Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ikhwanul Muslimin: Antara Tasawuf, Pasukan Khusus dan Militerisme

13 November 2020   18:00 Diperbarui: 13 November 2020   18:04 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat korps militer di pertubuhan IM terstimulan kuat dengan adanya isu pendirian negara Israel. Sebelum negara Israel berdiri dan masa-masa setelahnya para eksponen IM aktif menyerang warga Yahudi di Mesir. Intimidasi, pengusiran dan pembakaran toko-toko Yahudi terjadi. Satu skandal pembunuhan tokoh besar Mesir menyulut kontroversi sengit terkait IM. 

Perdana Menteri Mahmud Nuqrashi Pasha (1888-1948) dibunuh oleh anggota elit Pasukan Khusus IM. Ini hanya berselang tiga tahun setelah Perdana Menteri Ahmad Mahir Pasha (1888-1945) dibunuh oleh Mahmud el-Essawy, diduga anggota IM juga. Al-Banna membantah keterlibatan IM dalam aksi berdarah ini. "Pelaku pembunuhan itu bukan anggota IM dan juga bukan Muslim," tegas al-Banna. Statement yang menyulut perselisihan di tubuh IM sendiri.

Pihak kerajaan dari Raja Faruk membubarkan IM pada 8 Desember 1948. Saat itu, IM mengklaim memiliki 500.000 anggota dengan 40.000 adalah anggota Rover Scout (Jawwalah). Dari angka ini, anggota Pasukan Khususnya diperkirakan 1.000 orang. Al-Banna yang susah payah berusaha menyelamatkan IM dari prahara politik yang sengit sudah kehilangan kendali atas organisasinya. Militansi Pasukan Khusus IM bersambungan dengan cabang-cabang IM. 

Satu insiden yang menyingkapkan eksistensi nyata Pasukan Khusus di tubuh IM dikenal dengan "Jeep Affair". Pada 15 Nopember 1948, satu jeep di Kairo, dicegat sarat dengan senjata, bahan peledak dan surat-surat rahasia kepunyaan IM. Padahal hanya selang sebulan sebelumnya di cabang IM Ismailiyah ditemukan juga penuh dengan senjata dan bahan peledak. Celakanya lagi, hanya dua bulan berselang setelah momen "Jeep Affair", seorang anggota IM berupaya mengebom gedung pengadilan yang menyimpan berkas kasus maut ini.

Dekrit pembubaran menyatakan bahwa satu seksi di bawah IM menjalankan pelatihan militer dan terlibat aktivitas teroris. Namun, seksi ini dihubungkan dengan jawwala atau Rover Scout, bukan pada Pasukan Khusus yang anehnya tak disebut sama sekali. Markas IM disisir dan semua yang hadir ditangkapi, kecuali Hasan al-Banna sendiri.

Garis tangan al-Banna rupanya menuliskan bahwa pemiliknya harus berakhir oleh timah panas. Pihak rezim istana Raja Faruk menurut para pengikut al-Banna terlibat dalam konspirasi pembunuhan atas pendiri IM ini. Hari itu tertanggal 12 Februari 1949, al-Banna dijadwalkan berjumpa dengan menteri Zaki Ali Pasha, perwakilan pemerintah. Sayang, setelah menanti lama, perwakilan pemerintah ini tak kunjung datang. Sore itu, al-Banna bersama saudara iparnya, Abdul Karim Mansur, tengah menunggu taksi di luar tempat pertemuan yang gagal terjadi. Tetiba keduanya diberondong peluru.

Aksi rahasia Pasukan Khusus IM yang berdarah, pelan tapi niscaya membawa pada tumpahnya darah al-Banna. Ada ideologi kekerasan yang merasuk pada Pasukan Khusus IM. Ideologi kekerasan ini ingin dihapuskan oleh al-Banna, namun rupanya ideologi tersebut lebih digdaya. Ideologi kekerasan inilah militerisme.

Militerisme merupakan problem kronis yang sukar dienyahkan oleh Islamisme. Tradisi Islam yang panjang pada sisi pemikiran politiknya juga susah-payah membatasi militerisme. Meski demikian, berbeda dengan Islamisme, secara substansial, bisa kita katakan bahwa tiga subkultur dalam tradisi Islam sebenarnya relatif mengambil jarak dari militerisme: sufisme, fiqh, dan literer.

Mengapa Islamisme terpesona pada militerisme? Saya kira ini pertanyaan terpenting yang jarang ditelusur dalam diskursus Islamisme. Untuk penerokaan awal, jawaban yang dikemukakan oleh Olivier Roy (1995) cukup sugestif. Islamisme lahir dalam modernitas. Dua tokohnya: al-Banna dan Maududi, tumbuh dalam tradisi relatif sekular, bukan klerik. Bisa dibilang keduanya relatif berjarak dari tradisi intelektualisme Islam yang digeluti klerik. Ditambah lagi dengan acuan pada Salafisme yang menafikan keragaman tradisi, kebudayaan dan sejarah Islam keterpesonaan pada heroisme masa Islam awal menjadi kronis.

Salafisme kaum Islamis melihat bahwa pembedaan kelembagaan antara pemerintah sipil dan militer bersifat kabur. Ideologi heroisme membuat asumsi bahwa kekuatan militer itu niscaya supremasinya. Seorang mujahid (baca: jihadis) tidak peduli pembedaan antara sipil dan militer. Bila di masa Khalifah Umar ada pembedaan antara tentara/mujahid reguler dengan warga biasa ditandai dengan sistem penggajian dari Bayt al-Mal. Umar juga berupaya menjaga supremasi sipil atas militer di saat melihat ada gejala panglima perang yang menggerogoti wewenang sipil. Ini terlihat saat Khalid bin Walid dipecat dari posisinya sebagai panglima perang.

Al-Banna meyakini bahwa kekuatan militer adalah kunci meraih kemenangan. Tidak heran bahwa ia membentuk elit militernya dalam saringan ketat. Ia punya ideal tentang pasukan elit militer yang bukan hanya memiliki kemampuan taktis dan strategis, tapi juga mumpuni dalam praktik ritual. Hanya saja, al-Banna tak mampu mengantisipasi radikalisme para elit militernya yang teracuni (intoxicated) gagasan revolusioner yang fasistik dan anti-demokratik. Bukan rahasia bahwa sejumlah elit IM mendapat sokongan dana dari rezim fasis Nazi Jerman dan pasukan khusus IM dilatih oleh elit militer Nazi (lihat Barry Rubin dan Wolfgang G. Schwanitz (2014)).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun