Panglima ABRI kala itu, Jenderal TNI Try Sutrisno saat itu menegaskan, ABRI terpaksa melepaskan tembakan terhadap massa dalam insiden di Dili 12 November, sebagai upaya membela diri.
 "Bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada peleton yang dilucuti massa, dan senjatanya dibawa lari. Bagaimana memperolehnya kembali? Bukankah korban yang jatuh akan lebih banyak?"Â
Ungkap Sutrisno.
Untuk merespons insiden itu, Presiden Soeharto membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) di bawah pimpinan Hakim Agung M Djaelani.
Penunjukan M Djaelani tersebut dinilai banyak kalangan sebagai keputusan tepat dan patut disambut dengan baik, seperti dikutip dari Harian Kompas, 19 November 1991. KPN pun mulai bekerja dengan menelusuri rute pengunjuk rasa dan mewawancarai beberapa orang.
Tragedi Santa Cruz tersebut banyak mendapat sorotan dari media asing. Mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia banyak terkesan menutup-nutupi insiden itu.
Pakar politik Australia, Rebecca Strating dalam Social Democracy in East Timor, menyebutkan setelah insiden Dili itu, senator AS meminta Presiden George Bush Sr. agar membantu Timor Timur menentukan nasib sendiri dengan memasukkan persoalan tersebut dalam agenda resolusi Majelis Umum PBB.
Rencanan PBB itu mendapat sambutan beragam. Kapupspen ABRI Brigjen Nurhadi Purwosaputra mengatakan, ABRI tidak mau ada campur tangan asing dalam menyelidiki insiden Santa Cruz itu.
Sementara itu, mantan Komandan Kopassus yang pernah bertugas di Timor Timur, Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa tindakan penyerangan di Santa Cruz itu tidak taktis secara militer.
"Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional, Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibu kota provinsi!"
Ujar Prabowo kepada jurnalis Amerika Allan Nairn seperti dikutip dari laman alannairn.org.