BEGITU keluar dari ruang pengambilan bagasi Bandara Sultan Babullah, Ternate, seorang lelaki jangkung menyambut saya. Senyumnya lebar, sembari memandang lekat dari balik kacamata hitam.
Saya kontan balas tersenyum, lebih lebar lagi. Menepati janjinya via WhatsApp, pria bernama lengkap Moch. Chamaludin Alting itu betul-betul datang menjemput kedatangan saya.
Padahal dari rumahnya ke bandara terbentang jarak cukup jauh. Kira-kira separuh dari total garis pantai Pulau Ternate, sebab bandara di sebelah utara dan rumahnya di sisi selatan.
Usai bersalaman dan berbasa-basi singkat di dekat tiang pelataran bandara, Ko Udin--demikian panggilan akrab pengawal pribadi Sultan Tidore sekarang, H. Husain Syah, tersebut--meminta saya naik ke atas boncengan sepeda motornya.
"Kita cari makan dulu," kata Ko Udin, sembari melirik ke belakang dari balik bahu.
Saya hanya mengiyakan singkat. Belum terlalu lapar sebetulnya, tetapi siapa bisa menolak tawaran nasi kuning Ternate? Jangan bilang pernah ke Ternate kalau belum makan nasi kuningnya, demikian kata beberapa situs wisata.
Sepeda motor melaju santai membelah jalanan Kota Ternate yang sudah ramai menjelang siang itu, pertengahan Agustus 2017. Umbul-umbul aneka warna berkibaran di mana-mana, mendampingi berbagai ornamen bernuansa merah-putih.
Setelah singgah sebentar di kawasan Gamalama untuk mencari ATM BCA, perjalanan berlanjut ke daerah yang kondang disebut sebagai Kompleks Sekolah Cina. Konon, di sana dulu memang ada bangunan sekolah khusus etnis Tionghoa.
Sekian banyak rumah makan nasi kuning ada di Ternate, tetapi Ko Udin memilih yang di Sekolah Cina itu. Entah alasannya apa, saya tidak bertanya. Ikut sajalah pokoknya.
Melintasi Gelora Kie Raha
Menu makan hari itu sungguh berat. Sepiring nasi kuning dengan lauk mie goreng, ditambah sepotong ikan laut ukuran besar dan sebutir telur rebus utuh.