Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Perempuan Pemecah Batu Sepanjang Aliran Grindulu Pacitan

26 Januari 2015   20:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14222711991207058118

Pacitan, 25/01/14

Bukit berbatu di kanan kiri di sepanjang aliaran sungai Grindulu rute Ponorogo-Pacitan siap mengancam longsor kapan saja, baik musim penghujan atau kemarau. Pelebaran dengan jalan pengeprasan bukit berbatu yang dimualai sejak jaman pak SBY dulu. Sehingga alat berat untuk mengeruk masih selalu disiagakan di tiap pos area, supaya sewaktu-waktu longsor bisa langsung dibersihkan.

bukit batu yang longsor disepanjang jalan

Semula batu-batu itu langsung dibuang ke sungai Gridulu yang berada di seberang jalan ini, namun sekarang batu-batu besar dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang diurusi pertambangan, sementara batu-batu kecil dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya, seperti kisah dibawah ini.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="penambangan batu, saling menguntungkan, mereka mengambil batu sortiran dari pertambangan"][/caption]

Mbah Mesinem bersama puluhan perempuan lainnya setiap haris setelah tugasnya didapur selesai akan langsung menuju gubuknya dipinggir sungai dekat tebing yang telah lama dikepras untuk pelebaran jalan. Lahan berbukit dan berbatu tidak bisa mereka andalkan untuk pertanian, sebelum menekuni sebagai pemecah batu perempuan-perempuan disini menjadi buruh tani di kampung bawah (dekat Pacitan) atau menjadi pencari kayu bakar ataupun menjadi pengrajin arang kayu.

Namun semenjak ada proyek pengeprasan jalan mereka bekerja menjadi pemecah batu kecil (koral) untuk bahan cor, batu-batu itu gratis tidak usah membeli dan tinggal mengambil sisa-sisa pengeprasan. Tidak perlu alat banyak, palu dan cikrak bambu, batu-batu itu dipecahi dengan berteduh di gubuk kecil miliknya yang akan melindunginya dari panas dan hujan. Mereka bekerja sehabis masak di dapur sampai sekitar jam 2 siang.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="perlu tenaga dan kecermatan, agar jarinya tidak terpukul palu"][/caption]

Selain dari sisa pengeprasan mereka mendapatkan batu dari proyek pertambangan batu, batu yang ukuran besar diambil oleh tambang dan batu-batu kecil yang tidak terpakai oleh tambang mereka manfaatkan.

Mereka saling emnguntungkan, pertambangan tidak perlu repot membuang limbah batu, sedangkan para perempuan pemecah batu itu mendapat pemasukan dari batu yang dipecahinya.

[/caption]

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="gubuk mereka bergandengan, mereka rukun saling membantu dan salin berbagi bekal"][/caption]

Karena penasaran kok hanya para perempuan yang belerja, maka saya beranikan bertanya

"Nyuwun sewu bu... kok mecahi selo piyambak? bapak-e dateng pundi? kok eco emen bapak-e?" tanya saya setengah protes melihat mereka bekerja sementara suaminya kok tidak nampak.

"Simah kulo pun enjing wau mriki, nyiapne watu-watu niki, simah kulo sing ngakati disiapne damel kulo, lan mengke siamah kulo sonten mriki nyiapne malih, lek yen yah menten simah kulo kerjo dateng ngare dados buruh tani, sonten nembe wangsul...." jawab bu Yati menjawab protes saya.

Suami mereka bekerja menjadi buruh tani, atau menjadi tukang kayu, di daerah bawah (dataran rendah), suami mereka yang menyiapkan batu-batu yang akan dipecahi di pagi atau sore. Dan setelah selesai memasak perempuan-perempuan ini mulai bekerja, dan pulang sekitar siang atau sore ketika anak atau suaminya sudah pulang bekerja.

"Bu per kubik e di hargai pinten?" tanya saya lebih lanjut

"150 ribu mas per kibik-e, pun dipendet mriki lan mereuhi pun minggah trek" jawabnya

"Sedinden asal pinten kibik bu enten sak kibik?" tanya saya sembari terus menjepret.

"Oalah maas paling 1/4 utawi 1/3 kibik kantun nari boyok-e..." jawabnya lagi

Sehari mereka bisa memecahi batu menjadi kecil-kecil (koral) antara 1/4 - 1/3 kubik, bila per kubik seharga 150 ribu berarti pendapatan mereka 40-50 ribu.

"Lumayan mas saget damel mbantu bojo damel ngragati anak sekolah... " kata bu Partini ketika saya tanya pendapatan mereka.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="gubuk gubuk dibibir sungai Grindulu sepanjang jalan menuju Pacitan"][/caption]

Antara jalan Gemaharjo sampai Arjosari akan kita temui perempuan perempuan ini di bibir sungai sepanjang sungai Grindulu.

Usia mereka beragam antara 20-70 an tahun, tidak ada persaingan antara mereka, dan tiap 3-4 hari truk-truk proyek akan mengambili hasil kerja mereka, dan tiap gubuk diukur kubikannya dan dikumpulkan menjadi satu truk.

Truk-truk itu menjualnya ke arah kota, dan yang paling banyak mengambilnya adalah proyek-proyek di Ponorogo, karena daerah ini berbatasan dengan kabupaten Ponorogo.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Sungai Grindulu, jalan propinsi, dan bukit berbatu"][/caption]

Bukit berbatu dan sungai yang curam ternyata bisa menghidupi mereka, tiada keluh kesah itulah hidup mereka sekeras bebatuan yang menghidupi mereka.

Salut pada perempuan batu sepanjang aliran sungai Grindulu Pacitan ini.

*) Catatan

- Bojo, simah = suami atau istri -Sonten          = sore

*) Salam reportase

*) Salam Jalan-jalan

*) Salam Kampret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun