BEGITU Ratu Elizabeth II mangkat, Kamis (8/9/2022) lalu, secara otomatis Pangeran Charles naik takhta, menjadi raja Inggris yang baru dengan nama resmi Raja Charles III. Nama takhta yang mulanya sangat ingin dihindari.
Nama lengkap Raja Charles III adalah Charles Philip Arthur George. Ketika kelahirannya diumumkan secara resmi oleh Kerajaan pada 14 November 1948, nama yang disebut dalam pengumuman tersebut adalah Prince Charles of Edinburgh.
Bayi Charles disebut Pangeran Charles dari Edinburgh karena ayahnya, Pangeran Philip, adalah Adipati Edinburgh. Sama halnya Pangeran George, putera sulung Pangeran William, yang saat lahir diumumkan sebagai Pangeran George dari Cambridge karena ayahnya waktu itu bergelar Adipati Cambridge.
Philip yang menjadi kata kedua pada nama lengkap Raja Charles III kuat dugaan diambil dari nama ayahnya. Pangeran Philip sendiri telah lebih dahulu meninggal dunia pada 9 April 2021 lalu.
Adapun Arthur George di ujung menyamai nama belakang kakeknya, yakni Raja George VI (1895-1952). Pendahulu Ratu Elizabeth II tersebut memiliki nama lengkap Albert Frederick Arthur George. Semasa kecil, Raja George VI dipanggil sebagai Pangeran Albert.
Garis tangan membuat Raja Charles III sempat mencetak sejarah dunia dengan menjadi putera mahkota terlama. Melampaui rekor yang sebelumnya dipegang oleh simbah canggah beliau sendiri, yakni Raja Edward VII. Demikian saya baca dari laman Guiness World Records.
Raja Edward VII naik takhta meneruskan pendahulunya, Ratu Victoria nan agung, pada usia 59 tahun 2 bulan 13 hari. Raja Edward VII lahir ketika Ratu Victoria sudah menduduki takhta kerajaan, sehingga beliau menjadi putera mahkota sejak lahir hingga kemudian ibunya mangkat.
Adapun Raja Charles III naik takhta di usia 73 tahun 9 bulan 25 hari. Beliau berstatus putera mahkota sejak ibunya menjadi Ratu Inggris dan Britania Raya pada 6 Februari 1952.
Rekor Raja Edward III dilampaui oleh Raja Charles III pada 20 April 2011. Eh, ternyata itu pun masih bertambah 11 tahun lagi.
Ingin George VII
Sejak 2005, mulai muncul spekulasi mengenai nama takhta yang kelak bakal dipakai oleh (dulu) Pangeran Charles seandainya beliau meneruskan kekuasaan ibunya. Media Inggris ramai melaporkan, sempat muncul niatan untuk menggunakan nama George VII alih-alih Charles III.
Sumber-sumber internal Kerajaan yang dimintai keterangan menyebutkan jika memang telah terjadi sejumlah diskusi mengenai penggunaan nama takhta bagi (dulu) Pangeran Charles saat nanti meneruskan kuasa Ratu Elizabeth II.
"Sudah ada beberapa pembicaraan dengan Pangeran (Charles, Pen.) mengenai hal ini. Sebab bagaimanapun hal itu (naiknya Charles menjadi raja) bakal terjadi." Demikian kata salah satu narasumber The Times pada 24 Desember 2005.
"Nama Charles lekat dengan segala bentuk kesedihan," kata sumber lain, yang disebut The Times sebagai teman dekat (dulu) Pangeran Charles.
Kedua sumber tersebut mengungkapkan jika nama alternatif yang disukai (dulu) Pangeran Charles adalah George VII. Bukan saja karena namanya yang paling belakang adalah George, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan bagi kakek beliau, yakni Raja George VI.
Raja George VI yang adalah ayah Ratu Elizabeth II dikenal sebagai salah satu raja bijaksana yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Ketika naik takhta, beliau memilih nama takhta George. Padahal semasa kecil beliau akrab dipanggil Pangeran Albert.
Agaknya preseden ini yang sempat ingin dilanjutkan oleh Raja Charles III. Nama takhta tidak harus selalu sesuai dengan nama lahir. Toh, George juga adalah bagian dari nama beliau yang panjang itu.
Sejarah Buruk Charles
Niatan menghormati sang kakek bukanlah satu-satunya alasan. Satu pertimbangan lain, dalam sejarahnya yang panjang raja-raja Britania dengan nama takhta Charles terkait dengan hal-hal buruk.
Seperti kata narasumber The Times tadi, nama Charles lekat dengan segala bentuk kesedihan di masa lalu.
Raja Charles I dari Dinasti Stuart, misalnya. Raja yang bertakhta sejak 27 Maret 1625 hingga 30 Januari 1649 ini turun takhta karena dieksekusi mati. Lehernya dipenggal di hadapan khalayak ramai usai dinyatakan bersalah oleh mahkamah agung.
Eksekusi Raja Charles I merupakan puncak dari Perang Sipil Inggris. Parlemen Skotlandia memang menunjuk putera tertua mendiang raja sebagai penerus takhta, dengan nama resmi Charles II. Namun di Inggris berdiri sebuah republik de facto yang dipimpin oleh Oliver Cromwell.
Cromwell mengalahkan Raja Charles II dalam Pertempuran Worcester pada 3 September 1651. Sang Raja menyelamatkan diri ke Eropa daratan dan Cromwell menjadi penguasa di seluruh Inggris, Skotlandia dan Irlandia. Dengan kata lain, Cromwell bertindak sebagai penguasa baru menggantikan Charles II.
Raja Charles II sendiri berada dalam pengungsian selama 9 tahun. Terus berpindah-pindah di antara Prancis, Republik Belanda dan Spanyol yang ketika itu masih berstatus jajahan Belanda.
Ketika kemudian Cromwell wafat pada 1658, monarki Britania dipulihkan kembali dan Charles II diminta pulang. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-30, yakni pada 29 Mei 1660, Charles II tiba di London dan disambut meriah oleh rakyatnya.
Meski kisahnya berakhir bahagia, Raja Charles II dikenal sebagai seorang raja dengan gaya hidup sangat bebas lagi hedonis. Britannica menuliskan, sang Raja punya setidaknya 14 anak dari sejumlah gundik. Konon, aktris Nell Gwyn adalah gundik favoritnya.
Charles III The Young Pretender
Selain sejarah buruk Charles I dan Charles II, ada satu sosok lagi yang agaknya membuat (dulu) Pangeran Charles sempat enggan memakai nama takhta Charles III. Sosok tersebut adalah Charles Edward Stuart yang lebih dikenal luas sebagai Bonnie Prince Charlie.
Charles Edward Stuart merupakan pangeran Dinasti Stuart, putera tertua Pangeran James Francis Edward Stuart. Sedangkan Pangeran James Stuart sendiri adalah putera pertama Raja James II (sekaligus James VII of Scotland) dari jalur istri kedua yang bernama Maria dari Modena.Â
Pangeran James Stuart sempat berstatus Pangeran Wales, menandakan dirinya adalah calon penerus takhta kelak ketika Raja James II mangkat. Namun kemudian meletuslah Revolusi Glorious pada 1688. Raja James II sekeluarga mengungsi ke luar negeri, meninggalkan kekuasaan yang direbut kaum revolusioner.
Usai revolusi tersebut lahirnya Bill of Rights 1689 dan disusul Act of Settlement 1701, yang mana melarang pemeluk Katolik seperti Raja James II menduduki takhta Inggris dan juga Britania Raya. Alhasil, Pangeran James Stuart yang sudah berstatus putera mahkota batal menjadi raja.
Sewaktu Raja James II mangkat pada 1701, Pangeran James Stuart mengklaim dirinya sebagai penerus takhta. Gelarnya adalah James III dari Inggris-Irlandia dan James VIII dari Skotlandia. Namun klaim tersebut ditolak dan alih-alih dia digelari sebagai The Old Pretender.
Ketika kemudian sang ayah mangkat pada 1766, Pangeran Charles Stuart didapuk oleh para pengikutnya sebagai raja baru dengan gelar Charles III. Lagi-lagi klaim kaum Jacobite ini tidak diakui. Sejarah Inggris justru mencatat sang pangeran sebagai The Young Pretender.
Dengan sejarah tidak enak yang selalu melibatkan raja-raja bernama Charles tersebut, wajar saja jika dulu Raja Charles III lebih suka memakai nama takhta George VII. Beliau lebih suka diasosiasikan dengan kakek dan buyutnya ketimbang raja-raja dari Dinasti Stuart.
Menjadi menarik ketika kesempatan bagi beliau untuk menduduki takhta Inggris benar-benar tiba, nama favoritnya tersebut justru batal dipakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H