Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Agar Liga 3 Provinsi-Regional Tak Seperti Tarkam

20 Desember 2023   17:21 Diperbarui: 24 Desember 2023   22:41 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persatuan Sepak Bola Indonesia Klaten (PSIK) di Liga 3 Jateng 2023. Sumber: PSIK via kompas.com

HARUS saya akui, tulisan saya sebelumnya sangat keras. Bahkan boleh jadi bagi sebagian orang terkesan sok. Enak saja mengatakan Liga 3 seperti tarkam!

Bagi yang belum tahu tulisan dimaksud, silakan baca dulu: Liga 3, Kompetisi Resmi Federasi Rasa Tarkam

Saya mengerti pasti ada yang keberatan dengan tulisan tersebut. Namun mau tak mau harus diakui jika memang ada banyak kesamaan antara Liga 3 zona provinsi, bahkan juga level regional, dengan turnamen tarkam. Malahan apa-apa yang biasa terjadi di turnamen tarkam juga bertebaran di Liga 3.

Dua hal yang paling sering timbul adalah kericuhan di dalam lapangan dan rusuh antarsuporter baik di dalam maupun di luar stadion. Belum lagi kasus penyerangan terhadap bus tim lawan.

Dari sinilah kesimpulan saya berakar. Sehingga rasanya, ya tidak salah-salah amat mengatakan Liga 3 tak ubahnya tarkam.

Kalau tarkam digelar dalam jangka waktu singkat, lalu biasanya rusuh dan terkesan kurang profesional, masih agak bisa dimaklumi. Pasalnya, tarkam memanglah turnamen. Lalu  penyelenggaranya bukanlah orang-orang yang biasa berkecimpung dalam dunia sepakbola, bukan PSSI.

Turnamen antarkampung maupun tujuhbelasan seperti ini umumnya diselenggarakan dengan biaya seadanya. Panitia musti melakukan banyak kompromi di berbagai titik semata-mata demi terselenggaranya hajatan. Hasilnya, ya pasti ada banyak kekurangan di sana-sini.

Berbeda dengan Liga 3 yang dikelola oleh Asosiasi PSSI Provinsi bersama-sama jajaran Asosiasi PSSI Kabupaten/Kota di bawahnya. Dengan segala pengetahuan, pengalaman, serta kuasa atas sepakbola daerah yang mereka punyai.

Liga yang Sebenar-benarnya

Halah, Mas, Liga 3 kan cuma kompetisi amatir. Ngapain juga repot-repot dibuat seperti liga profesional?

Kalau ada yang berkata begitu, saya ingatkan lagi bahwa esensi dari kompetisi adalah pembinaan. Dan yang bisa memberi manfaat dalam pembinaan pemain adalah liga, bukan turnamen jangka pendek seperti Liga 3.

Hal ini pula yang dikatakan oleh Bung Tommy Welly dalam kapasitasnya sebagai Direktur Kompetisi PSSI pada 2015 lalu. Ucapan yang bagi saya masih sangat relevan hingga kini.

Jika kita melongok ke Eropa sana, federasi mereka memperlakukan liga amatir tak ubahnya liga profesional. Lihat saja liga-liga amatir Inggris atau Italia yang dijalankan sebagai satu kompetisi penuh lengkap dengan skema promosi-degradasi.

Ambil contoh Liverpool County Premier League, liga level ke-11 dalam struktur piramida sepakbola Inggris. County sendiri adalah daerah administratif yang setara dengan karesidenan di era Hindia Belanda.

Liga amatir ini terdiri dari tiga divisi: Premier Division, Division One dan Division Two. Seluruhnya berjalan dengan sistem kompetisi penuh dan memberlakukan promosi-degradasi, lengkap dengan aturan perpindahan pemain.

Bayangkan, itu liga level ke-11 di Inggris alias 10 tingkat di bawah Premier League. Sejak level sedalam itu kompetisinya sudah berjalan sebagai sebuah liga yang sebenar-benarnya, bukan turnamen.

Maka, kalau ingin Liga 3 disebut sebagai liga yang sesungguhnya, yang bisa turut berperan dalam pembinaan pemain, jalankanlah sebagaimana layaknya a proper league. Amatir hanya status pemainnya, pengelolaannya tetap harus profesional.

Lagipula sistem kompetisi penuh seperti ini bakal memberi jaminan kesejahteraan lebih baik bagi pemain. Dikontrak klub akan membuat pemain punya potensi pendapatan rutin selama setidaknya 5-6 bulan.

Berbeda dengan sistem sekarang, di mana kalau sudah tersingkir tim bakal langsung dibubarkan. Alhasil, banyak pemain yang hanya mentas 4-6 pertandingan dan cuma mendapat pemasukan selama 1-1,5 bulan.

Liga Kabupaten/Wilayah

Langkah menuju ke sana bisa dimulai dari yang paling mudah dulu, yakni menyeragamkan jumlah peserta di setiap musim. Lalu tim yang musim lalu ikut, ya musim ini musti ikut lagi kecuali terdegradasi.

Kalau tahun lalu pesertanya 15 tim, misalnya, maka tahun ini juga tetap 15. Kalau tim bernama Dieng FC berpartisipasi tahun lalu, maka tahun ini juga wajib ikut. Kalau tahu-tahu absen, ada sanksi yang menanti.

Hanya skema promosi-degradasi satu-satunya penyebab perubahan peserta dari tahun ke tahun. Itupun peserta yang keluar dari kompetisi karena terdegradasi, digantikan oleh peserta baru dalam jumlah sama.

Kemudian kompetisinya juga musti berlangsung dalam sistem penuh sebagaimana layaknya liga-liga amatir Eropa. Dengan demikian setiap tim memainkan jumlah pertandingan yang sama banyak, baik yang keluar sebagai juara maupun yang menghuni zona merah.

Asprov yang punya banyak klub bisa merancang Liga 3 berjenjang, seperti diterapkan oleh Jawa Barat dengan Seri 2 dan Seri 1. Di mana tim juara Seri 2 naik level ke Seri 1 dan tim terbawah Seri 1 turun ke Seri 2.

Bisa juga dengan membagi kompetisi menjadi liga-liga lebih kecil di tingkat kabupaten atau eks karesidenan (wilayah). Jadi ada liga tingkat provinsi, lalu di bawahnya ada liga kabupaten atau liga wilayah.

Asprov Jawa Tengah, misalnya, bisa membuat Liga Banyumas Raya untuk klub-klub dari kabupaten eks Karesidenan Banyumas. Pesertanya antara lain Persibas Banyumas, Persibara Banjarnegara, Persibangga Purbalingga dan PSCS Cilacap andai nanti terdegradasi dari Liga 2.

Jika dirasa masih kurang, bisa ditambahkan klub dari daerah-daerah lain di sekitar kabupaten-kabupaten tersebut. Misalnya ditambahi Persak Kebumen, PSIW Wonosobo, dan lain-lain.

Di utara Banyumas bisa dibentuk Liga Pekalongan Raya. Pesertanya Persab Brebes, Persegal Kota Tegal, Slawi United, Perinka FC, PSIP Pemalang, Persekap Kab. Pekalongan, Persip Pekalongan, Bintang Timur, Persibat Batang dan lainnya.

Setidak-tidaknya level eks karesidenan terdiri atas 10 klub. Dengan demikian setiap tim bakal memainkan paling sedikit 18 pertandingan dalam semusim.

Lalu pada level provinsi, pesertanya minimal 12 tim yang bakal menghasilkan 22 pertandingan per tim dalam setiap musim. Jumlah yang masih belum ideal sebetulnya, tetapi jauh lebih banyak ketimbang hanya 4-9 seperti selama ini.

Tim juara liga wilayah berhak promosi ke liga provinsi. Sebaliknya, tim papan bawah liga provinsi bakal kembali ke liga wilayah. Mengenai kuota dan mekanismenya bagaimana, bisa dirembug bersama-sama.

Di atas level provinsi, ada Liga 3 Regional dan kemudian Nasional yang mempertemukan wakil-wakil setiap provinsi. Juga digelar dengan sistem kompetisi penuh dan menjadi tanggung jawab PSSI Pusat.

Dengan sistem begini, setiap tim punya kepastian start dari mana bahkan sebelum kompetisi dimulai. Kontestan liga provinsi, misalnya, akan langsung memulai perjalanannya musim dari level itu, kecuali promosi ke liga regional atau malah terdegradasi ke liga wilayah.

Andai gagal mencapai target promosi, mereka tidak harus mengulang perjuangan dari awal alias dari nol lagi. Melainkan tinggal melanjutkan saja dari level di mana mereka musim lalu berada.

Tidak seperti sistem sekarang, di mana setiap tim harus selalu restart dari nol di awal musim. Harus terus-terusan mengulang lagi dan lagi, sampai pada ujungnya promosi ke Liga 2.

Pendanaannya Bagaimana?

Saya tahu, problem utama yang kerap mendera klub Liga 3 adalah pendanaan. Berpartisipasi di kompetisi yang hanya memainkan paling banter 9 pertandingan setahun saja banyak klub yang kesulitan, apatah lagi sampai 18-22 pertandingan per tahun.

Namun justru karena itulah musti dipikirkan cara agar klub-klub kontestan Liga 3 menarik 'dijual' demi mendapatkan pendanaan. Lagi-lagi, amatir hanya status pemainnya, pengelolaan klub mustilah profesional.

Ada dua sumber pendanaan utama yang dapat dimaksimalkan oleh pihak klub. Keduanya adalah penjualan tiket pertandingan kandang dan sponsor.

Jika setiap pertandingan kandang ditonton 2.500 orang saja, dengan harga tiket rata-rata Rp20.000, maka klub melalui panitia pelaksana dapat mengantongi Rp 50 juta sekali mentas. Jika sebulan bermain kandang dua kali, totalnya Rp 100 juta.

Lalu jika liga bergulir selama lima bulan, tinggal kalikan saja jumlah tersebut dengan lima. Ketemulah angka Rp 500 juta.

Angka tersebut mungkin masih kurang untuk membiayai operasional tim selama satu musim kompetisi. Namun ingatlah, itu baru dari penjualan tiket pertandingan. Kekurangannya bisa ditambal dari sponsor dan bantuan sana-sini.

Klub juga dapat berhemat dengan tidak jor-joran menggaet pemain mahal. Maksimalkan talenta lokal. Selain dapat menghemat anggaran, cara ini membuat klub berperan nyata dalam membina pemain di daerahnya.

Yang suka bikin rumit itu jika ada ambisi yang menunggangi klub. Karena motif-motif di luar sepakbola, entah politis seperti di masa-masa sekarang ataupun lainnya.

Demi elektabilitas oknum tertentu yang jadi pengurus klub atau pengurus Askab PSSI setempat, misalnya. Atau agar proposal proyek renovasi stadion disetujui, klub lantas jor-joran menggaet pemain mahal demi meraih gelar juara.

Sebagai pendukung, saya tentu saja senang kalau klub daerah saya jadi juara. Namun jika itu hanya prestasi instan lagi sekelebat saja, apalagi ternyata ditunggangi kepentingan lain, buat apa? Konsistensi jauh lebih penting jika misinya adalah pembinaan.

Peran Asprov

Asprov dapat berperan besar dalam membantu pendanaan klub dari sponsor. Salah satu caranya dengan merombak kompetisi menjadi lebih menarik dan semarak, serta menyuguhkan pertandingan lebih banyak.

Sponsor mana yang mau mendanai klub yang hanya akan tampil sebanyak 4-9 pertandingan setahun? Kalaupun ada yang mau, seberapa banyak duit yang bisa diharapkan?

Kalau calon sponsor tahu nama brand mereka bakal dipampang di area stadion, di pinggir lapangan, juga di jersey pemain selama setidaknya 5-6 bulan, masa iya mereka tidak tertarik?

Klub-klub dengan sejarah panjang dan massa suporter loyal nan melimpah mustinya tidak kesulitan menggaet sponsor. Terutama jika di daerahnya ada banyak perusahaan.

Lagipula klub-klub di daerah itu kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh Askab atau Askot. Di mana pengurusnya biasanya dari kalangan pejabat pemerintah kabupaten/kota setempat.

Artinya, dengan kuasa mereka sebagai orang pemerintahan, bisalah melakukan lobi-lobi agar perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerahnya mengucurkan dana CSR untuk menyeponsori klub. Kalau yang datang meminta pejabat, pembesar perusahaan pastilah merasa segan dan ujung-ujungnya mau memberi.

Ini belum membahas sektor merchandising yang masih belum digarap secara maksimal oleh kebanyakan manajemen klub. Juga satu yang sering dipandang remeh: pengelolaan parkir.

Akhir kata, ini sekadar uneg-uneg saya. Ruang diskusi saya buka lebar untuk siapapun yang ingin menambah maupun menyanggah ulasan ini.

Salam satu bola!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun