Karena terus mengalami kemunduran, bahkan kemudian kalah saing dari klub baru bentukan suporternya sendiri, Persisam Putra Samarinda akhirnya dijual. Pindah ke Bali, namanya lantas berganti menjadi Bali United Pusam.
Selanjutnya, Hardiansyah Hanafiah selaku pemilik baru mengalihkan kepemilikan kepada Pieter Tanuri. Embel-embel Pusam pun dihilangkan, sehingga tinggallah nama Bali United FC.
Satu nama lagi yang harus disebut adalah Sriwijaya FC. Generasi kiwari rasa-rasanya tidak banyak yang tahu jika klub kebanggaan orang Sumatera Selatan ini aslinya berasal dari Jakarta, tepatnya Jakarta Timur.
Persijatim, demikian nama awalnya. Karena alasan tertentu, klub yang dulu bermarkas di Stadion Bea Cukai, Rawamangun, tersebut memilih boyongan ke Solo.
Kedatangan Persijatim disambut baik oleh Pasoepati, pendukung Persis Solo yang kala itu tengah berada di kasta bawah. Nama klub pun dimodifikasi sedikit menjadi Persijatim Solo FC.
Dua tahun di Solo, Persijatim pada akhirnya diakuisisi Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Rebranding dilakukan secara total, sehingga lahirlah klub bernama Sriwijaya FC yang bermarkas di Stadion Jakabaring, Palembang.
Perlu Aturan Baru
Well, sejatinya tidak ada yang salah dengan praktik jual-beli klub begini. Di negara-negara besar sepakbola pun jamak terjadi.
Yang menurut saya sangat disayangkan adalah berubahnya nama dan atribut klub selepas berganti kepemilikan. Demikian pula dengan kepindahan homebase seiring pergantian tersebut.
Alhasil, identitas dan sejarah asli klub seolah hilang begitu saja. Tercerabut dari akarnya. Yang akan lebih diingat adalah identitas baru semenjak berganti kepemilikan.
Misalnya Persisam Putra Samarinda tadi. Catatan sejarah dan perjuangan klub sejak era Perserikatan dan juga Galatama, langsung terputus begitu nama Bali United FC dipakai sejak 15 Februari 2015.
Akan sulit untuk menganggap Bali United sebagai penerus sekaligus pewaris Persisam Putra Samarinda. Orang dari warna seragamnya saja memang dibuat berbeda, kok.