Untuk ini, saya menyodorkan suporter Liverpool FC sebagai tempat berguru.
Belajar dari Liverpudlian
Bayangkan klub idolamu tak pernah menjadi juara liga selama 30 tahun. Masihkah kamu mau mendukungnya dengan sepenuh hati?
Inilah yang dilakukan oleh Liverpudlian selama ini. Sekalipun generasi yang lahir di tahun 1990-an dan setelahnya harus terus mendapat bully dari suporter rival.
Sebelum era Premier League, Liverpool terakhir kali menjuarai liga pada musim 1989-90. Lalu setelahnya gagal terus dan tak pernah sekalipun jadi juara sejak EPL digulirkan pada 1992.
Baru setelah Premier League berjalan 27 musim, yakni pada 2019-20, Liverpool pecah telur. Ini gelar Premier League pertama bagi The Reds, rekor yang membuat suporter Manchester United tertawa terpingkal-pingkal.
Di level Eropa pun demikian. Masa kejayaan Liverpool di Benua Biru berakhir usai Tragedi Heysel. Itu final terakhir mereka di Piala Champions yang kini menjadi Liga Champions.
Usai kekalahan dari Juventus di Stadion Heysel pada 1985, Liverpool baru bisa tampil di final lagi pada 2004-05. Hitung sendiri berapa puluh tahun selisihnya.
Toh, sekalipun terus-terusan gagal di liga dan tak terlalu bagus di kasta tertinggi Eropa, suporter Liverpool tetap menunjukkan loyalitasnya. Indikator paling nyata adalah selalu padatnya Stadion Anfield, terutama tribun The Spion Kop, dan angka penjualan jersey dari tahun ke tahun.
Tahun ini, misalnya, penjualan jersey Liverpool baru saja diumumkan sebagai yang terbanyak di Eropa. Dan karena Eropa adalah kiblat sepak bola dunia, rekor ini sekaligus juga level global.
Jersey Paling Laris
Mengutip sejumlah sumber, penjualan jersey Liverpool musim lalu menembus angka 1,8 juta. Satu capaian menarik mengingat tim asuhan Jurgen Klopp gagal meraih gelar satupun.
Awalnya Liverpool memulai musim 2022-23 dengan baik: mengalahkan Manchester City dalam Community Shield. Namun setelah itu malah gagal masuk zona Liga Champions karena hanya finish di peringkat kelima.