INDONESIA mengawali kiprah di Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 dengan hasil positif. Namun ternyata ada yang menyoroti sisi lain dari keberhasilan tersebut, persisnya mengenai dominasi pemain naturalisasi dalam tim.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia sukses menahan imbang Arab Saudi dan Australia dalam dua pertandingan awal Putaran Ketiga. Laga melawan Arab Saudi dinilai lebih berkesan, sebab timnas sempat unggul 1-0 terlebih dahulu selama lebih dari 25 menit.
Padahal jika menilik ranking FIFA, Indonesia (133) adalah kontestan berperingkat paling rendah di Putaran Ketiga. Di atas kertas bukanlah tandingan Arab Saudi (56) maupun Australia (24), lebih-lebih Jepang (18) kelak.
Akan tetapi rupanya ada yang melihat serta menilai hasil baik ini dari sisi lain. Salah satunya Peter F. Gontha yang belakangan jadi pusat pemberitaan. Komentarnya mengenai dominasi pemain naturalisasi ramai disorot, terutama oleh netizen fans fanatik timnas.
Peter menyampaikan pendapat mengenai pemain naturalisasi di akun Instagram pribadinya. Dalam unggahannya, ia menyoroti dominasi pemain naturalisasi dalam starting line-up Indonesia tempo hari.
Terang saja pendapat menentang arus begini langsung menjadi sorotan. Tidak heran jika kemudian netizen ramai-ramai menyerbu unggahan Peter, sehingga memaksanya menutup kolom komentar.
Naturalisasi Kian Mendominasi?
Peter tidak salah soal dominasi pemain naturalisasi di timnas. Kenyataannya memang demikian, bahkan lebih tepatnya semakin mendominasi.
Baik ketika melawan Arab Saudi maupun Australia, 9 dari 11 starter yang diturunkan Shin Tae-yong memang penggawa hasil proses alih-kewarganegaraan. Secara matematika, 9 dibagi 11 menghasilkan angka 82%. Dominan sekali memang.
Dalam dua pertandingan tersebut hanya tiga pemain 'lokal' yang dipercaya bermain sejak menit awal oleh STY. Bahkan jika pemain yang masuk sebagai pengganti ikut dihitung, jumlah keseluruhannya juga hanya 8 orang.
Komentar Peter ini ada dasarnya. Karena jika kita mengingat partai 16 Besar Piala Asia 2023 pada Januari 2024 lalu, Coach Shin menurunkan 7 pemain naturalisasi dalam starting XI.
Tujuh dari sebelas sama dengan 63% lebih, artinya ya dominan juga. Namun kala itu Peter tak berkomentar apa-apa, mungkin karena masih ingin melihat perkembangan berikutnya bagaimana.
Ketika jumlah pemain naturalisasi dalam starting line-up timnas menjadi 9 seperti sekarang, barulah ia bersuara. Dan pada kenyataannya ia tidak keliru, sebab dominasi pemain naturalisasi memang nyata semakin menjadi-jadi.
Jika sekarang 9 dari 11, bisa jadi pada pertandingan berikutnya starter yang diturunkan STY seluruhnya pemain naturalisasi. Bukankah PSSI sedang memproses beberapa nama baru seperti Eliano Reijnders dan Mees Hilgers?
Di X (dulu Twitter) bahkan sudah ada yang membuat bagan starting XI Indonesia di mana Rizky Ridho bakal tersingkir oleh Hilgers, sedangkan Reijnders menggusur Witan atau Marselino.
Bayangkan, kelak kita akan menyaksikan timnas Indonesia yang seluruh pemainnya tidak bisa berbahasa Indonesia! Menarik, bukan?
Sisi Positif Naturalisasi
Aturan naturalisasi memang memungkinkan hal seperti itu terjadi. Di mata FIFA, sepanjang seorang pemain memegang paspor negara bersangkutan serta memenuhi poin-poin dalam Eligibility Rules, sahlah ia membela timnas negara tersebut.
Bagi sebagian pihak, aturan ini adalah peluang untuk mendongkrak prestasi. Keterbatasan stok pemain berkualitas dapat diatasi dengan merekrut pemain-pemain asing yang memenuhi syarat Eligibility Rules FIFA.
Inilah langkah yang diambil pengurus PSSI sejak awal memperkenalkan kebijakan ini pada era Nurdin Halid. Bedanya, dulu yang diprioritaskan adalah pemain-pemain asing berkualitas di atas rata-rata yang telah lama merumput di Liga Indonesia.
Pendekatan berbeda diambil PSSI era Erick Thohir. Fokus kini ditujukan pada pemain-pemain berdarah Indonesia, lalu usianya juga sebisa mungkin masih dalam rentang usia produktif.
Apapun itu, baik Nurdin Halid maupun Erick Thohir punya target sama: mendongkrak prestasi Indonesia secepat mungkin. Sebuah tujuan yang dapat dipahami, mengingat mereka tentunya ingin meninggalkan jejak prestasi gemilang ketika masih menjabat.
Masa bakti satu periode itu sebentar. Cuma empat tahun. Kalau hanya mengandalkan pembinaan alami sebagai cara meraih prestasi, entah bisa atau tidak mereka ikut menikmati meriahnya selebrasi perolehan medali ataupun piala.
Terbukti kehadiran pemain naturalisasi langsung memberi efek positif secara performa. Peringkat FIFA timnas Indonesia terus meningkat, lalu yang terbaru adalah hasil imbang melawan dua raksasa Asia di Kualifikasi Piala Dunia. Mana tahu kelak ada piala yang didapat.
Jadi, saya pribadi sangat bisa bisa memaklumi jika ada pengurus PSSI yang melihat program naturalisasi sebagai jalan keluar terbaik. Katakanlah sebagai win-win solution bagi catatan timnas sekaligus para pengurus tersebut.
