun bicara dia sangat pelit. Dalam perkenalan awal dia mengaku Yoyon, dan para risers seneng memanggil mas Yon. Dari cara bicaranya yang tenang saat mengemudi menjemput rombongan risers Jakarta menandakan dia selalu berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Saya terlalu lancang untuk meminta tolong untuk memotret saya dan risers-2, namun dia merendah katanya tidak bisa.

"Terserah jepret saja.... jelek urusan belakangan." jawab saya.

Lalu mas Yoyon menjepret, saya tidak pernah melihat hasilnya pada view kamera saya. Baru 2 hari di Kalimantan saya sempat melihat jepretan mas Yon tadi. Luar biasa dia yang merendah tersebut adalah jagon motret. Dari jepretan-jepretannya di kamera komposisi-komposisi yang luar biasa.

Hal tersebut saya ulangi lagi ketika para mengantar risers Jakarta dan Yogyakarta ke bandara.

"Mas Yon tolong jepret dong buat kenang-kenangan anakku, pertanda kalau bapaknya pernah naik pesawat..." pinta saya.

Mas Yon-pun langsung jeprat-jepret, beberapa frame. Seneng banget, setelah sampai ke hotel langsung saya pindah ke laptop dan luar biasa angel dan komposisinya luar biasa tanpa main crop dan tanpa main edit exposurenya. Bagaimana garis-garis menyatu dalam satu titik akhir, bagaimana sebuah penonton digiring dari sudut terdekat sampai sudut terjauh. Bagaimana penempatan POI, bagaimana dia memposisikan kamera untuk menghindari bocoran (keramaian, penghalang). Saya seneng banget dengan jepretan mas Yon di depan Bandara Kalimaru ini.

Saya penasaranan dengan mas Yon siapa dia, bang Dale bilang kalau mas Yon kontributor Kompas.com di Pontianak. Luar bisa aku diajarinya dengan halusnya.

Sedang yang satunya mas Roderick Andrian Mozes, temen risers juga sering memanggil mas Mozes. Di yang mengajari saya membuat video time lapse. Menurutnya video time lapes adalah serangkaian foto yang diambil dengan periode beraturan kemudian disusun menjadi video klip pendek. Syaratnya harus memakai tripot dan alat yang namanya intervalometer, kalau ndak ada alat intervalometer ini kamera perlu diintal atau di kasih copyan di card memorynya yang bisa interval shooting. Dan bila terpaksa lagi bisa memakai remote control, tapi harus telaten selalu memencet tombol remote setiap detik sesuai yang diinginkan. Katanya lagi mendingan membeli intervalometer yang harganya tidak sebegitu mahal.

Interval ini menurutnya terserah kita mau berapa detik sekali njepretnya, misal menjepretnya tiap 10 detik sekali bearti dalam semenit ada 6 foto. Kalau dalam setengah jam kita butuh 6 kali 30 sekitar 180 gambar. Dalam satu jam 6 kali 60 sekitar 360 gambar. Bila dibikin video dengan kecapatan  30 fps berarti akan menjadi video berdurasi 12 detik.

Menurut mas Roderick paling asyik untuk mengabadikan sunrise dan sunset. Awan-awan bergerak dari satu sudur ke sudut lain tanpa mengubah angel. Ada keasyikan tersendiri katanya, video time lapes akan lebih dramatis dan tidak terlalu banyak memakan memori dibandingkan video langsung.

Selain time lapes saya juga disarankan memakai lensa panjang (tele, semi tele) di lautan bebas seperti Derawan katanya kita akan kesulitan mendapatkan POI, kalaupun dapat lebih banyak bocornya (benda atau gangguan) bila memakai lensa lebar seperti lensa 11-16mm seperti punya saya, karena terlalu lebar merekam.

https://youtu.be/YkMoBTYrl0k

Keesokan harinya saya tunjukin hasil video time lapes saya, dia seneng dengan hasil karya saya, dia menambahkan video saya magep-magep (terbata-bata atau terputus-putus), penyebabnya saya tidak konsisten dalam memencet tombol shuter dimana intervalnya tidak teratur. Mas Rodric memaklumi karena saya memakai remote biasa belum memakai alat intervalvalometer seperti miliknya. Untuk hal itu dia menyarankan saya mengunduh aplikasi untuk membuat video time lapes gratisan dan ditanamkan pada card memory kamera. 

Saya disarankan banyak membaca di internet tutorial tentang time lapes bila ingin lebih mendalam, pesannya. Dia meyakini saya pasti bisa, katanya sambil tersenyum.

Beda lagi dengan mas Nurulloh, dia juga tak pelit membagikan ilmu. Saya mengikuti hasil-hasil jepretannya lewat FB, Twitter, dan Instgramnya. Selain jago nulis, beranalisa, berorasi, dia juga jago motret. Wakakakakakaka ndak salah dia jadi pentolan Kompasiana yang disegani kawan atau lawan.

"Mas tolong jepretkan ya makai kamera saya...." pinta saya padanya.

"Punya saya saja nanti di share.... bareng-bareng....." jawabnya. Mungkin bosan menjawab permintaan saya yang berulang-ulang akhirnya mau juga, ketika foto bersama para risers (seperti gambar atas). Luar biasa sudut pengambilanya jeli, tanpa croping tanpa diedit, dan moment luar biasa. Foto bersama para risers itu adalah jepretan mas Nurulloh memakai kamera saya.

Saya selalu melihat setelan kamera setelah dia pakai, disitulah saya mengetahui seberapa keceptatan, seberapa iso, dan eksposure yang dia gunakan. 

Kalau yang satu ini dia lebih muda, para risers cewek sering histeris memanggilnya "Mada". Menurut ceritanya dia mahasiswa seni yang magang di Kompas.com

Dia mengajari seni berfoto, bagaimana posisi model, dari mana angel harus diambil. Dia juga jago mengarahkan gaya si model. Seperti gambar di atas tersebut bagaimana dua orang seolah-olah berkelai dan salah satunya terkena tendangan dan terpelanting akan terjebur di laut.

Selain foto dia juga jago video, banyak tutorial yang harus saya baca bila ingin bisa seperti dia. Banyak referensi website yang harus saya kunjungi untuk menambah penegetahuan.

Luar biasa di Datsun Risers Expedition dan Kompasiana Blog Trip saya mendapatkan pengalaman, pembelajaran, pengetahuan, serta ketrampilan yang tidak saya duga sebelumnya. Terima kasih mas Yon, mas Rodric, mas Nurulloh, mas Mada. Terima kasih Datsun, terim kasih Kompasiana, terima kasih Kompas.com 

Tunggu cerita guru-guru bisu lainnya di cerita selanjutnya.

 

"Membelah Bumi Kalimantan"

 

*) salam njepret
*) salam jalan-jalan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun