SEHARUSNYA Remko Bicentini mendampingi timnas Kanada di Piala Dunia 2022 mulai 23 November nanti. Namun kesempatan besar tersebut dia lepas begitu saja demi menangani satu negara kecil di Karibia.
Ya, negara mungil di Karibia itu bernama Curacao, calon lawan Indonesia pada 24 dan 27 September mendatang. Sebuah keputusan yang bagi kebanyakan orang adalah hal gila. Sangat gila, bahkan.
Melepas kesempatan tampil di putaran final Piala Dunia? Yang benar saja!
Sebab tak hanya di kalangan pesepak bola, bisa berpartisipasi di Piala Dunia juga merupakan sebuah kebanggaan besar bagi para pelatih. Bahkan meski 'hanya' berstatus asisten pelatih seperti Bicentini sekalipun.
Pengalaman menangani timnas di kompetisi sepak bola terakbar sejagat adalah tambahan mentereng dalam curriculum vitae si asisten pelatih. Bisa jadi faktor untuk meningkatkan tarif jasa, misalnya.
Atau bisa juga membuka peluang untuk 'naik pangkat' jadi pelatih kepala selepas Piala Dunia nanti. Di mana ujung-ujungnya berarti kenaikan penghasilan, sebab fee pelatih kepala tentu lebih tinggi dari para asistennya.
Karena itu, rasa-rasanya kebanyakan asisten pelatih di dunia ini tidak akan mau melepas kesempatan tersebut begitu saja. Lebih-lebih jika tiket ke Piala Dunia sudah berada di dalam genggaman, seperti yang diperoleh Kanada pada 27 Maret 2022 lalu.
Namun ternyata Bicentini bukan orang kebanyakan. Keputusan 'gila' yang dia ambil hanya 3 bulan jelang bergulirnya Piala Dunia 2022, menegaskan bahwa pria Belanda ini bukanlah juru latih sembarangan.
Melesatkan Curacao
Bagi yang mengerti apa arti Curacao bagi Bicentini, keputusan tersebut sama sekali tidak gila. Lelaki kelahiran Nijmegen ini sudah menganggap negara Karibia tadi sebagai tanah air keduanya setelah Belanda.
Karya Bicentini di Curacao bahkan sudah terukir sejak 2007, ketika negara tersebut masih merupakan bagian dari Antillen Belanda. Dia terus bertahan sebagai asisten pelatih, termasuk ketika Antillen Belanda bubar pada 2010 dan Curacao menjadi negara baru (tetapi lama).
Baca juga:Â Sejarah Curacao, Calon Lawan Indonesia di FIFA Matchday September 2022
Apa yang dilakukan Bicentini bukan karya remeh. Dia sukses besar melambungkan Curacao sebagai satu kejutan terbesar di zona Amerika Tengah dan Karibia dalam 10 tahun terakhir.
Sebagai gambaran betapa melesatnya prestasi Curacao satu dekade ini, laman resmi Concacaf memakai istilah 'meteoric rise' untuk menggambarkan capaian timnas tersebut. Melesat bak meteor. Dan itu berkat tangan dingin Bicentini.
Dari sekadar tim kacangan, Curacao kini adalah langganan putaran final Gold Cup. Diawali keberhasilan menembus Gold Cup 2017, yang diperoleh dalam tahun pertama Bicentini berstatus pelatih kepala.
Dari sebelumnya hanya mentok di kualifikasi, sejak 2017 itu Curacao bermain di panggung yang sama dengan Meksiko, Amerika Serikat, Kosta Rika, Kanada, juga Trinidad-Tobago. Kelima negara Concacaf tersebut semuanya pernah merasakan atmosfer Piala Dunia.
Ketika ada yang beranggapan Curacao hanya beruntung dapat tampil di Gold Cup 2017, Bicentini menjawabnya dengan prestasi di atas lapangan. Mantan bek tengah NEC Nijmegen ini kembali membawa timnya lolos ke edisi 2019 dan 2021. Tiga kali berturut-turut!
Malah pada Gold Cup 2019 kejutan yang dibuat Curacao sangat mencengangkan. Mereka menang 1-0 atas tim unggulan Honduras, lalu berhasil memaksakan hasil seri 1-1 melawan Jamaika yang adalah salah satu tuan rumah kompetisi.
Berbekal posisi sebagai runner up Grup C, Curacao berhak maju ke perempatfinal menantang Amerika Serikat yang keluar sebagai juara Grup D. Sayang, Leandro Bacuna, cs. harus mengakui keunggulan AS. Itupun skornya tetap bikin kagum, yakni hanya kalah 0-1.
Bagi tim yang sebelum 2017 hanya berkutat di kualifikasi, pencapaian Curacao di Gold Cup 2019 adalah sejarah besar. Terlebih pada awal turnamen mereka diprediksi bakal jadi juru kunci grup lagi seperti pada edisi sebelumnya.
Yang menarik, ternyata Gold Cup bukanlah target utama Bicentini bersama Curacao. Dalam satu wawancara dengan media resmi Concacaf pada Agustus 2020, dia berkata impian terbesarnya adalah membawa Curacao lolos ke Piala Dunia 2022 di Qatar.
Namun Bicentini harus rela harapan itu tak terwujud. Curacao hanya mampu bertahan sampai putaran kedua Kualifikasi Zona Concacaf. Kalah agregat tipis 1-2 dari Panama, sehingga gagal melaju ke putaran ketiga yang jadi penentu.
