Jangan kaget melihat tabel klasemen sementara UEFA Champions League 2024-25. Bukan tim raksasa Eropa yang tengah berada di puncak, melainkan klub semenjana Liga Inggris: Aston Villa FC.
Sebutan semenjana ini mengacu pada prestasi Villa. Di mana mereka terakhir kali meraih gelar juara pada 2008. Itupun statusnya co-winners alias juara bersama Piala Intertoto, kompetisi antarklub Eropa level tiga yang sudah tidak ada lagi.
Sebenarnya Villa berpeluang menambah koleksi trofi ketika mencapai partai final Piala Liga alias EFL Carabao Cup pada 2020. Namun Jack Grealish, cs. kalah tipis 1-2 dari klub yang kemudian merekrutnya, Manchester City.
Mundur lima tahun, Villa juga tampil di Stadion Wembley dalam laga pamungkas Piala FA. Sayang, Fabian Delph, cs. harus mengakui keperkasaan Arsenal yang membobol gawang mereka empat kali tanpa balas.
Bicara gelar juara liga, Villa bahkan sudah sangat lama tidak menjadi jagoan Inggris. The Villans terakhir kali memuncaki klasemen akhir Football League First Division, pendahulu Premier League, pada musim 1980-81 alias 43 tahun lalu.
Memasuki era Premier League, pencapaian terbaik Villa adalah runner-up musim 1992-93. Musim perdana di mana tim asuhan Ron Atkinson kalah 10 poin dari Manchester United-nya Alex Ferguson yang keluar sebagai juara.
Pendek kata, dalam setengah abad terakhir Villa hanya sekali menjuarai Liga Inggris (1980-81), dua kali menyabet trofi Piala Liga (1994 dan 1996), sekali menggondol European Cup--pendahulu Liga Champions Eropa (1981-82), serta dua kali menjadi co-winners Piala Intertoto (2001 dan 2008).
Tujuh gelar dalam rentang waktu 50 tahun tidak bisa disebut banyak. Terlebih rata-rata diraih sebelum memasuki abad 21, yakni era di mana sepak bola telah berkembang sedemikian modern.
Maka, rasa-rasanya tidak salah menyebut Villa sebagai tim semenjana. Padahal klub yang bermarkas di Villa Park ini dulunya merupakan salah satu tim elite Inggris, bahkan juga Eropa.
Bangkrut dan Tergedradasi
Status semenjana bertambah lengkap jika kita memasukkan episode tergelap dalam sejarah Villa belasan tahun lalu. Dimulai pada musim 2010-11, ketika klub menderita kerugian sebesar 53,9 juta pound.
Keadaan ini membuat pebisnis Amerika Serikat yang menjadi owner baru sejak September 2006, Randy Lerner, memilih menjual Villa. Namun hingga bertahun-tahun kemudian tak kunjung ada peminat, sehingga kondisi finansial klub semakin buruk.
Keringnya kas klub memengaruhi performa tim di atas lapangan. The Villans mencatatkan rekor gol terburuk Premier League kala hanya mencetak 12 gol dalam 25 pertandingan musim 2014-15. Musim itu pula mereka nyaris terdegradasi.Â
Beruntung Villa selamat berkat tangan dingin Tim Sherwood yang masuk menggantikan Paul Lamber pada Februari 2015. Malah di tengah kondisi sulit itu Sherwood berhasil membawa pasukannya ke final Piala FA.
Untuk menambal sulam keuangan klub, Villa menjual dua pemain bintang mereka pada bursa musim panas 2015. Striker Christian Benteke dilego ke Liverpool, sedangkan kapten tim Fabian Delph sampai dipaksa pindah ke Manchester City.
Namun keadaan tak membaik. Bulan madu Villa bersama Sherwood juga tidak berlangsung lama. Mantan bintang Blackburn Rovers tersebut dipecat setelah tim asuhannya kalah enam kali berturut-turut pada musim berikutnya.
Malang tak dapat ditolak. Remi Garde yang menjadi pengganti Sherwood justru menorehkan rekor lebih buruk bagi Villa: tak pernah menang dalam 19 laga beruntun.
Villa pada akhirnya terdepak juga dari Premier League pada akhir musim 2015-16. Kiprah mereka di kasta teratas sepak bola Inggris selama 29 tahun berturut-turut pun berakhir.
Tiga Musim Mengejar Promosi
Pembeli yang ditunggu-tunggu Randy Lerner akhirnya datang juga pada Juni 2016. Adalah pebisnis Tiongkok bernama Tony Xia yang mau mengucurkan uang sebanyak 76 juta pound untuk mengakuisisi Villa yang tengah berdarah-darah.
Tuan Xia bergerak cepat. Demi mengembalikan Villa ke Premier League dalam tempo sesingkat-singkatnya, sang milyarder mengontrak salah satu manajer terbaik Eropa masa itu: Roberto Di Matteo.
Rekam jejak Di Matteo terhitung mentereng di sepak bola Inggris. Ia membawa West Bromwich Albion promosi langsung ke Premier League usai menjadi runner-up Championship 2009-10.
Dua tahun berselang, Di Matteo meraih double winner bersama Chelsea. Bukan sembarang gelar ganda karena pria Italia kelahiran Swiss tersebut mengawinkan Piala FA dengan trofi Liga Champions.
Namun tuah Di Matteo tak terlihat di Villa Park. Ia bahkan sudah dipecat setelah hanya melakoni 12 laga, menyusul start buruk pasukannya di awal musim 2016-17.
Tuan Xia lantas menunjuk Steve Bruce sebagai manajer pengganti. Sebuah keputusan tepat karena peraih tiga gelar Premier League bersama Manchester United tersebut langsung memberi efek positif bagi performa Villa.
Musim 2017-18, Bruce menempatkan Villa ke peringkat empat klasemen. Sayang, tim asuhannya kalah dari Fulham di partai final play-off EFL Championship sehingga gagal promosi.
Kegagalan ini membuat Tony Xia menyerah. Ia menjual kepemilikan mayoritas klub kepada NSWE Group, sebuah konsorsium yang disokong crazy rich Mesir Nassef Sawiris dan pengusaha AS Wes Edens.
Kebetulan atau tidak, musim pertama pergantian owner langsung berbuah tiket promosi ke Premier League 2019-20. Villa pun kembali ke kasta teratas Liga Inggris setelah absen tiga musim.
Era Kebangkitan
Villa tak sekadar kembali ke Premier League. Owner baru sangat royal dalam mengongkosi klub, dibarengi target tinggi: mengembalikan The Villans sebagai salah satu kekuatan Inggris bahkan Eropa.
Sebagai salah satu pendiri Liga Inggris, Villa memang sempat menjadi langganan juara pada pergantian abad dari 19 ke 20. Lima dari 7 gelar Football League First Division mereka rengkuh pada era ini, termasuk 8 dari 10 status runner-up dan 6 dari 7 trofi Piala FA.
Di pentas Eropa, Villa masih memegang rekor sebagai salah satu dari hanya 6 klub Inggris yang pernah memenangkan trofi di level kontinen. Usai merebut gelar juara pada 1981-82, lalu tersingkir oleh Juventus di perempatfinal musim berikutnya, Villa sempat membukukan 9 penampilan di UEFA Cup dan dua kali tersingkir di babak play-off Europa League.
Namun dua musim pertama usai comeback ke EPL dirasakan sangat keras bagi Villa. Padahal tim telah dirombak habis-habisan dengan mendatangkan 12 pemain anyar pada bursa musim panas 2019.
Setelah nyaris terdegrasi pada akhir musim 2019-20, Villa hanya mampu finish di peringkat 11 musim berikutnya. Keputusan memecat Dean Smith di awal musim 2021-22 dan menggantikannya dengan Steven Gerrard tak membuat keadaan jadi lebih baik.
Barulah setelah mendepak Gerrard dan menunjuk Unai Emery sebagai pengganti pada November 2011, Villa mulai menapaki jalan menuju kebangkitan. Target yang diusung owner mereka pun perlahan menjadi kenyataan.
Emery mengakhiri musim pertamanya dengan membawa Villa finish di peringkat 7 klasemen akhir Premier League 2022-23. Tak cuma mengembalikan The Villans ke pentas Eropa, sekalipun hanya di level ketiga, pria Spanyol ini bahkan memimpin tim asuhannya hingga semifinal Conference League 2023-24.
Musim lalu, Emery berhasil menempatkan Villa di peringkat keempat klasemen akhir. Artinya, The Villans berhak tampil lagi di Liga Champions, kompetisi yang terakhir kali mereka ikuti pada 1982-83.
Kala Villa masih rutin berkiprah di kasta tertinggi antarklub Eropa, kompetisinya masih bernama European Cup. Formatnya pun masih sangat sederhana, yakni langsung menggunakan babak knock-out sejak partai pertama.
Maka, kehadiran kembali ini menjadikan Villa sebagai debutan di era Liga Champions. Juga merupakan penampilan perdana mereka sejak fase grup diperkenalkan pada musim 1991-92.
Langsung Memimpin
Lagi-lagi tak sekadar comeback, Villa langsung tampil mengesankan di tiga pertandingan awal Liga Champions 2024-25. Tampaknya John McGinn, cs. memanfaatkan benar perubahan format yang baru berlaku sejak musim ini.
Usai menang meyakinkan di kandang Young Boys pada matchday perdana, Villa secara mengejutkan sukses menekuk Bayern Munich. Lalu kemenangan ketiga diraih dengan mengoleh-olehi Bologna dua gol tanpa balas di Villa Park.
Villa tak cuma menorehkan poin sempurna di tiga matchday. Gawang Emiliano Martinez juga masih perawan, menjadikan The Villans sebagai satu dari hanya lima kontestan Liga Champions 2024-25 yang masih belum kebobolan sebiji gol pun.
Buahnya, Villa memuncaki klasemen sementara. Unggul selisih gol dari Liverpool, pengoleksi 6 trofi Liga Champions yang sama-sama mencatatkan 9 poin dari tiga pertandingan.
Selain Liverpool, masih ada lagi pengoleksi lebih dari satu trofi Liga Champions yang dikangkangi Vila. Inter Milan (3) di posisi 7, Barcelona (5) di posisi 10, juga Real Madrid si penguasa daratan Eropa dengan koleksi 15 gelar juara yang terdampar di posisi 12.
Perjalanan Villa masih sangat jauh, tentu. Fase grup saja masih menyisakan 5 matchday, belum lagi rentetan pertandingan ketat di fase gugur andai The Lions dapat bertahan di 8 besar klasemen.
Namun Emery dan tim asuhannya telah mengawali kiprah mereka dengan sangat baik. Terlebih menilik calon-calon lawan di jadwal tersisa, ada peluang bagi Villa untuk melaju sejauh mungkin di Liga Champions musim ini.
Menarik dinanti akankah Villa mampu memungkasi tren kebangkitan mereka dengan merengkuh trofi Eropa kedua?
Talang Datar, dini hari 25 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H