Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Membedah Rahasia Sukses Australia Jadi Raksasa Sepak Bola Asia

28 Januari 2024   23:43 Diperbarui: 30 Januari 2024   12:07 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asnawi Mangkualam (kiri) dan Yakob Sayuri (kanan) tengah berduel dengan pemain Australia. (Foto:  Akun X Ofisial AFC Asian Cup)

LANGKAH Indonesia terhenti di babak 16 Besar Piala Asia 2023. Terlepas dari hasil akhir, pertemuan melawan Australia hendaknya jadi ajang pembelajaran bagi para pemangku kebijakan sepak bola negeri ini agar Tim Garuda dapat sesukses The Socceroos.

Bertanding di Stadion Jassim bin Hamad, Ahad (28/1/2024) malam WIB, Indonesia harus mengaku kalah dari Australia. Skornya tidak tanggung-tanggung, empat gol tanpa balas!

Jika hanya melihat skor, Indonesia tampak kalah telak dan seakan tak mampu berbuat banyak. Namun melihat permainan di atas lapangan, sesungguhnya Asnawi Mangkualam, dkk. tak layak menderita kekalahan setelak ini.

Alih-alih tertekan habis, para pemain Indonesia malah sempat mendominasi penguasaan bola serta beberapa kali menciptakan peluang bagus. Hanya sayang penyelesaian akhir masih saja menjadi poin minus.

Sebaliknya, Australia yang terlihat sengaja membiarkan Indonesia menguasai jalannya pertandingan menunjukkan permainan simpel. Begitu berhasil merebut bola, The Socceroos langsung menusuk tepat ke jantung pertahanan Tim Garuda.

Hal ini menunjukkan perbedaan level kematangan para pemain kedua tim. Di mana kubu Indonesia baru sebatas menguasai bola dan menciptakan peluang, tetapi gagal menyelesaikannya menjadi gol.

Termasuk di dalamnya kualitas eksekusi bola. Andai voli Yakob Sayuri tak meselet, andai tendangan Marselino Ferdinan tak melambung tinggi, andai upaya Justin Hubner yang sudah on target tak terlalu lemah, Indonesia sudah menyamakan kedudukan bahkan berbalik unggul pada babak pertama.

Sayang, peluang demi peluang yang datang terbuang begitu saja. Lalu keadaan semakin tak memihak pada babak kedua.

Langganan Piala Dunia

Harus diakui, kekalahan memang pantas diterima Indonesia. Apalagi jika mengingat jomplangnya peringkat FIFA yang merupakan gambaran kualitas sebuah timnas.

Jika netizen Indonesia dengan berbangga hati lantang menyerukan level kita adalah Asia, maka level Australia sudah dunia. Buktinya jelas, mereka bolak-balik menjadi kontestan Piala Dunia.

Terbaru, Australia tampil di Piala Dunia 2022. Ajang yang dihelat di Qatar, tempat di mana Piala Asia 2023 tengah berlangsung kini.

Penampilan tersebut menjadi yang kelima secara berturut-turut bagi Australia. Tepatnya sejak menembus Piala Dunia 2006 yang mentas di Jerman.

Secara total Australia sudah tampil di enam edisi Piala Dunia. Menariknya, debut The Socceroos di pentas dunia tercatat di Jerman, yakni pada Piala Dunia 1974.

Australia sempat lama sekali absen dari Piala Dunia setelahnya. Barulah pada 2006 mereka kembali lagi dan semenjak itu selalu masuk putaran final.

Hebatnya lagi, Australia tetap dapat lolos sekalipun pindah ke Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) yang level persaingannya lebih ketat. Hingga Piala Dunia 2006, Australia merupakan duta Konfederasi Sepak Bola Oseania (OFC). 

Apa rahasia sepak bola Australia sehingga konsisten menghasilkan timnas yang sukses menembus Piala Dunia? Indonesia yang baru kembali tampil di Piala Asia setelah absen 17 tahun layak belajar banyak.

Kualitas A-League

Coba tengok daftar skuat Australia di Piala Asia 2023. Dari 26 nama, hanya empat pemain yang merumput di liga domestik Australia. Lainnya tersebar di Eropa juga Jepang dan Arab Saudi.

Lalu teliti lebih lanjut bagaimana rute karier yang ditempuh para Australian abroad tersebut. Maka kita akan menemukan satu pola yang sama: bersinar di liga domestik, baru kemudian merantau ke luar negeri.

Ambil contoh Matthew Ryan, kiper andalan pelatih Graham Arnold selama gelaran Piala Asia 2023. Penjaga gawang berusia 31 tahun ini baru saja pindah ke AZ Alkmaar pada 9 Januari lalu.

Ryan telah berkarier di Eropa selama 10 tahun. Termasuk AZ, sudah delapan klub yang pernah teken kontrak dengannya. Baik secara permanen maupun sebagai pinjaman.

Namun sebelum 10 tahun di perantauan, Ryan terlebih dahulu mengukir namanya sebagai salah satu kiper terbaik Liga Australia alias A-League. Ia adalah peraih anugerah A-League Young Footballer of the Year pada musim 2010-11, lalu pernah pula meraih Harry Kewell Medal yang merupakan penghargaan tahunan bagi pemain terbaik Australia.

Setelah memperlihatkan permainan menawan bersama Central Coast Mariners, serta memenangkan sederet penghargaan, barulah ia mencoba peruntungan ke Eropa. Karena memang pada dasarnya bagus dan ditempa di liga yang sehat, karier Ryan di Benua Biru awet sampai sekarang.

Satu contoh lagi adalah gelandang Connor Metcalfe. Sama halnya Ryan, pemain berusia 24 tahun ini merupakan peraih Harry Kewell Medal pada musim 2020-21.

Metcalfe kini merumput bersama FC St. Pauli di Zweite Bundesliga alias 2. Bundesliga di Jerman. Dan jalur kariernya persis sama seperti Ryan, yakni tampil menonjol di A-League terlebih dahulu, baru kemudian going abroad.

Cek nama lain dalam skuat Australia, maka begitu pulalah pola karier mereka. Ini menunjukkan jika kualitas A-League baik, sehingga pemain jebolannya dapat beradaptasi di liga Eropa dan bahkan bertahan lama.

Merumput di Eropa, tapi....

Sekarang bandingkan dengan skuat Indonesia. Di mana ada 7 pemain yang berkompetisi di Eropa dan tiga lainnya tersebar di tiga liga Asia.

Berbeda dengan skuat Australia, pemain-pemain Indonesia yang merumput di Eropa nyaris seluruhnya adalah pemain hasil naturalisasi. Kecuali Elkan Baggott yang memang memilih menjadi warga negara Indonesia ketika berusia 18 tahun, serta Marselino.

Artinya, pemain-pemain berbasis Eropa tersebut bukan hasil pembinaan liga Indonesia. Mereka bermain di Eropa karena memang sejak kecil hidup di sana dan awalnya penduduk sana, kecuali Marselino.

Barulah setelah dewasa mereka memutuskan bergabung dengan timnas Indonesia. Tak perlu saya sebutkan nama-namanya, Anda semua pasti hafal siapa saja orangnya.

Sedangkan dari tiga nama yang merumput di Asia, Jordi Amat bersama Johor Darul Takzim juga tak pernah mencicipi liga Indonesia. Seluruh karirnya dihabiskan di Eropa, sebelum menerima pinangan JDT jelang menjalani proses naturalisasi.

Alhasil, hanya Asnawi, Pratama Arhan dan Marselino pemain Indonesia yang keluar negeri setelah meniti karir di liga Indonesia. Asnawi tiga tahun di kasta kedua Liga Korea, sedangkan Arhan di musim di kasta kedua Liga Jepang.

Bagaimana performa mereka selama berkiprah di kedua negara top Asia tersebut? Biarlah statistik saja yang menjawab, di mana keduanya bukanlah pemain regular di klub masing-masing.

Arhan, misalnya, hanya dimainkan masing-masing sekali di J2 League 2022 dan 2023, ditambah dua aksi di Piala Kaisar. Total empat kali bermain dalam dua musim tentu bukan catatan mengesankan.

Demikian halnya Marselino, yang bahkan selama musim 2023-24 ini belum pernah bertanding sekalipun di Challenger Pro League. Padahal liga telah berjalan 18 pekan.

Solusinya? Benahi Liga!

Dari situasi yang saya jabarkan di atas, kiranya tergambar bagaimana kualitas liga Indonesia dibandingkan dengan liga Australia. Satunya mampu menghasilkan pemain yang siap bersaing di luar negeri, satunya tidak. Satunya bisa mencetak pemain yang tangguh kala tampil di level tinggi, satunya tidak.

Kondisi ini sebetulnya disadari benar oleh para petinggi PSSI. Nyatanya, federasi sepak bola kita mengaminkan begitu saja permohonan pelatih Shin Tae-yong untuk menaturalisasi sederet pemain.

Sejak menangani Indonesia pada Desember 2019, total sudah tujuh pemain yang dinaturalisasi oleh PSSI. Mulai Jordi Amat dan Sandy Walsh, sampai yang terkini Justin Hubner dan Jay Idzes.

Ketika mengajukan pemain untuk dinaturalisasi, STY mengatakan pesepak bola lokal Indonesia tak mampu bersaing di level lebih tinggi. Pernyataan yang diamini sendiri oleh PSSI selaku pihak yang bertanggung jawab atas pembinaan pemain. Ironis sebetulnya.

Oke, tidak ada yang salah dengan naturalisasi pemain. Toh, regulasi FIFA membolehkan praktik itu.

Namun jika sebuah timnas mengandalkan deretan pemain yang bukan produk pembinaan federasi bersangkutan, itu adalah indikator jika sepak bola negara tersebut tengah bermasalah.

Timnas adalah muara pembinaan pemain yang berasal dari liga domestik. Sehingga liga yang berkualitas akan menghasilkan timnas yang berkualitas pula.

Dari Australia kita belajar, untuk dapat menghasilkan timnas level Piala Dunia maka federasi harus bisa menjalankan liga domestik yang berkualitas tinggi. Liga yang menempa para pemain agar terbiasa bertanding dalam level atas.

Ketika kemudian datang kesempatan untuk merumput di luar negeri, di negara yang kualitas sepak bolanya lebih baik, pemain kita dapat bersaing. Tak cuma bertahan setahun-dua, itu pun jarang dimainkan pula.

Efek bola salju akan terjadi di timnas. Misalnya di ajang prestisius seperti Piala Asia 2023 ini.

Kekalahan 0-4 dari Australia tadi malam bukan saja mengeliminasi Indonesia dari turnamen. Namun sekaligus juga pengingat bagi federasi bahwa membangun timnas yang baik diawali dengan liga domestik yang baik pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun