Organisasi tandingan tersebut berisi pengurus lawas PSSI yang terkesan semata-mata hendak mempertahankan status quo. Gerbongnya berisi orang-orang PT Liga Indonesia dengan klub-klub peserta Liga Super Indonesia 2011-12.
Alih-alih betulan jadi penyelamat sesuai namanya, KPSI justru terkesan hanya ingin merecoki kerja Komite Eksekutif PSSI pimpinan Prof. Djohar Arifin Husin. Padahal segenap Komeks periode itu merupakan hasil Kongres Luar Biasa di Surakarta, 9 Juli 2011.
Terkait timnas, misalnya, KPSI melarang keras para pemain klub LSI memenuhi panggilan PSSI. Belakangan, KPSI bahkan membentuk timnas tandingan pula.
Karena boikot KPSI itulah timnas Indonesia berangkat ke Bahrain dengan skuat alakadar. Bayangkan saja, tidak satupun pemain dalam skuat bentukan pelatih Aji Santoso yang memegang lebih dari 12 caps.
Pertandingan melawan Bahrain bahkan menjadi debut bagi delapan pemain di starting line-up. Hanya tiga nama yang boleh dikatakan berpengalaman karena pernah berseragam timnas, yakni Irfan Bachdim, Syamsidar dan Ferdinand Sinaga.
Jalannya pertandingan terlalu menyakitkan untuk diingat kembali. Menit ke-3 saja Indonesia harus kehilangan satu pemain karena Syamsidar mendapat kartu merah.
Menit ke-5, gol pertama Bahrain tercipta melalui titik penalti. Setelahnya, kiper pengganti Andi Muhammad Guntur harus bolak-balik memungut bola dari dalam jaring gawang.
Skor 10-0 yang tercipta di Stadion Nasional Bahrain di Riffa itu menjadi rekor terburuk Indonesia. Melampaui rekor sebelumnya, ketika dikalahkan Denmark 0-9 pada 1974.
Bukan saja kekalahan terbesar timnas, pertandingan tersebut juga merupakan kekalahan negara dan bangsa dari segelintir orang yang lebih mementingkan ego golongan. Menyedihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H