[/caption]
[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="gubuk mereka bergandengan, mereka rukun saling membantu dan salin berbagi bekal"][/caption]
Karena penasaran kok hanya para perempuan yang belerja, maka saya beranikan bertanya
"Nyuwun sewu bu... kok mecahi selo piyambak? bapak-e dateng pundi? kok eco emen bapak-e?" tanya saya setengah protes melihat mereka bekerja sementara suaminya kok tidak nampak.
"Simah kulo pun enjing wau mriki, nyiapne watu-watu niki, simah kulo sing ngakati disiapne damel kulo, lan mengke siamah kulo sonten mriki nyiapne malih, lek yen yah menten simah kulo kerjo dateng ngare dados buruh tani, sonten nembe wangsul...." jawab bu Yati menjawab protes saya.
Suami mereka bekerja menjadi buruh tani, atau menjadi tukang kayu, di daerah bawah (dataran rendah), suami mereka yang menyiapkan batu-batu yang akan dipecahi di pagi atau sore. Dan setelah selesai memasak perempuan-perempuan ini mulai bekerja, dan pulang sekitar siang atau sore ketika anak atau suaminya sudah pulang bekerja.
"Bu per kubik e di hargai pinten?" tanya saya lebih lanjut
"150 ribu mas per kibik-e, pun dipendet mriki lan mereuhi pun minggah trek" jawabnya
"Sedinden asal pinten kibik bu enten sak kibik?" tanya saya sembari terus menjepret.
"Oalah maas paling 1/4 utawi 1/3 kibik kantun nari boyok-e..." jawabnya lagi
Sehari mereka bisa memecahi batu menjadi kecil-kecil (koral) antara 1/4 - 1/3 kubik, bila per kubik seharga 150 ribu berarti pendapatan mereka 40-50 ribu.