Bayangkan, PSIS harus kehilangan sebagian besar sumber pendapatannya sampai akhir musim! Dan itu nilainya puluhan miliar, lo.
Ini belum menghitung kerugian materiil akibat kerusakan fasilitas di dalam maupun di luar Stadion Jatidiri. Siapa yang menanggung itu semua, coba?
Belum lagi menyinggung faktor nama baik yang tercoreng. Membuat stadion terkesan sebagai tempat angker bagi penonton kebanyakan.
Padahal beberapa waktu lalu kita sempat merayakan kehadiran penonton perempuan dan anak-anak di stadion. Sampai-sampai pembawa acara di salah satu siaran langsung pertandingan Liga 1 menyebutnya sebagai fenomena menggembirakan.
Menyusul maraknya kerusuhan di stadion yang terjadi belakangan ini, agaknya kegembiraan itu harus ditahan.
Belum Dewasa
Suporter ingin timnya meraih kemenangan, meraih gelar juara, itu hal wajar. Kita benci kekalahan, jadi sebisa mungkin jangan sampai terjadi pada kita.
Namun dalam sebuah kejuaraan kemungkinannya hanya dua: menang atau kalah. Sedangkan dalam sebuah pertandingan sepak bola, peluang yang mungkin terjadi ada tiga: menang, imbang, kalah.
Mengharapkan tim yang kita dukung selalu meraih kemenangan itu bagus. Namun kalau kemudian harapan tersebut sampai membuat kita bertindak anarkis lagi merugikan saat tidak terpenuhi, maka itu bencana.
Suporter yang tak sudi melihat timnya menelan kekalahan dapat dikatakan tidak realistis. Ini untuk memperhalus pilihan kata yang lebih tepat, yakni kekanak-kanakan alias belum dewasa.
Suporter yang dewasa tentulah memahami jika konsekuensi bertanding sepakbola itu ya antara menang, imbang atau kalah. Persentasenya 33% untuk masing-masing peluang.
Menerima apapun yang terjadi sekalipun itu menimbulkan kekecewaan adalah sikap yang seharusnya ditunjukkan para suporter. Menang-kalah itu biasa, sesuatu yang memang lumrah terjadi dalam sepakbola.