Kalau mau mengincar dividen, pilihlah perusahaan bonafid yang memang rutin membagikan dividen dalam setidaknya 3 tahun terakhir. Beli saat harga sahamnya sedang anjlok agar dividend yield yang didapat lebih tinggi.
Kalau yang diincar pergerakan harga saham, maka pilihannya adalah perusahaan-perusahaan yang masih berkembang dan punya potensi untuk lebih besar lagi dalam 3-5 tahun mendatang. Bisa juga memilih perusahaan lawas yang tengah terpuruk dan diharapkan dapat bangkit kembali.
Contoh perusahaan besar yang tengah terpuruk saat ini adalah PT Pembangunan Jaya Ancol, kode saham PJAA. Karena kena hantam wabah Covid-19, harga saham PJAA anjlok dari biasanya di atas Rp1000 menjadi paling rendah sempat menyentuh Rp450-an pada Maret 2022 lalu.
Misalnya awal tahun ini kita membeli saham PJAA di harga Rp500. Nanti ketika harganya kembali normal di kisaran Rp1000, itu artinya uang yang kita tanamkan di saham tersebut sudah berkembang 100% alias menjadi dua kali lipat.
Menarik, bukan? Yang membuat tidak menarik, tidak ada yang tahu kapan harga sebuah saham naik sesuai target kita. Karena itu investasi saham adalah jangka panjang dan pastikan hanya memakai uang dingin. Kalau perlu uang beku.
Ada satu lagi pilihan yang risikonya lebih moderat dengan potensi tidak kalah menarik, yakni peer-to-peer lending (P2P lending). Imbal hasil yang ditawarkan bisa sampai 12-15% setahun, dengan tenor berkisar antara 3, 6, hingga 12 bulan.
Kalau mau mencoba P2P lending, saran saya pilihlah yang penyaluran dananya bagi keperluan produktif. Sekadar menyebut nama ada Amartha yang menyasar pemberdayaan perempuan di desa-desa. Atau bisa pilih juga Akseleran yang borrower-nya adalah perusahaan.
Pendek kata, kalau berharap dapat profit, gain, bunga atau apapun itu istilahnya, jangan taruh uang di bank. Di tabungan niatkan sebagai simpanan saja, jangan mimpi bakal dapat untung seperti di lagunya Eyang Titiek Puspa.
Okelah, kecuali uang Anda sudah bilangan milyar, tentu lain cerita. Sudah jadi rahasia umum jika bank mau menawarkan bunga menggiurkan pada Anda jika memiliki dana besar dan mau menempatkannya di bank tersebut.
Kalau masih seperti saya yang setiap bulan paling banter hanya bisa menyisihkan Rp500.000, menabung di bank rasanya rugi betul. Mending diputar di tempat lain saja supaya berkembang lebih cepat.
Toh, sekarang cukup bermodal Rp100.000 sudah bisa membeli reksadana, membeli saham, atau nyemplung ke P2P lending. Tinggal pilih.