"Sip, kok hapal amat warung daerah sini...." celetuknya, namun saya hanya menjawab dengan tersenyum.
"Jalan masuk perumah itu mas...." sambil saya nunjuk agar mobil ambulan diparkir ditempat yang gaka lapang dekat warung.
"Jangan Trie.... yang punya warung marah, ini mobil jenasah ditaruh sini wae kita jalan ke warungnya, pemilik warung biasanya marah bila kita mendekat, dia takut kena sial dagannya ndak bakalan laku beberapa hari, sering saya kena protes dulu......" jawabnya panjang.
Kami segera berjalan menuju warung dan makan.
"Tarifnya gimana mas ambulan begini?" tanya saya sambil makan.
"Ngitungnya kayak taxi, begitu buka pintu ada tarif dan dihitung kilo meter berdasar tarif yang sudah ditentukan oleh pemda, dan untuk ini tadi gratis karena jenasah mempunyai Jamkesmas ditanggung negara...." jawabnya sambil makan.
"Sering mereka ngasih tips, mereka suka rela karena bentuk terima kasihnya setelah diantarkan, ya terpaksa diterima Trie..." katanya lagi sambil tersenyum.
Mas Anto juga menceritakan, seringkali dia menjadi kayak psikolog atau ustad dimana harus meredakan tangisan dan meredakan anggota keluarga yang histeris, seringkali harus menenangkan keluarga jenasah yang menangis, agar keluarga bisa merelakan kepergian jenasah. Mereka harus pandai-pandai bersimpati dan berempati di suana kedukaan yang sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.
[caption id="attachment_354523" align="aligncenter" width="510" caption="ambulan-ambulan yang sudah jadi keluarga mas Anto dan mas Andi"]
Begitu sampai kantor lagi, ambulan harus sudah bersih, tertatata rapi, dan sidap untuk dipakai kembali sewaktu-waktu. Itu kewajiban mereka ambulan jenasah sudah menjadi keluarga mereka, yang harus dirawat  ketika sakit dan dijaga agar sehat dan siap digunakan kapan saja.
:) Salam Jepret
:) Salam Kampret