Mentor-Mentor Terbaik
Bicentini mengakui sendiri jika dirinya beruntung karena pernah mendampingi nama-nama tenar selama di timnas Curacao. Misalnya saja mengasisteni Patrick Kluivert yang adalah eks bintang timnas Belanda.
Kluivert sendiri menimba pengalaman dari pelatih yang jauh lebih berpengalaman, yakni Louis van Gaal. Bersama Van Gaal, Kluivert mengantar timnas Belanda ke putaran final Piala Dunia 2014 yang diselenggarakan di Brazil.
Kelolosan Der Oranje bukan sekadar asal lolos, tetapi bahkan sukses finish sebagai peringkat ketiga tanpa pernah kalah sekali pun! Kecuali satu kekalahan adu penalti dari Argentina di semifinal.
Pada 5 Maret 2015, Kluivert ditunjuk sebagai pelatih timnas Curacao jelang bergulirnya Kualifikasi Piala Dunia 2018. Bicentini tetap dipertahankan oleh federasi sepak bola Curacao (Federashon Futbol Korsou alias FFK), sehingga menjadi asisten Kluivert.
Kluivert sendiri lantas mencatatkan sejarah dengan membawa Curacao melaju hingga putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2018. Langkah La Pantera Azul harus terhenti karena kalah agregat 0-2 dari El Salvador.
Meski sebetulnya terhitung gagal, prestasi Kluivert adalah yang terbaik pernah ditorehkan pelatih-pelatih Curacao. Itu merupakan capaian tertinggi Selekshon di Futbol Korsou sepanjang partisipasinya di kualifikasi Piala Dunia.
September 2016, Kluivert memutuskan pergi dari Curacao demi melatih Ajax Junior yang diperkuat puteranya, Justin Kluivert. Momen inilah yang membuka jalan bagi Bicentini untuk menjadi pelatih kepala.
Dalam tempo setahun saja Bicentini sudah memberikan sederet prestasi akbar. Dia sukses membawa Curacao melaju ke putaran final Gold Cup 2017, kali pertama dalam 40 tahun terakhir, juga menjuarai Piala Karibia 2017.
Lalu torehan berikutnya tidak kalah mengagumkan, yakni lolos lagi ke putaran final Gold Cup edisi 2019 dan 2021. Artinya, Bicentini telah membawa Curacao naik kelas ke deretan tim papan atas Concacaf.
Tak hanya itu, Bicentini juga berhasil membawa Curacao merengkuh gelar juara Kings Cup 2019 di Thailand. Lalu juara ABCS Tournament 2021. Patut disebutkan pula, kesuksesan menembus League A Concacaf Nations League 2019/20 yang berisi tim-tim elite di zonanya.
Bicentini tidak mau mengambil semua kredit untuknya seorang. Lelaki berusia 54 tahun ini menyebutkan, pelatih-pelatih Curacao sebelum dirinya adalah mentor-mentor terbaik baginya dalam menangani tim.
"Keuntungan besar bagi saya adalah bahwa saya berkesempatan bekerja di bawah tiga pelatih timnas sebelumnya sejak 2007, sebelum saya ditunjuk menjadi pelatih kepala pada 2016," ujar Bicentini pada laman resmi Concacaf.
"Saya melihat ketiga pelatih sebelumnya memiliki gaya sendiri-sendiri dan saya juga sudah belajar untuk mempertahankan gaya sendiri. Sepanjang periode 2007-2016 saya mempelajari apa saja yang mempengaruhi kesuksesan seseorang sebagai pelatih timnas dan mana yang tidak," tambah Bicentini.
Ketika target membawa ke Piala Dunia 2022 gagal tercapai, Bicentini didepak oleh FFK yang mengangkat Guus Hiddink sebagai pelatih baru Curacao. Pecah perselisihan karena Bicentini enggan menerima paket kompensasi yang diberikan FFK.
Konflik antara Bicentini dan FFK inilah yang membuat Hiddink tak mau memperpanjang tenurnya sebagai pelatih timnas. Namun sebagai gantinya Hiddink ditunjuk sebagai direktur teknik FFK. Posisi yang malah lebih tinggi.
FFK kemudian memanggil Kluivert sebagai caretaker, sebelum menunjuk Art Langeler sebagai pengampu tugas pelatih timnas. Akan tetapi Langeler hanya memimpin Curacao selama 3 pertandingan dan setelah itu dipecat. Bersamaan dengan itu, kontrak Hiddink sebagai direktur teknik juga diputus.
Sementara Bicentini menerima tawaran dari federasi sepak bola Kanada pada Februari 2021. Dia rela 'turun pangkat' menjadi asisten bagi John Herdman yang berusia jauh lebih muda darinya.
Pada 27 Maret 2022, Kanada memastikan satu tiket ke Qatar. Menariknya, alih-alih tetap bertahan hingga kompetisi terakbar sejagat itu bergulir, Bicentini malah memutuskan kembali ke Curacao pada 14 Agustus lalu.
Entahlah, apa yang bagi Bicentini sangat menarik dari Curacao, sampai-sampai dia rela melepas peluang merasakan atmosfer Piala Dunia. Kesempatan yang sudah berada tepat di depan matanya.
Wahai para wartawan olah raga nasional yang nanti meliput laga Indonesia vs Curacao, adakah dari kalian yang berminat mengajukan pertanyaan saya ini langsung pada Bicentini?
Referensi: Concacaf.com 1, Concacaf.com 2, Bangkok Post, Wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H