Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Tentang Sopir Ambulan Jenazah

8 Maret 2015   07:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:00 5629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354521" align="aligncenter" width="510" caption="Andi dan ambulan jenasahnya"][/caption]

Pernah bercita-cita menjadi sopir jenazah?

Saya yakin pasti anda menggeleng, pekerjaan yang berkutat tidak jauh dengan mayat, orang berkesusahan, orang yang berduka dan sebagian besar orang mengangap menyeramkan. Namun hal itu sudah menjadi keseharian dan menjadi kewajiban bagi mas Andi, Anto, dan para sopir ambulan jenazah lainnya. Berikut ini kisah mas Andi dan mas Anto yang bekerja sebagai sopir ambulan jenazah di rumah sakit plat merah di Ponorogo.

[caption id="attachment_354522" align="aligncenter" width="510" caption="Menaikan jenasah ke ambulan, maaf foto agak jauh karena ndak etis bila mengenai keluarga dan jenasahnya"]

1425770329103952342
1425770329103952342
[/caption]

Sekitar 2 bulan yang lalu suami bulik saya meninggal dunia di rumah sakit, kebetulan anak-anak bulik saya itu berdomisili di luar kota semua. Sementara saudara yang lain menenangkan bulik yang sedang histeris dengan membawa bulik dengan mobil lain, sedangkan saya menemani mas Anto di mobil ambulan jenazah yang mengangkut jenazah paklik tersebut. Selain menemani sopir dalam perjalanan tugas saya sebagi penunjuk jalan.

Begitu keluar luar rumah sakir raungan sirne ambulan jenazah meraung-raung dan lampu sirene berputar-putar memecah kemacetan kota. Begitu melewati lampu merah suara sirene diperkeras oleh mas Anto, dan para pengendara lainya mengalah menepi dan membiarkan mobil jenazah lewat meski lampu merah. Terus begitu di setiap lampu merah yang dilewati. Di jalan lurus pun kendaraan lainpun harus mengalah. Jalan tanjakan dan turunan tajampun dilahapnya, seperti mas Anto sudah kenal setiap medan yang dilalui. Dan luar biasa jalan 50-an km yang biasa ditempuh dengan perjalanan 1 jam kali ini bisa ditempuh dengan waktu tidak ada 1/2 jam perjalanan. Resikonya saya mual-mual dan muntah begitu turun dari ambulan, mas Anto hanya tersenyum, karena nyaris sepanjang perjalanan minim sekali perkataan yang keluar, mungkin bentuk penghormatan kami pada jenasah paklik saya yang sedang membujur di belakang kami yang hanya dibatasi kaca yang bisa digeser. Sementara rombongan mobil yang membawa bulik belum juga nampak.

[caption id="attachment_354524" align="aligncenter" width="510" caption="kamar mayat, jadi kantornya"]

14257745051666560688
14257745051666560688
[/caption]

Setelah jenasah paklik diturunkan, saya dan mas Anto berpamitan untuk kembali ke kantor.  Dan perjalan pulang ini kami baru bisa saling bercerita.

Mas Anto sudah mulai menjadi sopir ambulan sekitar tahun 90-an ketika saya kala itu masih sekolah di sekolah calon perawat, kami sudah akrab dan berkumpul lama dalam satu institusi.

"Awalnya ndak takut mas menjadi sopir jenazah?" tanya saya.

"Awale ya takut Tri.... lama-lama terbiasa......." jawabnya, diapun sejak dulu terbiasa memanggil saya Trie...

"Yang paling ndak disukai membawa jenasah yang gimana mas?" tanya saya

"Mayat yang ndak utuh atau mayat-mayat korban pembunuhan yang seringkali bisa ditemukan beberapa hari setelahnya.... rasanya baunya masih menempel berminggu-minggu meski sudah mandi puluhan kali...." jawabnya.

Di rumah sakit ada 4 sopir ambulan, dan mas Anto yang paling lama bekerja dan otomatis dia menjadi senior, ke empat sopir itu diatur jadwal jaganya dengn shif malam, pagi, dan sore. Selain sebagai sopir jenazah juga menjadi sopir ambulan dan sopir kantor, jadi tidak melulu menjadi sopir jenasah.

Dalam perjalanan pulang itu kantor sudah berkali-kali telephon, "Diam dulu ya Trie... tang ngankat telepon dulu...." pesannya.

Dia membunyikan sirenenya lagi yang tadinya sudah dimatikan bersamaan menurunkan janasah, dan dia mengeluarkan hp dari sakunya  dan menekan tombol yes untuk menjawab panggilan masuk, namun bukannya menempelkan di telinganya dia malah mengeluarkan hp-nya keluar jendela dan mendekatkan dengan sirine yang meraung dan baru menempelkan ditelinga, " Hallo iya mbak, ini masih ngantar jenazah di daerah Sooko mungkin 2 jam lagi baru sampai situ....." jawabnya

Saya hanya tertawa dan dia pun tertawa, "Gitu lo Trie... pekerjaan sudah mengantri banyak, kalau digitukan mereka baru percaya dan ndak ngebel-ngebel lagi......"

"Ayo mas cari makan dulu, aku punya langganan di jeruk sing sana....." kata saya untuk mencari tempat makan.

"Pinggir jalan to?" tanyanya

"Iya, memang nyapo?" ganti saya bertanya

"Ndak enak ini jam kantor, yang agak ndelik wae...." pintanya

"Oke warunge Kalak wae, belakang Unmuh ya...." ajak saya.

"Sip, kok hapal amat warung daerah sini...." celetuknya, namun saya hanya menjawab dengan tersenyum.

"Jalan masuk perumah itu mas...." sambil saya nunjuk agar mobil ambulan diparkir ditempat yang gaka lapang dekat warung.

"Jangan Trie.... yang punya warung marah, ini mobil jenasah ditaruh sini wae kita jalan ke warungnya, pemilik warung biasanya marah bila kita mendekat, dia takut kena sial dagannya ndak bakalan laku beberapa hari, sering saya kena protes dulu......" jawabnya panjang.

Kami segera berjalan menuju warung dan makan.

"Tarifnya gimana mas ambulan begini?" tanya saya sambil makan.

"Ngitungnya kayak taxi, begitu buka pintu ada tarif dan dihitung kilo meter berdasar tarif yang sudah ditentukan oleh pemda, dan untuk ini tadi gratis karena jenasah mempunyai Jamkesmas ditanggung negara...." jawabnya sambil makan.

"Sering mereka ngasih tips, mereka suka rela karena bentuk terima kasihnya setelah diantarkan, ya terpaksa diterima Trie..." katanya lagi sambil tersenyum.

Mas Anto juga menceritakan, seringkali dia menjadi kayak psikolog atau ustad dimana harus meredakan tangisan dan meredakan anggota keluarga yang histeris, seringkali harus menenangkan keluarga jenasah yang menangis, agar keluarga bisa merelakan kepergian jenasah. Mereka harus pandai-pandai bersimpati dan berempati di suana kedukaan yang sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.

[caption id="attachment_354523" align="aligncenter" width="510" caption="ambulan-ambulan yang sudah jadi keluarga mas Anto dan mas Andi"]

14257730171421781425
14257730171421781425
[/caption]

Begitu sampai kantor lagi, ambulan harus sudah bersih, tertatata rapi, dan sidap untuk dipakai kembali sewaktu-waktu. Itu kewajiban mereka ambulan jenasah sudah menjadi keluarga mereka, yang harus dirawat  ketika sakit dan dijaga agar sehat dan siap digunakan kapan saja.

:) Salam Jepret
:) Salam Kampret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun