Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Fenomena Cakada yang Bahkan Tidak Memilih Dirinya Sendiri dalam Pilkada 2024

1 Desember 2024   11:27 Diperbarui: 1 Desember 2024   14:14 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anies Baswedan sempat menyampaikan ucapan menarik kala menyalurkan hak suara di TPS 29 Lebak Bulus, Jakarta, 27 November lalu. Sebagaimana dilansir banyak media, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut mengatakan ia hanya memilih pasangan calon yang bisa mencoblos dirinya sendiri.

Ucapan tersebut bermakna sentilan, sebab dalam persaingan Pilkada Jakarta tahun ini ada pasangan calon yang ber-KTP luar daerah. Ya, paslon dimaksud adalah Ridwan Kamil-Suswono yang merupakan pesaing utama Pramono Anung-Rano Karno.

Ridwan Kamil, mantan wali kota Bandung cum gubernur Jawa Barat, masih memegang KTP daerah asalnya. Pada Pilkada lalu ia menggunakan hak pilih di TPS 23 Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung.

Demikian pula Suswono yang merupakan warga Kota Bogor. Mantan menteri pertanian tersebut menyalurkan suaranya di TPS 07 Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.

Hal ini menjadikan paslon dengan slogan R1DO tersebut satu-satunya kandidat yang tidak bisa mendukung dirinya sendiri dalam Pilkada Jakarta 2024. Pasalnya baik Pramono-Rano maupun Dharma Pangrekun-Kun Wardana adalah warga tempatan.

Pramono Anung menyalurkan hak suara di Cipete, sedangkan Rano Karno dan Dharma Pangrekun sama-sama mencoblos di TPS dalam wilayah Kelurahan Lebak Bulus. Lalu Kun Wardana di Ciganjur. Kesemuanya berada di Jakarta Selatan.

Anies Baswedan sendiri secara terbuka menyatakan dukungan terhadap duet Pramono Anung-Rano Karno. Maka, mudah ditebak kepada siapa ucapannya kala itu ditujukan.

Daerah Lain pun Sama

Fenomena ini bukan cuma terjadi di Jakarta. Banyak kandidat Pilkada 2024 lain yang tidak bisa mendukung dirinya sendiri di TPS karena berdomisili di luar daerah tempatnya mencalonkan diri.

Di Muaro Jambi, misalnya, bahkan seluruh keempat calon bupati merupakan pemegang KTP Kota Jambi. Tidak satupun dari mereka yang berdomisili di daerah pemilihan sekalipun dua di antaranya pernah menjabat sebagai bupati dan wakil bupati.

Asnawi Rivai, Zuwanda, Masnah Busro dan Bambang Bayu Suseno semuanya berdomisili di Kota Jambi. Alhasil, tak satupun dari mereka yang dapat menyumbang suara untuk diri sendiri di Pilkada Muaro Jambi pada 27 November lalu.

Sebagai informasi bagi yang belum tahu, wilayah Muaro Jambi memang melingkungi Kota Jambi seluruhnya. Membuat Kota Jambi seakan-akan sebuah exclave, serta sering dianekdotkan sebagai kuning telur dengan Muaro Jambi putih telurnya.

Bagi warga di kawasan transmigrasi Sei Bahar seperti saya, harus "menyeberangi" Kota Jambi terlebih dahulu untuk mencapai ibukota kabupaten di Sengeti. Kata "menyeberangi" tadi bisa juga diartikan secara literal, sebab dalam perjalanannya memang melintasi Jembatan Aur Duri yang membelah Sungai Batang Hari.

Untungnya, seluruh keempat cawabup Muaro Jambi masih warga lokal. Tak cuma menyumbang satu suara, mereka menjadi motor penggerak kemenangan di TPS tempat mencoblos, bahkan memenangkan seluruh desa dan kecamatan.

Misalnya cawabup nomor urut 4, Junaidi Mahir. Ketua DPD Partai Persatuan Indonesia Muaro Jambi ini menyalurkan hak suara di TPS 03 Jambi Kecil, Kecamatan Maro Sebo.

Di TPS tersebut, pasangan Bambang Bayu Suseno-Junaidi Mahir menang telak. Mereka meraup 297 dari 401 suara yang masuk, hanya menyisakan 105 suara untuk dibagi-bagi tiga paslon lain.

Lebih jauh, BBS-Jun unggul telak di Jambi Kecil dengan perolehan 1.383 dari total 1.827 suara di tingkat desa. Mereka juga menang besar di Kecamatan Maro Sebo dengan raihan 48,18% alias meraup nyaris separuh total suara masuk.

Elektabilitas di Atas Potensi Putra Daerah

Di Kota Batu, hal sama terjadi. Pasangan Kris Dayanti-Kresna Dewanata sama-sama ber-KTP luar daerah, sehingga tidak bisa memberikan suara untuk diri mereka sendiri dalam Pilkada.

Krisdayanti memang aslinya berasal dari Kota Batu, tetapi sudah sejak lama pindah domisili menyusul perkembangan karier menyanyinya di ibukota. Sedangkan Kresna masih memegang KTP Kabupaten Malang.

Firhando Gumelar yang menjadi pesaing Kris Dayanti sebetulnya juga warga luar daerah, tepatnya Surabaya. Namun calon walikota yang akrab dipanggil Mas Gum ini mengurus surat pindah memilih, sehingga dapat menyalurkan hak suara di Kota Batu sekalipun hanya boleh mencoblos surat suara pemilihan gubernur.

Di Pemalang pun demikian. Cabup nomor urut 1 Vicky Prasetyo merupakan warga Kota Bekasi, Jawa Barat, dibuktikan dari nomor induk kependudukannya yang berkode awal 327504. Sementara cawabupnya, Mochamad Suwendi, adalah warga Kabupaten Tegal.

Dari sedikit contoh di atas, di mata saya fenomena kandidat kepala daerah berasal dari luar daerah membuktikan satu hal. Bagi partai politik pengusung pasangan calon, faktor elektabilitas adalah hal paling utama di atas lain-lainnya.

Pengungkit elektabilitas itu bisa berupa popularitas calon maupun kemampuannya dalam menyokong logistik kampanye. Maka tak peduli si kandidat warga luar daerah, bahkan diambil jauh dari provinsi lain sekalipun, asalkan punya modal tersebut bakal diajukan oleh parpol.

Di satu sisi, ini menghadirkan fenomena unik. Kok bisa ada calon kepala daerah di satu tempat, malah menyalurkan suaranya untuk calon kepala daerah tempat lain.

Di sisi lain, fenomena ini seharusnya membuat kita semua bersedih, bahkan berhak marah. Kenapa? Karena kita sebagai pemilik suara nyata-nyata hanyalah dimanfaatkan sebagai alat meraih kekuasaan oleh para politisi.

Sebagai penduduk, kita tidak diberi pilihan calon pemimpin yang merupakan putera daerah terbaik. Pilihan sosok yang betul-betul mengerti permasalahan di daerah tersebut, bahkan juga ikut bergelut di dalam masalah-masalah yang sama dengan kita para pemilih di keseharian hidupnya.

Alih-alih, parpol pengusung justru mencari-cari sosok populer yang diprediksi dapat mendulang banyak suara demi memenangkan Pilkada. Kalau calonnya masih ada hubung-kait asal-usul dengan daerah tempatnya bertarung, seperti Kris Dayanti di Kota Batu tadi, masih tidak terlalu bermasalah.

Namun kalau sampai calonnya bahkan orang yang mulanya asing sama sekali dengan daerah tempatnya mencalonkan diri, seperti Vicky Prasetyo di Pemalang, alangkah memprihatinkan sekali. Masa iya pengurus parpol di daerah tersebut tidak bisa menemukan satu sosok putera daerah yang punya potensi, sih?

Ah, sepertinya pertanyaannya salah. Yang benar adalah: masa iya pengurus parpol di daerah tersebut tidak berani mengajukan putra daerah yang punya potensi?

Talang Datar, 1 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun