11 September 2001, tragedi itu menyentak dunia. World Trade Center, gedung kembar nan ikonik di New York, runtuh akibat serangan dua pesawat pembawa maut. Gilanya, seorang bule Amerika sangat yakin saya ikut 'terlibat'!
TEPAT hari ini pada 21 tahun lalu,Saya masih ingat betul kejadian pada Selasa malam itu. Selepas salat Isya, seorang teman kos yang biasa saya panggil Mas Yusuf mengajak saya main ke Jogja. Tepatnya ke satu hotel di bilangan Prawirotaman.
Oya, masa-masa itu saya masih berstatus mahasiswa sebuah pendidikan profesi pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat liburan tengah tahun, alih-alih mudik ke Jambi saya memilih magang sebagai tour guide di Candi Prambanan.
Supaya tidak bolak-balik Jogja-Prambanan, saya cari kos di dekat-dekat kawasan candi. Lebih tepatnya ikut salah seorang alumni kampus saya yang mengekos di rumah (waktu itu) lurah Desa Tlogo. Itulah dia Mas Yusuf yang mengajak saya pergi tadi.
Mas Yusuf sudah lulus 2 tahun di atas saya. Saat itu dia tengah meniti karier sebagai pemandu wisata. Spesialisasinya di bidang overland tour, khususnya lagi trecking alias naik gunung. Dia biasa membawa bule Prancis ke Bromo, Semeru, Ijen, Agung, bahkan hingga ke Rinjani.
Saya dan Mas Yusuf terhitung dekat karena kami sama-sama di bawah bimbingan satu dosen yang sama. Saya sebut saja nama dosen tersebut, yakni Bapak Murtejo. Kalangan tour guide Jogja dan Jawa Tengah saya rasa mengenal sosok Pak Murtejo ini. Paling tidak pernah mendengar nama dan kiprah beliau.
Oke, cukup pendahuluannya. Kita lanjut ke cerita kenangan saya terkait tragedi 11 September 2001.
Nge-band berujung Tegang
Sewaktu saya tanya, "Ada acara apa, Mas?", Mas Yusuf mengatakan ada ajakan kongkow dari seorang pemilik hotel di sana. Anggap saja silaturahim, katanya, berkenalan dengan orang-orang yang sama-sama berkecimpung di dunia pariwisata.
"Nanti ada beberapa guide juga yang ikut. Kamu biar kenal sama guide lain. Nanti kalau mereka butuh operan, bisa kontak kamu." Demikian cara Mas Yusuf membujuk saya agar turut serta dengannya ke Prawirotaman malam itu.
Okelah, saya setuju dengan pemikiran tersebut. Maka, tanpa pikir dua apalagi tiga kali saya langsung mengiyakan. Jadilah kami berboncengan naik sepeda motor selama kira-kira 15-20 menit ke Prawirotaman.
Saya lupa tepatnya di mana, tetapi ketika itu Mas Yusuf masuk ke parkiran sebuah hotel melati. Tidak menuju lobi hotel, tetapi langsung menuju ke satu bangunan tak jauh dari deretan kamar-kamar hotel. Di situlah tempat pertemuannya.
Sesampainya kami di sana, sudah ada 3--4 orang yang kesemuanya laki-laki. Salah seorang dari mereka sedang menyanyi berpegangan mik, sisanya memainkan alat musik. Usia mereka semua di atas saya, mungkin sepantaran Mas Yusuf yang 2-3 tahun lebih tua dari saya.
Sayangnya, saya juga betul-betul lupa siapa-siapa saja mereka yang saya temui malam itu. Yang jelas salah satunya adalah pemilik hotel yang kami datangi.
Ruangan yang kami masuki itu mirip studio musik. Ada microphone yang terpasang pada sebuah stand, ada gitar listrik, ada bas listrik, juga keyboard. Minus drum. Lalu ada sebuah televisi kabel di sudut yang entah tengah menyiarkan program apa.
America Under Attack
Karena merasa paling muda, saya cuma bersikap pasif mendengarkan permbicaraan mereka semua. Sesekali ikut tertawa kalau ada yang melucu. Namun tak lama berselang perhatian kami semua lantas terbetot pada televisi yang sejak tadi dicuekin.
Stasiun televisi berbahasa Inggris yang tadinya menyiarkan entah acara apa, tiba-tiba saja sudah berganti menayangkan siaran langsung. Aura tegang seketika merambati kami semua di ruangan itu sewaktu mendengarkan penjelasan news anchor.
Sementara layar televisi memperlihatkan dua gedung kembar nan tinggi tengah terbakar. Asap hitam mengepul tebal pada bagian atas gedung, bergerak ke udara. Itulah gedung WTC yang pernah saya lihat di film Godzilla dan Armageddon.
Jujur saja, penjelasan news anchor di televisi tidak terlalu jelas saya tangkap seluruhnya. Namun dari running text yang tampil di bagian bawah layar sepanjang siaran langsung tersebut, saya mengerti apa yang tengah terjadi nun jauh di Amerika Serikat sana.
AMERICA UNDER ATTACK, begitu tajuk utama siaran langsung tersebut. Diikuti tulisan-tulisan yang salah satunya menyebut-nyebut nama Al-Qaeda sebagai dalang di balik penyerangan menggegerkan itu.