Sisi Negatif
Di sisi lain, dominasi pemain naturalisasi sangat boleh jadi bakal mengganggu laju pembinaan pemain di dalam negeri. Pembinaan pemain yang dilakukan oleh klub-klub di bawah PSSI sendiri, yang secara aturan justru merupakan tugas federasi.
Hal ini bakal terjadi ketika pemain di tim kelompok usia naik kelas ke timnas senior. Karena tim senior sudah disesaki pemain naturalisasi, bahkan hingga ke bangku cadangan, tidak ada tempat tersisa bagi pemain lokal.
Coba bayangkan, bagaimana kelanjutan karier Kadek Arel atau Iqbal Gwijangge kelak? Keduanya tampil apik menggalang pertahanan tim Indonesia U-19 saat memenangkan Kejuaraan AFF U-19 2024 yang baru lalu.Â
Saya tidak akan heran jika karier keduanya bakal mentok sampai Indonesia U-20. Kalaupun bisa masuk timnas senior, paling-paling hanya jadi penghangat bangku cadangan.
Kenapa? Karena timnas senior sudah disesaki bek-bek naturalisasi yang sebagian besar berusia muda-muda. Terlebih kita semua sama tahu, STY gemar sekali menaturalisasi pemain belakang lebih dari posisi manapun.
Ah, kok membayangkan yang belum terjadi. Bahkan yang sudah di depan mata pun ada, yakni tergusurnya Ernando Ari Sutaryadi dari pos penjaga gawang utama timnas sejak kehadiran Maarten Paes.
Lalu bagaimana nasib Ikram Algiffari si penjaga gawang terbaik Kejuaraan AFF U-19 2024?
Yang seperti inilah yang disayangkan oleh orang-orang seperti Peter F. Gontha. Baginya, lebih baik melihat Indonesia kalah tetapi yang bermain di atas lapangan adalah anak-anak bangsa sendiri, ketimbang meraih hasil positif bersama pemain asing yang diindonesiakan.
Suara senada disampaikan oleh pengamat sepak bola kawakan Tommy Welly alias Bung Towel. Ia terus mengkritisi kebijakan naturalisasi pemain yang menurutnya sudah kebablasan, sehingga mengancam kelanjutan pembinaan pemain muda.
Satu ucapan Bung Towel yang viral karena dijadikan bahan bully oleh netizen adalah terkait Paes. Katanya dalam salah satu podcast di kanal YouTube Sportify, "Emang tega lihat Ernando Ari di bangku cadangan?"
Tidak ada yang salah dari pendapat mereka. Namun karena publik bola kita tengah terlena dengan gula-gula naturalisasi, pendapat bernada kontra seperti itu seketika membuat pelontarnya menjadi public enemy.
Jika akun IG Peter langsung diserbu netizen, Tommy Welly bahkan pernah dilempar seseorang ketika tampil di suatu acara offair.
Contoh Sukses
Peter juga tidak salah ketika mengingatkan PSSI untuk tidak terus-terusan bergantung pada program naturalisasi. Karena berkaca dari negara-negara elite Asia maupun dunia, mereka sukses karena punya sistem pembinaan pemain dan juga kompetisi lokal yang tertata baik lagi dijaga kualitasnya.
Lihatlah Jepang, Korea Selatan juga Australia yang baru saja kita hadapi. Ketiganya adalah langganan Piala Dunia dan tak satupun yang mengandalkan naturalisasi pemain sebagai nafas utama dalam meraih prestasi tersebut.
Alih-alih, trio raksasa Asia tersebut mengandalkan liga domestik masing-masing sebagai kawah candradimuka bagi talenta-talenta berbakat di seantero negeri. Ketika ada kesempatan, para pemain terbaik mereka melanjutkan kiprah di Eropa.
Betul, Jepang pernah punya Wagner Lopez di Piala Dunia 1998 dan kemudian Alex Santos di Piala Dunia 2022. Namun ya hanya satu itu dari 23 pemain. Itupun mereka dibesarkan oleh Liga Jepang, bukan dipetik dari liga luar negeri.
Kalau ada yang berpikir penjaga gawang Zion Suzuki adalah pemain naturalisasi terkini Jepang, salah besar. Dia memang lahir di Amerika Serikat dan ayahnya orang Ghana, tetapi sejak kecil sudah tinggal dan menetap di Jepang.
Paspor pertama Zion adalah Jepang, sehingga ia tidak perlu menjalani proses naturalisasi sebelum membela timnas Jepang. Tambahan lagi, Zion adalah produk asli J-League yang kemudian merantau ke Eropa bersama Sint-Truiden dan kini AC Parma.
Kalau ada yang menyebut nama Kylian Mbappe ataupun Yamine Lamal sebagai contoh sukses naturalisasi Prancis dan Spanyol, lebih salah lagi. Keduanya adalah anak imigran yang lahir dan besar di Prancis dan Spanyol, lalu mengambil paspor negara kelahiran mereka tersebut.
Lalu sama halnya Zion Suzuki, Mbappe dan Yamal juga dibesarkan oleh liga domestik negara masing-masing. Sekali lagi, lahir dari rahim kompetisi lokal negara bersangkutan. Bukan dipetik dari pembinaan negara lain.
Jadi, alih-alih menyerang apalagi mencaci maki Peter F. Gontha, kita semua seharusnya malah berterima kasih padanya. Karena ia telah mengingatkan satu kewajiban penting yang bisa jadi terabaikan karena terlena oleh hasil instan yang diberikan oleh program naturalisasi pemain.
Talang Datar, dini hari 14 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H