Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sejarah Baru Club Brugge, si Kuda Hitam dari Tanah Belgica

13 Oktober 2022   04:20 Diperbarui: 13 Oktober 2022   04:32 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain Club Brugge merayakan kelolosan ke babak knockout Liga Champions 2022-23. FOTO: Manu Fernandez/AP Photo

KEJUTAN di matchday empat UEFA Champions League 2022-23 terus berlanjut. Kali ini terjadi di Stadion Wanda Metropolitano, di mana pertandingan Atletico Madrid vs Club Brugge pada Kamis (13/10/2022) dini hari WIB berakhir imbang 0-0.

Hasil ini betul-betul merusak prediksi sebagian besar pengamat di awal kompetisi. Pasalnya, Atletico Madrid merupakan kontestan dengan nilai koefisien tertinggi di Grup B.

Bandingkan saja poin Atletico yang sejumlah 105.000 dengan milik tiga kontestan lain di grup. Nilai koefisien FC Porto sebanyak 80.000 poin, sedangkan Bayer Leverkusen 53.000, dan Club Brugge yang paling rendah dengan 38.500 poin.

Sebagaimana diketahui bersama, nilai koefisien tersebut merupakan gambaran prestasi sebuah klub di pentas Eropa dalam lima musim terakhir. Semakin tinggi poinnya, itu berarti klub tersebut selalu tampil bagus dalam lima musim sebelumnya.

Atas dasar nilai koefisien inilah Atletico masuk pot 1 dan Brugge masuk pot 4 pada saat drawing fase grup. Dengan kata lain, Atletico dipandang sebagai tim terkuat di Grup B, sedangkan Brugge adalah tim terlemah.

Karena itu banyak yang memperkirakan Atletico bakal melenggang mulus dari fase grup. Mengulangi capaian-capaian mereka di musim-musim sebelumnya yang selalu melaju ke fase gugur.

Eh, yang terjadi musim ini justru kebalikannya. Nasib Atletico masih belum pasti karena baru meraup 4 poin dari empat pertandingan. Malah Club Brugge, klub terlemah di Grup B, yang terlebih dahulu memastikan diri lolos ke babak 16 besar.

Berbekal 10 poin hasil dari tiga kali menang dan sekali seri, perolehan Brugge tidak akan mungkin dilampaui oleh tiga pesaingnya di grup. Bahkan seandainya mereka selalu kalah dalam dua pertandingan sisa sekalipun.

Cetak Sejarah

Raihan poin Club Brugge di matchday 4 melampaui prediksi saya. Usai kemenangan telak tim asuhan Carl Hoefkens di kandang FC Porto di matchday 2 bulan lalu, saya menebak Simon Mignolet, cs. bakal meraup maksimal 10 poin dalam enam pertandingan.

Baca juga: Club Brugge, Kuda Hitam Belgia yang Siap Kejutkan Eropa

Nyatanya, poin sebanyak itu sudah terkumpul hanya dalam empat laga. Prediksi saya soal Brugge bakal menggondol 2 poin saja dari Atletico Madrid juga mentah. Ternyata Ruud Vormer, cs. malah dapat 4 poin dan sudah memastikan diri lolos ke fase knockout.

Brugge menjadi tim keempat yang mendapat tiket ke babak selanjutnya secara dini. Sebelumnya sudah ada Manchester City (Grup G), Real Madrid (Grup F) dan Napoli (Grup A).

Pencapaian ini merupakan sebuah sejarah besar bagi Club Brugge. Pasalnya, sejak Liga Champions memakai format baru dengan adanya fase grup pada 1992, belum pernah sekalipun klub Belgia ini melaju lebih jauh dari putaran pertama.

Sejak 1992 itu pencapaian Brugge selalu mentok di fase grup. Klub bernama lengkap Club Brugge Koninklijke Voetbalvereniging ini paling keren hanya finish di peringkat 3 klasemen akhir, untuk kemudian ditransfer ke Europa League.

Dari Liga Champions ke Europa League, itu namanya turun kasta. Turun derajat. Jelas bukan sebuah prestasi yang ingin dirayakan oleh segenap fans Blauw-Zwart, julukan Club Brugge.

Keinginan segenap pendukung adalah Brugge dapat kembali berbicara banyak di level tertinggi Eropa. Kalau perlu kembali menembus partai final seperti pada European Cup (pendahulu Liga Champions) musim 1977-78.

Harapan tersebut bisa saja terwujud pada musim ini. Sekarang baru berupa menembus fase gugur untuk kali pertama selama 30 tahun terakhir. Mana tahu kejutan dan sejarah besar kembali hadir?

Di Luar Dugaan

Kiprah Club Brugge musim ini sungguh di luar dugaan saya. Ketika klub Belgia ini menang 1-0 atas Leverkusen di matchday pertama, saya tidak melihatnya sebagai sesuatu yang layak disebut sebagai kejutan.

Toh, skor pertandingan itu hanya 1-0. Kemudian Brugge juga bermain di kandang sendiri, Jan Breydel Stadium di Brussel. Tambahan lagi, selisih nilai koefisien antara Brugge dan Leverkusen tidak terlalu banyak.

Perhatian saya waktu itu justru tersita pada kekalahan Chelsea di kandang Dinamo Zagreb. Hasil pertandingan inilah bagi saya yang lebih pantas disebut kejutan, sebab menggambarkan ketimpangan kekuatan yang mencolok di antara kedua tim.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kekalahan Chelsea di Zagreb tersebut menjadi penyulut dipecatnya Tomas Tuchel. Seolah mengonfirmasi bahwa kemenangan Dinamo atas The Blues merupakan hasil yang tidak dapat diterima.

Namun begitu melihat Brugge menang telak 4-0 di kandang FC Porto dalam matchday 2, medio September lalu, saya mulai berubah pikiran. Saya melihat ada sesuatu yang menjanjikan dari tim tim Belgia satu ini.

Benar saja. Pada matchday 3 Brugge melanjutkan catatan manis dengan mengalahkan Atletico dengan skor 2-0 di Stadion Jan Breydel. Berbekal 9 poin, tim berseragam biru-hitam ini hanya butuh tambahan satu poin saja untuk mengunci tiket ke fase gugur.

Misi tersebut sukses mereka jalankan di Wanda Metropolitano. Meski dibombardir oleh para pemain Atletico yang melepas 21 tembakan, 9 di antaranya shot on goal, gawang Mignolet tetap aman tak tertembus.

Skor 0-0 bertahan hingga peluit panjang berbunyi. Kandang Atletico yang dikenal sulit ditaklukkan lawan pun berubah menjadi tempat perayaan sejarah baru bagi Vormer, Mignolet dan kawan-kawannya.

Bukan saja pertama kali lolos ke fase gugur setelah 30 tahun menanti, pencapaian Brugge musim ini juga menjadi catatan tersendiri bagi Hoefkens. Sang manajer menjadi orang keempat dalam sejarah Liga Champions yang sukses membawa timnya clean sheet dalam empat laga awal.

Kini, saya tinggal menunggu satu prediksi lagi yang masih belum terjadi: kemungkinan Brugge memuncaki klasemen akhir Grup B di atas Atletico Madrid.

Kalau hal itu benar-benar terjadi nanti, memang tidak salah rasanya jika Club Brugge disebut sebagai kuda hitam di UEFA Champions League 2022-23.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun