Andai kita merogoh kocek sebesar kisaran Rp5.000-Rp10.000 untuk membeli sebiji Bitcoin 10 tahun lalu, kini kita sudah jadi milyarder. Itu cuma 1, bayangkan bagaimana perasaan IT engineer asal Wales ini yang kehilangan 8.000 BTC di tempat sampah.
Pada awal-awal Bitcoin menjadi pusat pemberitaan media-media nasional satu dekade lalu, harganya masih berkisar puluhan sen. Bahkan seingat saya tak sampai setengah dollar AS pada tahun 2013-2014 itu.
Kini, pada saat artikel ini ditulis, menurut laman Coin Marketcap, nilai BTC menembus US$ 103.500 per keping. Dalam rupiah, angka itu setara dengan Rp 1,66 miliar. Wow!
Artinya, menyimpan 1 BTC saja sudah menjadikan kita seorang miliarder. Jadi, bayangkan bagaimana sesaknya perasaan James Howell, seorang IT engineer dari Wales, saat mengingat-ingat lagi 8.000 BTC miliknya yang kini entah berada di mana.
Karena itulah ia nekat menuntut Dewan Kota agar diberi izin mengobrak-abrik tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Newton demi menemukan harta karun tersebut. Sebuah upaya yang lantas dihentikan oleh jaksa setempat.
Lupa Private Key
Sebetulnya 8.000 keping BTC milik James Howell tidak hilang. Ribuan koin digital tersebut masih berada di dalam blockchain Bitcoin, jadi selamanya akan tetap di sana.
Masalahnya, IT engineer berusia 39 tahun ini lupa private key untuk mengakses koin-koin miliknya itu. Tanpa kode unik berupa kombinasi huruf dan angka tersebut, selamanya ia tak akan pernah bisa kembali mendapatkan Bitcoin sebanyak ribuan keping tadi.
Private key memang sulit dihapal karena kombinasinya yang sangat acak. Belum lagi ada variasi huruf besar dan huruf kecil yang membuatnya semakin sulit diingat.
Oleh karena itulah biasanya pemilik cryptocurrency mencatat private key miliknya di buku, lalu menyimpannya baik-baik di lemari, laci atau rak khusus. Ada pula yang menyimpannya dalam bentuk catatan digital di komputasi awan, seperti Google Drive, dan ada juga sebagai draf email.
Nah, pada saat membeli 8.000 BTC belasan tahun lalu, James Howell menyimpan catatan private key-nya pada diska keras (harddisk drive, HDD) komputer. Ketika kemudian ia meng-upgrade komputernya, HDD tersebut ia lepas dan disimpan di laci meja kerja.
Malangnya, sewaktu membereskan ruangan, pasangan James Howell membuang perangkat keras tersebut ke tong sampah. Mungkin ia mengira itu harddisk yang sudah tidak terpakai, sehingga daripada memenuhi laci mending dibuang saja.Â
Kejadian pada 2013 tersebut mulanya dianggap angin lalu saja. Maklumlah, pada masa itu nilai Bitcoin masih receh. Bahkan kebanyakan orang hanya menganggapnya sebagai lelucon dunia pemrograman yang tak perlu ditanggapi serius.
Siapa sangka kemudian Bitcoin menjadi proyek serius dan harganya terus merangkak naik. Karena itulah sejak sedekade lalu James Howell berupaya keras mendapatkan kembali harddisk-nya yang kini entah berada di mana.
Berniat Mengorek Sampah
Mari kita hitung-hitungan sebentar untuk mendapatkan gambaran betapa besarnya nilai Bitcoin milik James Howell.
BTC menembus harga all time high di angka US$ 108.135 pada 17 Desember 2024. Artinya, 8.000 BTC milik James Howell tadi bernilai total US$ 865.080.000.
Dalam rupiah, per tulisan ini ditulis, nonimal tersebut setara dengan Rp14.170.572.702.000 alias Rp 14 triliun lebih!
Setelah itu harga Bitcoin turun ke bawah US$ 100.000 dan sempat lama berada di kisaran US$ 90.000-an. Meski demikian, tetap saja nilainya setara miliaran dalam rupiah kita.
Karena itulah James Howell lantas berniat mengaduk-aduk tumpukan sampah di TPA Newton. Harapannya tentu saja menemukan kembali harddisk miliknya yang telah lama hilang demi bisa mengakses 8.000 BTC miliknya.
Meski tak semasif TPST Bantargebang, tetap saja TPA Newton berisi ton-tonan sampah. Mengutip BBC, tempat ini menampung setidaknya 1,4 juta ton sampah.
Namun rencana James Howell memantik reaksi pemerintah kota setempat. Dewan Kota Newton memintanya untuk tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat mengganggu ketertiban umum sekaligus merusak lingkungan sekitar.
Lagipula, menurut pernyataan Dewan Kota, TPA Newton beserta segala isinya adalah milik pemerintah kota setempat. Maka, andaipun benar harddisk yang dicari Howell berada di sana, benda itu sudah bukan lagi miliknya, melainkan milik pemerintah kota.
Tak putus asa, September 2024 lalu James Howell mengeluarkan petisi yang melawan argumen Dewan Kota tersebut. Ia bahkan menawarkan 25% dari harta karunnya itu bagi kas pemerintah kota yang dapat dipergunakan untuk kegiatan amal.
Upaya tersebut mentok karena dewan kota Newton bergeming. Howell lantas beralih ke pengadilan demi mendapatkan izin resmi untuk memasuki TPA dan mengaduk-aduk isinya.
Sayang, langkah pamungkas tersebut juga gagal. Jaksa setempat mengambil sikap sama seperti Dewan Kota, sehingga tidak memberikan izin bagi Howell.
Jaksa beralasan tidak ada landasan kuat bagi IT engineer tersebut untuk melakukan tindakan tersebut. Juga tidak ada jaminan bahwa secara realistis usahanya itu bakal membuahkan hasil.
Melihat harga Bitcoin yang kini kembali menyentuh seratusan dolar AS, malah diprediksi malah mencetak all time high baru, tak terbayangkan seperti apa merananya James Howell setiap kali mengingat-ingat 8.000 BTC miliknya yang kini entah berada di mana.
Talang Datar, 18 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI