SAYA masih ingat betul, siang itu di bulan Februari 2014 kepala dusun datang menemui saya. Kedatangan yang "menceburkan" saya ke dalam dunia kepemiluan, hingga saat ini.
Kala itu, tanpa basa-basi Pak Kepala Dusun alias Pak Bayan meminta saya jadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Saya tidak diberi kesempatan berpikir dan setengah dipaksa harus mau. Beliau bahkan sudah membawa map berisi formulir yang harus saya isi dan lengkapi.
Ya sudahlah, saya akhirnya menjawab bersedia. Hitung-hitung buat pengalaman hidup. Toh, pikir saya, cuma menyenggangkan waktu sehari pas pemilihan ini.
Kalau ada yang mengira saya menerima tawaran Pak Bayan karena faktor uang, salah besar. Saat itu saya bahkan tidak tahu kalau jadi anggota KPPS ada honornya.
Lagi pula, 2014 adalah tahun di mana saya masih baik-baik saja secara finansial. Meski berkarya di rumah saja, saya dan istri bisa berpenghasilan melebihi gaji pegawai negeri kebanyakan.
Saya baru tahu dapat honor ketika diberi amplop berisi uang oleh Ketua KPPS, lalu diminta meneken tanda terima. Itu kejadian sewaktu kami bertujuh berkumpul untuk membahas persiapan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan lain-lain.
Jadi, honor itu malah jadi bonus bagi saya. Karena pada awalnya sama sekali tidak berpikir bakalan dapat, semata-mata berniat memberi kontribusi bagi lingkungan sekitar.
Berawal dari KPPS 6
Begitulah, tanggal 9 April 2014 saya bangun lebih pagi. Kebiasaan setiap kali akan menghadapi sesuatu hal baru.
Tepat pukul tujuh kami semua anggota KPPS disumpah oleh Ketua KPPS dan mempersiapkan pemungutan suara. Saya bertugas sebagai KPPS 6, yakni yang memastikan para pemilih memasukkan surat suara di kotak yang sesuai.