Saya ingat betul, para senior yang bersama saya ketika itu langsung mendiskusikan berita tersebut. Tepatnya mengenai penyebutan nama Al-Qaeda tadi. Mereka bertanya-tanya, kok bisa di hari yang sama dengan waktu kejadian sudah disebutkan siapa pelakunya?Â
Namun kemudian mereka sepakat untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Berita tadi diabaikan begitu saja. Teman-teman yang masih memegang alat musik melanjutkan bermain, sedangkan yang di belakang mic kembali bernyanyi.
Tak sampai satu jam kami di sana, Mas Yusuf mengajak saya pulang. Tentu saja langsung saya iyakan, sebab selama di sana saya tak ubahnya obat nyamuk. Selain karena memang saya modelnya enggak banyak bicara, mereka juga asyik sendiri dengan musik dan nyanyian. Padahal Mas Yusuf sendiri berharap pertemuan itu diisi dengan bincang-bincang.
"Kamu Pasti Ikut Senang, Kan?"
Nah, pengalaman tak terlupakan buat saya terjadi tepat keesokan harinya. Pada saat itulah seorang bule asal Amerika Serikat yang kebetulan sedang berkunjung ke Prambanan, menuding saya ikut senang atas terjadinya penyerangan WTC di New York.
Jadi, seperti biasa keesokan paginya saya berangkat "dinas" ke kawasan candi. Melakukan aktivitas yang telah menjadi rutinitas saya sejak pertama kali magang di tempat persembahyangan umat Hindu tersebut.
Pada masa-masa high season seperti waktu itu, para pemandu resmi Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Cabang Prambanan kewalahan melayani tamu. Mereka kekurangan personil. Atas alasan itulah Pak Murtejo menyarankan saya magang di sana untuk memperlancar kemampuan tour guiding, sekaligus mencari tambahan uang jajan.
Sore hari menjelang pulang ke kos, saya mengobrol dengan teman-teman sesama anak magang di muka Candi Siwa. Entah siapa yang memulai, kami tiba-tiba saja sudah bermain bola. Menggunakan bola plastik entah milik siapa dan didapat dari mana.
Di satu kesempatan, itu bola keluar kalangan permainan dan mendarat di kaki seorang pemuda bule yang sedang berjalan santai. Eh, ternyata dia malah tertarik ikut main juga. Sambil oper-operan bola, kami saling memperkenalkan diri dan berbasa-basi.
Ternyata pemuda bule ini berasal dari AS. Mengingat malam tadi saya baru saja menyaksikan berita penyerangan WTC di New York, saya pun coba bertanya mengenai hal tersebut pada orang asing ini.
Entahlah, saya tidak tahu dan tidak sadar seperti apa ekspresi saya ketika mengajukan pertanyaan mengenai tragedi 9/11 waktu itu, tetapi tanggapan si pemuda bule kontan membuat saya melongo.
"You look so happy." Kurang-lebih begitu komentar dia terhadap saya. Sungguh, saya masih ingat betul ekspresi pemuda Amrik itu saat dia mengatakan ucapan tersebut.
Memang si pemuda AS berkata demikian sambil men-juggling bola plastik. Terlihat sambil lalu, tetapi dengan tatapan tidak senang ke arah saya dan ada sedikit seringai di ujung bibir. Benar-benar ekspresi yang sangat tidak bersahabat.
Tentu saja saya jadi keheranan sendiri. Memangnya apa kaitan peristiwa di Pulau Manhattan sana dengan saya yang ada di Pulau Jawa sini? Jarak yang memisahkan kedua tempat 16 ribu kilometer lebih!
Saya bahkan baru tahu mengenai kejadian tragis di New York tadi malam, itu pun secara tidak sengaja. Kalau saja malam itu saya lebih memilih tidur di kamar kos alih-alih ikut Mas Yusuf, tentulah saya tidak tahu apa-apa.
Saya benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan si pemuda AS itu tadi. Sampai kemudian dia menambahkan ucapan, yang membuat saya semakin tidak habis pikir.
"You're a Muslim, right? So, I think you must be happy...."
Ah, oke, barulah saya paham apa maksud si pemuda AS ini.
Rupanya bule Amrik ini berpikir, kalau Muslim sudah pasti pendukung Al-Qaeda. Maka, pastilah bakal mendukung apa yang dilakukan gerombolannya Osama bin Laden tersebut. Paling tidak merasa ikut senang jika serangan mereka berhasil. Sebuah bentuk keterlibatan secara emosional.
Padahal siapalah saya. Saat itu Eko Nurhuda hanyalah seorang remaja yang belum genap 20 tahun. Sedang berhasrat menjadi pemandu wisata seperti mentor dan senior saya, Pak Murtejo dan Mas Yusuf.
Saya memang gemar membaca sejak kecil, termasuk buku-buku dan majalah agama. Namun bacaan paling favorit bagi saya pada masa-masa itu adalah sejenis Supernova, Saman, dengan serial Wiro Sableng sebagai selingan.
Eh, lha kok, ada seorang bule Amrik yang baru saja saya temui (tak sampai 15 menit!) sudah menuduh saya 'terlibat' dengan aktivitas Al-Qaeda. Ya, terlibat secara emosional dengan cara ikut senang saat serangan teror berhasil. Andai saja bule itu tahu saya bahkan (maaf, ini memalukan sebetulnya) belum tertib salat 5 waktu ketika itu.
Jelas saja saya langsung merasa tidak nyaman. Saya merasa tidak perlu lagi meladeni ucapan pemuda bule tersebut, sehingga memilih pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bule gila!
Catatan: Di bawah ini foto saya semasa magang di Candi Prambanan. Dijepret oleh seorang teman bernama Katamso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H