Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sains dan Agama Mengusir Corona

12 April 2020   18:14 Diperbarui: 12 April 2020   21:51 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumen Pribadi

Gelombang virus Corona (Covid-19) tak bisa ditahan dan dihentikan. Ia terus berjalan dan menerjang siapapun yang dikehendakinya, tak mengenal jender, status sosial, suku, bangsa, hingga agama sekalipun.

Virus ini awalnya menyebar di Wuhan, Cina, kemudian menyebar cepat ke seluruh bagian dunia secara masif. Kini ia menjadi pandemi yang ditakuti seluruh warga dunia.

Terlihat kepanikan di mana-mana. Bursa saham dunia melemah, pasar keuangan global goncang, dan sejumlah data yang memperlihatkan kepanikan ekonomi global. Yang paling panik adalah ketika virus mengerikan ini telah memakan begitu banyak nyawa manusia setiap waktu. Menurut data Worldometer[1] secara global, di seluruh dunia tercatat ada 1.600.984 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 95.604 dan yang telah sembuh sebanyak 355.671. 

Kepanikan ini terus membayangi warga dunia karena media terus "mebombardir" publik dengan warta kematian manusia yang terus bertambah setiap harinya. Virus berdiameter 400-500 micro ini telah menjadi monster menakutkan bagi penduduk bumi, ia kapan saja akan siap 'menelan mangsanya' yang lemah imunitasnya dan tinggi tingkat kepanikannya.

Banyak asumsi dan persepsi terhadap virus ini. Ada yang menudingnya sebagai konspirasi politik dunia, sebagian menuduhnya sebagai azab bagi kaum tertentu, sebagian yang lain mengklaim sebagai ujian Tuhan, dan sejumlah kemungkinan lain yang mereka bisa buktikan secara empiris atau justru sebaliknya.

Apapun itu, kebijakan untuk melawan virus ini harus dilakukan negara-negara dunia dengan cepat, koperatif dan dalam skala besar. Lihat saja, misalnya, enam rekomendasi Bank Dunia yang tertuang dalam Laporan Ekonomi Bank Dunia untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik.[2]

Pertama, pengendalian transmisi seperti penutupan akses wilayah dan larangan bepergian (lock down) dibarengi dengan kebijakan moneter, fiskal dan struktural untuk meredam dampaknya terhadap ekonomi.

Kedua, meningkatkan kapasitas perawatan kesehatan. Ketiga, memberikan perlindungan sosial atau subsidi saat pekerja diwajibkan tinggal di rumah. Keempat, di sektor finansial, dengan mempermudah akses kredit bagi perorangan dan dan akses likuiditas bagi perusahaan

Kelima, kebijakan perdagangan harus tetap terbuka. Keenam, meningkatkan kerja sama internasional dan mengembangkan kemitraan swasta pemerintah, dalam konteks ini berusaha untuk memastikan pasokan produk medis utama.

Sains dan Agama

Sains secara umum didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) yang didapatkan dengan cara sistematis tentang struktur dan perilaku dari segala fenomena yang ada di alam beserta isinya. Sains merupakan hasil karya yang dilahirkan manusia, tanpa eksistensi manusia maka ilmu pengetahuan pun  mustahil adanya.

Dalam peradaban manusia, perkembangan sains menjadi sentral. Inilah yang kemudian negara-negara di dunia berlomba untuk menegembangkannya. Prinsipnya adalah semakin maju sains sebuah negara maka majulah bangsa tersebut.

Sains mempunyai PR besar, penting dan mendesak untuk menyudahi wabah ini dengan menemukan vaksin yang jitu untuk melawan virus dahsyat ini. Warga dunia berharap penuh kepada sains untuk mengatasi wabah ini dengan cepat dan tepat agar korban yang terpapar dan meninggal bisa direm jumlahnya.

Sains menjalankan perannya ketika para ilmuwan berhasil memaparkan hasil risetnya sehingga informasi kesehatan yang berkaitan virus ini bisa diakses dan dipatuhi masyarakat luas mulai dari edukasi pencegahan, peningkatan imunitas dan seterusnya. Sains juga membantu para tenaga medis saat menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya di lapangan sehingga mereka berhasil menangani wabah Corona di masyarakat.

Lalu, bagaimana peran agama dalam konteks ini? Apakah peran agama bertentangan dengan sains atau sebaliknya? Konstribusi apakah yang "disumbangkan" agama untuk mengatasi wabah pandemi ini? Dan sejumlah pertanyaan lain yang menuntut agama memberikan solusi terbaik menghadapi wabah ini. 

