Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Slow Living Berkualitas a la Petani Kelapa Sawit di Desa Transmigrasi

29 Desember 2024   23:21 Diperbarui: 30 Desember 2024   18:29 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani memanen sawit di Desa Anggah Jaya, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS))

Oke, ini memang bukan kota seperti yang disebutkan dalam Topik Pilihan. Namun rasa-rasanya tidak salah jika teman-teman menyimak slow living berkualitas a la para petani sawit di desa transmigrasi bernama Talang Datar, Jambi.

Kalau membaca tulisan saya sampai tuntas, sampai paragraf terakhir, pasti akan menjumpai penanda berupa nama tempat dan tanggal saya menulis artikel tersebut. Sejak tulisan yang dipublikasikan pada 1 September 2024, nama lokasi tersebut berubah dari "Pemalang" menjadi "Talang Datar".

Ya, sejak Mei lalu saya pindah. Boyongan bersama istri dan anak-anak. Sebuah peristiwa duka yang menjadi pemicu kepindahan tersebut, tetapi saya tidak akan membahas soal itu.

Alih-alih mengenang kembali kejadian menyedihkan tersebut, lebih baik kita bahas tentang gaya hidup kebanyakan penduduk di Desa Talang Datar. Sebuah kehidupan yang saya yakin sekali banyak diidam-idamkan oleh para pencari rezeki di kota-kota besar seperti Jakarta.

Bayangkan saja sebuah kehidupan di mana kebutuhan dasar sehari-hari terpenuhi. Bukan cuma asal makan, tetapi makanan bergizi yang komplet sayur-mayur dan lauk-pauk berupa telur, ikan dan daging ayam.

Biaya sekolah anak juga tercukupi, bahkan hingga si anak menempuh pendidikan tinggi. Masih bisa pula memiliki kendaraan, minimal sepeda motor satu anggota keluarga satu unit.

Bahkan kalau pandai mengatur keuangan dan kreatif memanfaatkan waktu luang yang sangat banyak, ada sejumlah besar uang yang dapat disisihkan setiap bulan. Dan semua itu dapat diperoleh dengan hanya bekerja di kebun 2 pekan sekali!

Kelapa Sawit yang Menghidupi

Kebetulan sekali pagi hingga siang tadi saya memanen kelapa sawit. Setelah ditimbang, dapatlah 1,3 ton. Dikali harga kelapa sawit per hari ini yang di kisaran Rp3.500/kg, silakan hitung sendiri berapa hasil penjualan hari ini.

Oya, itu penghasilan selama 2 pekan, sebab buah kelapa sawit biasa dipanen 2 pekan sekali. Jadi, kalikan dua untuk mendapatkan penghasilan bulanan.

Para pekerja berupah UMP di Jakarta sah-sah merasa iri. Apalagi yang di Pemalang, kabupaten termiskin di Jawa Tengah kata Vicky Prasetyo dalam debat terbuka Pilkada 2024 lalu.

Terlebih jika mengingat mengurus kebun kelapa sawit mudahnya kebangetan. Tidak seperti karet yang harus menyadap setiap hari, misalnya.

Pohon kelapa sawit, sekali ditanam bakal memberi penghasilan hingga maksimal 25 tahun. Selama itu, perawatan yang diperlukan hanyalah memberi pupuk setiap 4-5 bulan sekali, membersihkan rumput setiap 3-4 bulan sekali, serta memangkas pelepah setiap paling cepat setahun sekali. 

Bandingkan dengan periode panennya yang 2 pekan sekali, yang berarti si petani cuma perlu 2 kali ke kebun dalam sebulan. Cuma 2 hari sebulan dan tersisa 28-29 hari yang bebas mau dipakai apa saja.

Bandingkan dengan penghasilannya yang tidak bisa dibilang sedikit. Misalkan hanya dapat 1 ton setiap panen sekalipun, tetap saja pemasukan bulanan petani sawit lebih besar dari UMP manapun di Indonesia.

Maka, seperti sudah disinggung di atas tadi, dalam pandangan saya para petani sawit adalah sebaik-baiknya pelaku slow living di kalangan wong cilik.

Rutinitas Kerja Menyenangkan


Oya, sebetulnya bukan saya sendiri yang memanen. Sejak awal punya kebun kelapa sawit, mendiang Ibu selalu menyuruh tetangga yang memang kesehariannya bekerja sebagai juru panen.

Setahun belakangan, yang biasa memanen di kebun sebelah rumah adalah tetangga. Sebut saja namanya Satria.

Saya hanya membantu-bantu merapikan pelepah yang musti dipotong agar tandah buah segar (TBS) dapat diturunkan. Juga memunguti butir-butir kelapa sawit yang rontok dari tandan, kami menyebutnya sebagai brondolan.

Satria biasa datang ke rumah sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah memarkir sepeda motor, ia langsung ke kebun dan mulai menurunkan tandan-tandan buah sawit yang terlihat merah.

Tanpa melongok pun saya tahu Satria sudah mulai bekerja, sebab ada suara khas ketika mata egrek memotong tangkai pelepah atau TBS. Lalu diikuti suara berdebum saat tandan buah kelapa wasit jatuh menimpa tanah.

Kalau buahnya terlalu tua, akan ada butir-butir kelapa sawit yang rontok ketika TBS jatuh menghantam tanah. Ada yang hanya beberapa butir, tetapi ada yang sampai 1-2 ember ukuran 5 liter, tergantung seberapa tua.

Sayalah yang bertugas merapihkan pelepah-pelepah yang ikut dipotong, lalu memunguti brondolan dan mengumpulkannya ke dalam karung. Terkadang hanya dapat satu karung beras 20 kg, tetapi pernah juga dapat sampai 2 karung pupuk 50 kg.

Selesai menurunkan buah, Satria pulang untuk beristirahat. Sejam kemudian ia kembali lagi dan langsung mengangkut TBS-TBS tadi ke tempat penimbangan (TPH).

Setelah itu, seluruh TBS dan karung-karung berisi brondolan hasil pungutan saya ditimbang. Seorang pengurus kelompok yang menangani penjualan ke pabrik mengamati sambil mencatat.

Biasanya sambil menimbang kami mengobrol dan bercanda. Suasananya sangat menyenangkan sekali. Capek memang karena ini pekerjaan yang mengandalkan tenaga, tetapi sama sekali tidak bikin stres.

Sebelum azan Ashar berkumandang, pekerjaan kami sudah selesai. Bahkan tadi kami pulang ke rumah sekitar pukul setengah tiga.

Waktu Luang yang Berlimpah Ruah

Dari pukul 08.00 ke 14.30, artinya Satria dan saya bekerja selama 6,5 jam saja. Maknanya, seorang pemilik kebun kelapa sawit hanya bekerja total selama 13 jam dalam sebulan.

Bahkan jika ditambahkan dengan pekerjaan memotong rumput, memupuk, serta memangkas pelepah sekalipun, total jam kerja para petani kelapa sawit patut membuat kaum ten-to-five di kota-kota besar merasa iri. Pasalnya, ritme kerjanya benar-benar sangat santai sekali.

Bayangkan saja, memotong rumput di kebun seluas 2 hektar tak akan memakan waktu sampai sepekan. Memberi pupuk pun bisa selesai dalam 2-3 hari, dengan jam kerja total 6-8 jam per hari. Memangkas pelepah malah bisa selesai dalam sehari saja.

Bayangkan, betapa banyaknya waktu yang tersisa untuk dinikmati. Tentu sangat leluasa untuk dipakai untuk melakoni hobi, misalnya memancing, berkebun atau mengurus ayam/burung peliharaan.

Yang merasa penghasilan dari kebun saja sudah cukup, biasanya menghabiskan waktu luang mereka untuk memuaskan hobi. Namun tak sedikit yang lebih memilih memanfaatkan hari-hari di luar mengurus kelapa sawit untuk mencari penghasilan tambahan.

Yang paling umum adalah mengolah lahan pekarangan rumah. Salah satu kenalan orang tua saya menyulap halaman samping-belakang rumah seluas sekitar 50 x 100 meter miliknya menjadi kebun sayur-sayuran plus buah-buahan.

Tempo hari, sewaktu saya mengantarkan durian yang baru saja jatuh di halaman belakang rumah, beliau sedang memipil jagung hasil panen. Seluruhnya dijual sebagai jagung pipilan dan sudah ada penadahnya, tinggal terima uang.

Ada pula yang membuka bengkel sepeda motor, membuka toko kelontong, membuka tempat pangkas rambut, atau berjualan di pasar seperti pedagang sayur-mayur langganan istri setiap hari pasaran. Pun ada yang membuka tempat les maupun menawarkan jasa travel antar kota.

Saya sendiri sedang belajar memuliakan kembali sisa lahan pekarangan yang sudah sangat lama terbengkalai dan tandus. Mau saya suburkan secara organik, sebelum nantinya ditanami sayur-mayur. Target saya sederhana: istri ke pasar cukup membeli bumbu dapur, lainnya dipetik sendiri dari kebun di pekarangan.

Oya, waktu luang yang dipunyai bakal tambah berlimpah jika semua pekerjaan kebun tadi diupahkan ke orang. Si pemilik kebun alias petani kelapa sawit tinggal terima beres dengan mempekerjakan orang-orang seperti Satria.

Kalau ada yang bertanya apa tidak rugi, saya ingin bertanya balik kenapa harus merasa rugi? Dalam hitung-hitungan saja justru sangat menguntungkan, sebab bagaimanapun waktu dan tenaga kita tak akan pernah sepadan dibandingkan dengan uang.

Apalagi momen-momen tak ternilai bersama anak-anak dan istri. Sungguh sangat sayang sekali kalau sampai melewatkan tumbuh-kembang si kecil, sebab itu adalah hal yang tak mungkin dapat terulang.

Bayangkan rutinitas hari-harimu diisi dengan memandikan anak dan mengantarnya ke sekolah, lalu memasak bersama istri di dapur. Baru keluar lagi begitu tiba waktu menjemput sepulang sekolah. Setelah istirahat sampai asar, lanjutkan kegiatan dengan berkebun di pekarangan sampai menjelang azan Magrib berkumandang.

Di malam hari, saya punya waktu tak kalah berlimpah untuk menulis novel online di GoodNovel atau Fizzo, memproduksi buku cerita anak di Amazon KDP, sembari melakukan perpetual trading di platform Jupiter. Saat kantuk menyapa, matikan Chromebook dan pergi tidur.

Bagaimana, tertarik menjalani slow living berkualitas a la petani kelapa sawit?

Talang Datar, 29 Desember 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun