Pengungkit elektabilitas itu bisa berupa popularitas calon maupun kemampuannya dalam menyokong logistik kampanye. Maka tak peduli si kandidat warga luar daerah, bahkan diambil jauh dari provinsi lain sekalipun, asalkan punya modal tersebut bakal diajukan oleh parpol.
Di satu sisi, ini menghadirkan fenomena unik. Kok bisa ada calon kepala daerah di satu tempat, malah menyalurkan suaranya untuk calon kepala daerah tempat lain.
Di sisi lain, fenomena ini seharusnya membuat kita semua bersedih, bahkan berhak marah. Kenapa? Karena kita sebagai pemilik suara nyata-nyata hanyalah dimanfaatkan sebagai alat meraih kekuasaan oleh para politisi.
Sebagai penduduk, kita tidak diberi pilihan calon pemimpin yang merupakan putera daerah terbaik. Pilihan sosok yang betul-betul mengerti permasalahan di daerah tersebut, bahkan juga ikut bergelut di dalam masalah-masalah yang sama dengan kita para pemilih di keseharian hidupnya.
Alih-alih, parpol pengusung justru mencari-cari sosok populer yang diprediksi dapat mendulang banyak suara demi memenangkan Pilkada. Kalau calonnya masih ada hubung-kait asal-usul dengan daerah tempatnya bertarung, seperti Kris Dayanti di Kota Batu tadi, masih tidak terlalu bermasalah.
Namun kalau sampai calonnya bahkan orang yang mulanya asing sama sekali dengan daerah tempatnya mencalonkan diri, seperti Vicky Prasetyo di Pemalang, alangkah memprihatinkan sekali. Masa iya pengurus parpol di daerah tersebut tidak bisa menemukan satu sosok putera daerah yang punya potensi, sih?
Ah, sepertinya pertanyaannya salah. Yang benar adalah: masa iya pengurus parpol di daerah tersebut tidak berani mengajukan putra daerah yang punya potensi?
Talang Datar, 1 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H