Dari segi epistemologi, sains dan agama adalah dua wilayah pengetahuan manusia yang berbeda. Sains titik tolaknya pengetahuan rasional dan empiris, sedangkan agama adalah pengetahuan yang bertolak kepada intuisi.

Agama mempunyai peran penting dalam menghadapi segala persoalan kehidupan, termasuk dalam menangani wabah Corona ini. Meski agama, pada titik tertentu, tak selalu linier dengan nalar sains.

Meminjam bahasa Mohamad Anas dalam Buletin Macapat[3]  bahwa peran agama mempunyai jalan sendiri yang "tidak gaduh" di ruang publik. Mesti tak gaduh, ia bisa dirasakan penuh oleh para penganutnya, ia mampu memberi ketenangan dan optimisme. 

Menurutnya, peran agama harus bersifat positif, bukan sebaliknya, malah ikut memperkeruh dan memperuncing persoalan. Pada level individu, agama dapat memperkuat mental seseorang di tengah gaduhnya wabah Corona, tentu saja dengan doa dan keyakinan. Pada level sosial agama justru diharapkan mampu menjadi basis moral dalam memperkuat kemanusiaan, persatuan, partisipasi dan bahkan keadilan.

Masih dalam diskursus peranan agama di atas, Andri Fransiskus Gultom[4], Dosen Filsafat Ilmu dan Logika FIB UB, justru dengan telak mempertanyakan konsep 'agama' yang dimaksud oleh Mohamad Anas. Menurutnya, agama yang dikonspepsikannya adalah agama sebagai suatu ideologi, aliran, dan keyakinan, jelas bukan manusia. 

Dalam konteks ini 'agama' tak bisa berbuat apa-apa, ia terengah-engah bahkan kewalahan, untuk "menunda" sebaran virus Corona saja ia tak sanggup. Sangat berbeda jika 'agama' diterjemahkan secara antropologis, yang dimaksud adalah para penganut agama (umat beragama).   

Gultom membaca cara atau langkah praktis yang dilakukan oleh agama hanya berkutat pada anjuran, petuah, nasehat, khotbah yang cenderung menenangkan umatnya agar tidak panik dan ujungnya diminta untuk berserah kepada Yang Mahakuasa. Dalam perspektif filsafat, agama dalam konteks di atas hanya "mempertajam makna tanggung jawab" bukan "mengorganisasi makna tanggung jawab".

Mengorganisasi makna tanggung jawab akan mengubah perilaku penganut agama yang tadinya hanya sekedar berserah diri, pasrah pada takdir yang ada (jabariyah, fatalisme) menjadi penganut agama yang berusaha maksimal melakukan hal-hal konkret menghindari virus Corona, misalnya, dengan melaksanakan imbauan WHO, antara lain menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan secara berkala, menjaga jarak melalui physical distancing, dan seterusnya.

Inilah yang dikenal dalam Islam sebagai konsep "tawakkal", usaha maksimal kemudian berserah diri. Takdir kematian seseorang memang sudah Tuhan tentukan dalam daftar tunggu yang dipegang malaikat Izrail, namun menghindari wabah virus Corona dengan segala usaha maksimal dikerahkan merupakan jalan baru menerjemahkan agama yang lebih dinamis.  

Sekilas terdapat pertentangan peran agama yang dipersepsikan Anas dengan yang disuguhkan Gultom dalam menghadapi Corona. Sesungguhnya, keduanya saling melengkapi. Hanya kacamata yang dipakainyalah yang membedakan keduanya. Keduanya menganggap bahwa agama punya peranan penting  menghadapi virus Corona.

Sains telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Sejak  awal perkembangaanya, sains telah berperan mengubah cara pandang manusia tentang diri dan alam sekitarnya sesuai dengan pandangan sains itu sendiri.

Begitu pula agama, ia berperan saat menjelaskan misteri-misteri kehidupan secara intuitif. Pada akhirnya, jika kita mengabaikan peran keduanya maka hilanglah keseimbangan dan keharmonisan pada manusia dan alam.

Di pihak lain ada keterkaitan antara sains dan agama, sehingga keduanya bisa didudukkan bersama untuk membicarakan dan menyelesaikan problem kehidupan, termasuk di dalamnya menghadapi problem virus Corona. Keduanya saling mendukung dan menguatkan.

Dalam tipologi hubungan antara sains dan agama, Ian Barbour mengkategorikannya sebagai hubungan yang bersifat dialogis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun