[caption id="attachment_352666" align="aligncenter" width="480" caption="Desa Gelang kulon sentra pembuat batu bata di Ponorogo sejak puluhan tahun yang lalu"][/caption]
Ponorogo, 24/02/2015,
Sentra pembuatan batu bata di desa Gelang Kulon kec Sampung Ponorogo ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan mbah Maji salah satu pengrajin mengatakan sudah turun 3 generasi, jadi mulai dari simbahnya dulu.
Letak geografis Gelang kulon berada barat kota Ponorogo, tepatnya di daerah kecamatan Sampung perbatasan dengan daerah Wonogiri Jawa Tengah, daerah yang terkenal tandus dan sulit air meski berada di dekat kawasan hutan jati. Mungkin karena suasana geografis inilah di daerah ini sebagian besar penduduknya (hampir 80%) menjadi pembuat batu bata karena pertanian tidak bisa begitu diandalkan. Bahkan sekarang desa dan kecamatan sekitarnya juga ikut menjadi produsen batu bata.
Pembuatan batu bata dimulai dengan membuat adonan mirip kolam lumpur, dan dicetak, dijemur, disisik, dikeringkan, dibakar, lalu dipasarkan. Begitu alur pembuatan sampai pendistribusiannya.
Berikut ini liputannya;
[caption id="attachment_352667" align="aligncenter" width="480" caption="mbah Maji generasi ke 3 dari keluarganya dalam membuat batu bata"]
“Betah nedo mas… niki nembe sakit lan prei sepasar, tapi kepekso kedah nyithak malih ben kanjat…..” kata mbah Maji yang menceritakan bahwa ini pekerjaan yang bisa membuat keluarganya makan, meski 5 hari yang lalu baru sakit dia terpaksa harus bekerja biar bisa mencukupi.
“Milai kapan mbak buat bata?” tanya saya
“Milai alit mas, milai simbah, lan tiyang sepuh kulo riyin kulo pun diajari nyithak boto….” jawab mbah Maji yang menerangkan mulai kecil dia sudah diajari kakek dan bapaknya menyetak bata.
“Sakniki rekaos mboten kados tahun-tahun pengker mas nyithak boto…. “ kata mbah Maji.
“Angel pripun, nopo musin jawah niki mbah?” tanya saya sok tahu.
“Yen jawah niku dipasangi terpal taksih saget kerjo, nangin yen regane anjlok niku sing mboten cucuk…” jawab mbah Maji, kalau hujan masih bisa pasang terpal biar bisa bekerja, yang jadi masalah adalah harga bata yang terus turun dan bisa merugi.
“Biyen yen wayah usum bade riyoyo ngenten niki boto dereng dadi wis dicalang tiyang, la sak niki boto mateng di pasang ngajeng griyo pun enten 3 wulan mboten pajeng, pajeng pajeng namung nyitheng, riyin boto tembus 650 ewu ngebrok sakniki kantun 530 ewu ngebrok….” jelasnya lagi, dulu menjelang hari raya begini bata masih dicetak saja sudah dipesan orang, namun sekarang bata yang sudah jadi ditaruh didepan rumah hampir 3 bulan tidak laku, dulu harga bata ditempat 650 ribu sekarang tinggal 530 ribu ditempat.
[caption id="attachment_352668" align="aligncenter" width="480" caption="pak Margono dan keluarganya mulai pagi sampai sore mengurus batu bata, batu bata sumber penghidupan mereka"]
Pak Margono dibantu istri dan kedua anaknya mengadalkan membuat batu bata menjadi sumber penghidupannya, mulai pagi hingga petang dia mengurus batu bata mulai membuat adonan sampai pembakarannya. Semakin banyak anggota keluarganya semakin banyak batu bata yang berhasil dicetaknya.
Pesanan pak Margono lumayan, pemesannya kebanyakan dari Jawa Tengah daerah Gunung kidul, dan hari-hari ini dia harus menyediakan 24 ribu batu bata untuk dikirim ke Wonosari Gunung kidul.
Ketika saya tanya apakah mampu menyediakan batu bata sebanyak itu hanya dalam waktu sebulan, dia menjawab, "Saget mas, banon niki pun meh jangkep 8 ewu, sisane mangke kulo pendetne saking konco-konco, ukurane sami dados mboten masalah, malah konco-konco seneng banone kepayon, lan kulo taksih pikantuk bathi lan komisi, saling untung mas..."
Pak Margono menyanggupi 24 ribu batu bata, punya keluarganya sudah 8 ribu dan sisanya diambilkan dari pembuat yang lain, pembuat yang lain senang karena batu batanya laku, dan pak Margono dapat keuntungan dari penjulan ini dan juga masih mendapat komisi dari teman-temannya, saling menguntungkan.
[caption id="attachment_352669" align="aligncenter" width="480" caption="mas Jio menyisik batu bata setengah kering, dan menata miring agar cepat kering"]
[caption id="attachment_352670" align="aligncenter" width="480" caption="setelah disisik ditata miring biar keringnya merata"]
Beda lagi cerita mas Jio, anak-anaknya masih kecil sehingga belum ada yang bisa membantu, begitu juga istrinya. Batu bata yang sudah ia sisik lalu di taruh miring, dan ditumpuk dengan sela longgar, katanya biar cepat kering dan tidak boros tempat.
"Sekarang mudah mas... punya terpal 4, jadi kalau hujan masih bisa bekerja, dan bila panas terpal tinggal di buka agar bata cepat kering....." kata mas Jio.
Bahan baku batu bata berupa tanah yang diambil dari gunung sebelah barat desa Gelang Kulon ini, satu pik up seharga 70 ribu, dan sekam satu pik up seharga 75 ribu, sekam ini digunakan sebagai bahan campuran batu bata waktu membuat adonan, dan sebagai bahan bakar untu membakar batu bata.
Satu pik up tanah bisa untuk membuat 2 ribuan batu bata, dan untuk membakar serta buat campuran per seribu batu bata butuh 1,5 pik up sekam. Dan tinggal telephone atau sms bahan sudah di antar.
[caption id="attachment_352671" align="aligncenter" width="480" caption="lahan yang luas merupakan modal buat mbah Maji"]
[caption id="attachment_352672" align="aligncenter" width="480" caption="batu bata yang sudah matang sudah siap jual, ditaruh di pinggir jalan menunggu pembeli"]
[caption id="attachment_352673" align="aligncenter" width="504" caption="proses pembakaran batu bata, insert bawang merah, bawang putih dan cabe yang ditusuk seperti sate sebagai pelengkap pembakaran"]
Ada yang menarik dalam membakar batu bata ini yaitu adanya bumbu dapur yang ditusuk mirip sate (bawang merah, bawang putih, dan cabe) yang ditaruh di pojokan tempat tungku pembakaran.
"Niku syarat mas, leh ngajari mbah-mbahe rumiyin ngaten yen ngobong boto kapuring nyajeni, karo ndedongak mring Kuwoso ben salmet..." jelas mbah Maji, katany dulu dipesn oleh bapak dan kakeknya setiap membakar batu bata disyuruh ngasih syarat tersebut sambil berdoa kepada Alloh agar selamat.
"Manungso didamel saking siti, mbok menawi siti ingkang didamel boto katutan utawi ngandung jasate mbah-mbahe mas, niki coro alu ngurmat saking asal kito...." jelas mbah Maji, Manusia dibuat dari tanah, mungkin saja tanah yang dipakai menagndung sisa sisa jasat leluhur atau manusia, ini cara menghormat mereka kepada tanah asal manusia dibuat.
Dalam membakar ini batu bata ditata renggang agar bara api dari sekam bisa merata, dan bisa terlihat bila matangnya belu seluruhnya,
Bahan membakar diperlukan 2 pikup sekam, dan sekali membakar bisa mencapai 6-7 ribu batu bata.
"Sing sae ndamel kajeng mas, boto ne langkun kenthing lan mboten gampang tugel, tapi yen ndamel kajeng ongkose mboten nutut, kajeng pun angel lan regine awis..." kata mbah Maji, yang menceritakan lebih bainya kalau membakar memakai kayu, namun harga kayu mahal dan sulit didapat, karena bila dibakar dengan kayu batu batanya jauh lebih keras dan tidak mudah pecah.
Sampai kapan mereka bertahan? Tentunya sampai batu bata masih digunakan
Untuk melihat liputan teman-teman lainya baca di sini
*) Salam Njepret
*) Salam Budaya
*) Salam Wirausaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H