Tujuh dari sebelas sama dengan 63% lebih, artinya ya dominan juga. Namun kala itu Peter tak berkomentar apa-apa, mungkin karena masih ingin melihat perkembangan berikutnya bagaimana.
Ketika jumlah pemain naturalisasi dalam starting line-up timnas menjadi 9 seperti sekarang, barulah ia bersuara. Dan pada kenyataannya ia tidak keliru, sebab dominasi pemain naturalisasi memang nyata semakin menjadi-jadi.
Jika sekarang 9 dari 11, bisa jadi pada pertandingan berikutnya starter yang diturunkan STY seluruhnya pemain naturalisasi. Bukankah PSSI sedang memproses beberapa nama baru seperti Eliano Reijnders dan Mees Hilgers?
Di X (dulu Twitter) bahkan sudah ada yang membuat bagan starting XI Indonesia di mana Rizky Ridho bakal tersingkir oleh Hilgers, sedangkan Reijnders menggusur Witan atau Marselino.
Bayangkan, kelak kita akan menyaksikan timnas Indonesia yang seluruh pemainnya tidak bisa berbahasa Indonesia! Menarik, bukan?
Sisi Positif Naturalisasi
Aturan naturalisasi memang memungkinkan hal seperti itu terjadi. Di mata FIFA, sepanjang seorang pemain memegang paspor negara bersangkutan serta memenuhi poin-poin dalam Eligibility Rules, sahlah ia membela timnas negara tersebut.
Bagi sebagian pihak, aturan ini adalah peluang untuk mendongkrak prestasi. Keterbatasan stok pemain berkualitas dapat diatasi dengan merekrut pemain-pemain asing yang memenuhi syarat Eligibility Rules FIFA.
Inilah langkah yang diambil pengurus PSSI sejak awal memperkenalkan kebijakan ini pada era Nurdin Halid. Bedanya, dulu yang diprioritaskan adalah pemain-pemain asing berkualitas di atas rata-rata yang telah lama merumput di Liga Indonesia.
Pendekatan berbeda diambil PSSI era Erick Thohir. Fokus kini ditujukan pada pemain-pemain berdarah Indonesia, lalu usianya juga sebisa mungkin masih dalam rentang usia produktif.
Apapun itu, baik Nurdin Halid maupun Erick Thohir punya target sama: mendongkrak prestasi Indonesia secepat mungkin. Sebuah tujuan yang dapat dipahami, mengingat mereka tentunya ingin meninggalkan jejak prestasi gemilang ketika masih menjabat.
Masa bakti satu periode itu sebentar. Cuma empat tahun. Kalau hanya mengandalkan pembinaan alami sebagai cara meraih prestasi, entah bisa atau tidak mereka ikut menikmati meriahnya selebrasi perolehan medali ataupun piala.