THAILAND jadi bulan-bulanan netizen Indonesia di dunia maya. Penyebabnya apalagi kalau bukan kekalahan telak 0-8 yang diderita Tim Gajah Perang dari Georgia, Kamis (12/10/2023) lalu.
Tak seperti Indonesia dan Brunei Darussalam yang bertanding di tanggal sama, Thailand tak perlu melalui Putaran Pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026. Karenanya mereka mengisi jadwal FIFA Matchday dengan laga uji coba.
Dengan maksud meningkatkan kemampuan, dipilihlah Georgia yang berperingkat 79 dalam daftar rangking FIFA. Thailand sendiri berperingkat 112 alias berselisih 33 angka lebih rendah.
Meski bukan tim elite Eropa, Georgia diperkuat sejumlah pemain top di liga-liga utama Benua Biru. Satu yang paling menonjol adalah penggawa SSC Napoli yang namanya cukup susah ditulis maupun dieja: Khvicha Kvaratskhelia.
Kvaratskhelia turut berjasa dalam mengantar Napoli sebagai juara Serie A musim lalu. Permainannya di pos gelandang sayap mengundang kekaguman banyak pihak.
Namun rupanya pelatih Willy Sagnol tidak menurunkan Kvaratskhelia sebagai starter di laga melawan Thailand. Toh, tanpa sang bintang utama Georgia mampu unggul tujuh gol tanpa balas.
Kvara baru turun ke lapangan pada menit ke-58. Menggantikan penyerang Ajax Amsterdam Georges Mikautadze, ia hanya butuh waktu delapan menit untuk menggenapi kemenangan Georgia menjadi 8-0.
Skor yang langsung masuk daftar kekalahan terburuk dalam sejarah Thailand.Â
Klub Menahan Pemain?
Apa yang salah dari Thailand sehingga dapat dipermak Georgia sebegitu telak? Ini pertanyaan pentingnya.
Alasannya ternyata klasik, pelatih Alexandre Polking tidak bisa menurunkan skuat terbaik di Stadion Mikheil Meskhis Sakhelobis. Puncanya, ditengarai ada sejumlah klub Liga Thailand yang enggan melepas pemain-pemain inti mereka.
Buriram United, BG Pathum United dan Bangkok United adalah tiga klub yang tidak melepas pemain-pemainnya. Kebetulan sekali ketiganya sedang berpartisipasi di AFC Champions League.
Konon, dalih itulah yang dipakai ketiga klub untuk menahan para pemain. Mereka tak mau kekuatan tim berkurang jika para andalan bergabung dengan timnas.
Alhasil, lihat saja starting eleven yang dipasang Polking kemarin malam. Hanya segelintir nama yang tidak terdengar asing di telinga, yakni Bordin Phala, Tristan Do, Weerathep Pomphan dan bek Bali United Elias Dolah.
Malam itu ban kapten melingkar di lengan Kritsada Kaman, dengan Tristan dan Bordin sebagai deputi. Pasalnya, dua kapten utama Theerathon Bunmathan dan Chanathip Songkrasin tidak dibawa serta.
Theerathon dan Chanathip absen beserta sosok-sosok kunci peraih Piala AFF 2020 dan 2022 lainnya. Karena itu tak ada pula nama Sarach Yooyen maupun bomber andalan Teerasil Dangda.
Di pos penjaga gawang, dua dari tiga kiper yang dibawa Polking bahkan belum pernah membukukan cap sama sekali. Kampol Pathomakkakul paling senior di antara ketiganya dengan 8 caps, sehingga dirinyalah yang dimainkan.
Apes bagi Kampol, dia harus memungut bola dari dalam gawang sebanyak delapan kali. Dua di antaranya bahkan hanya dalam jeda tiga menit!
Egoisme Klub Merugikan Timnas
Apa yang terjadi pada Thailand pernah dialami Indonesia. Paling baru adalah drama menjelang bergulirnya AFF U-23 Championship 2023 di Thailand, pertengahan Agustus lalu.
Kala itu beberapa pemain yang dipanggil pelatih Shin Tae-yong tidak kunjung bergabung. Di antaranya Rizky Ridho dari Persija Jakarta dan Dzaky Asraf dari PSM Makassar.
Khusus tidak bergabungnya Ridho sempat menjadi pemberitaan luas. Pasalnya, itu bukan kali pertama Thomas Doll mencegah bek kelahiran Surabaya tersebut memenuhi panggilan STY.
Sebelum itu, Doll juga tidak langsung melepas Ridho ketika mendapat panggilan untuk memperkuat timnas di FIFA Matchday melawan Argentina. Alasan Doll, sebagai pemain baru Ridho masih harus banyak berbaur dengan teman-teman setim yang tengah mengikuti pramusim di Sawangan, Depok.
Karena banyak pemain tak memenuhi panggilan, Coach Shin berangkat ke Thailand dengan skuat seadanya. Baik secara kualitas maupun kuantitas riil, sebab yang bugar dan dapat tampil hingga ke final hanya 16 pemain.
Lanjutan ceritanya sama-sama kita ketahui. Meski tertatih-tatih di fase grup, Indonesia U-23 membuat kejutan dengan mengalahkan tuan rumah Thailand di semifinal.
Sayang, Alfreanda Dewangga, dkk. kurang beruntung di partai final. Setelah bermain imbang 0-0 selama 120 menit, Garuda Muda harus mengakui keunggulan Vietnam di babak adu penalti.
Selepas turnamen, tak sedikit yang mengkritik sikap sejumlah pelatih klub Liga 1 yang enggan melepas pemain ke timnas. Mereka beranggapan para juru latih itu telah bersikap egois dengan lebih mementingkan klub di atas nama negara.
Aib Terbesar
Indonesia pernah mengalami kejadian lebih buruk dari itu terkait penolakan klub melepas pemain ke timnas. Momen di mana negara kita mendapat malu besar di jagat sepak bola dunia.
Untuk membahasnya, mari kita mundur ke peristiwa 11 tahun lalu. Tahun ketika Indonesia menelan kekalahan terbesar dalam sejarah sejak PSSI berdiri.
Ya, benar sekali kalau sudah ada yang menebak jika yang dimaksud adalah laga melawan Bahrain pada 2012. Pertandingan di mana Indonesia menderita 10 gol tanpa balas.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal yang hanya terulang empat tahun sekali, 29 Februari 2012. Ajangnya adalah lanjutan Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2014.
Ketika itu Indonesia sudah dipastikan tersingkir, sebab selalu kalah dalam 5 pertandingan sebelumnya di Grup E. Sementara Bahrain masih punya peluang melaju ke putaran berikutnya, meski ada syarat yang terhitung berat.
Syaratnya adalah Bahrain harus mengalahkan Indonesia dengan selisih gol minimal 9. Sementara pada saat bersamaan di partai lain Grup E, Qatar kalah dari Iran.
Bahrain diuntungkan karena PSSI tengah mengalami konflik internal. Sejak Desember 2011 muncul federasi bayangan dengan nama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Organisasi tandingan tersebut berisi pengurus lawas PSSI yang terkesan semata-mata hendak mempertahankan status quo. Gerbongnya berisi orang-orang PT Liga Indonesia dengan klub-klub peserta Liga Super Indonesia 2011-12.
Alih-alih betulan jadi penyelamat sesuai namanya, KPSI justru terkesan hanya ingin merecoki kerja Komite Eksekutif PSSI pimpinan Prof. Djohar Arifin Husin. Padahal segenap Komeks periode itu merupakan hasil Kongres Luar Biasa di Surakarta, 9 Juli 2011.
Terkait timnas, misalnya, KPSI melarang keras para pemain klub LSI memenuhi panggilan PSSI. Belakangan, KPSI bahkan membentuk timnas tandingan pula.
Karena boikot KPSI itulah timnas Indonesia berangkat ke Bahrain dengan skuat alakadar. Bayangkan saja, tidak satupun pemain dalam skuat bentukan pelatih Aji Santoso yang memegang lebih dari 12 caps.
Pertandingan melawan Bahrain bahkan menjadi debut bagi delapan pemain di starting line-up. Hanya tiga nama yang boleh dikatakan berpengalaman karena pernah berseragam timnas, yakni Irfan Bachdim, Syamsidar dan Ferdinand Sinaga.
Jalannya pertandingan terlalu menyakitkan untuk diingat kembali. Menit ke-3 saja Indonesia harus kehilangan satu pemain karena Syamsidar mendapat kartu merah.
Menit ke-5, gol pertama Bahrain tercipta melalui titik penalti. Setelahnya, kiper pengganti Andi Muhammad Guntur harus bolak-balik memungut bola dari dalam jaring gawang.
Skor 10-0 yang tercipta di Stadion Nasional Bahrain di Riffa itu menjadi rekor terburuk Indonesia. Melampaui rekor sebelumnya, ketika dikalahkan Denmark 0-9 pada 1974.
Bukan saja kekalahan terbesar timnas, pertandingan tersebut juga merupakan kekalahan negara dan bangsa dari segelintir orang yang lebih mementingkan ego golongan. Menyedihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H