Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warga di Tidore Ini Upacara Bendera Setiap 18 Agustus, Bukan 17 Agustus

19 Agustus 2022   13:54 Diperbarui: 23 Agustus 2022   00:40 5451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu peringatan pengibaran bendera merah putih oleh para pemuda Mareku pada 18 Agustus 1946. FOTO: Eko Nurhuda/bungeko.com

Ternate, Tidore, Halmahera, serta pulau-pulau di sekitarnya menjadi medan perjuangan Arnold Mononutu dan Chasan Boesoirie dalam menyebar-luaskan kabar kemerdekaan bangsa. Mereka berpidato mengobarkan semangat nasionalisme dari satu tempat ke tempat lain.

Sementara itu, pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang mengasingkan diri ke Australia saat Jepang menduduki Nusantara, kembali ke Jawa pada 1 Oktober 1945. Badan administrasi yang dipimpin acting Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook ini tentu saja berniat menguasai kembali Indonesia.

NICA hadir dengan membonceng pasukan Sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Kehadiran mereka membuat tensi meningkat. Beberapa insiden meletus karena disulut rasa tidak senang para pejuang terhadap kembalinya NICA.

Van Mook sendiri sebetulnya bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Pria kelahiran Semarang ini berencana menjamin kemerdekaan Indonesia, tetapi menyarankan pembentukan sebuah negara federasi yang condong pada Kerajaan Belanda.

Untuk mendukung rencana tersebut, Van Mook menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin daerah di luar Jawa. Sasaran utamanya adalah wilayah timur Indonesia, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, hingga Maluku.

Indonesia Timur sendiri secara de facto kembali menjadi milik Belanda. Ini terjadi setelah Southeast Asia Command (SEAC), badan bentukan Australia yang adalah bagian dari Sekutu, menyerahkan kembali wilayah tersebut pada Kerajaan Belanda usai Perang Dunia II.

Maka digelarlah sederet pertemuan di mana Van Mook mengumpulkan para pemimpin daerah Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Indonesia Timur. Konferensi Malino, lalu disusul konferensi lanjutan di Denpasar, juga pertemuan dengan wakil golongan minoritas di Pangkal Pinang, Pulau Bangka.

Terganjal Sultan Tidore

Misi Van Mook adalah membentuk negara-negara federal di luar Republik Indonesia bentukan Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Lalu kesemua negara di wilayah eks Hindia Belanda bakal disatukan dalam sebuah negara federasi, di mana RI juga jadi salah satu anggotanya.

Masih satu misi dengan rencana itu, NICA mendirikan Karesidenan Ternate pada Januari 1946. Wilayahnya mencakup Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan beberapa pulau lain (sumber). Kelak karesidenan ini direncanakan menjadi sebuah negara pula.

Namun begitu bergerak ke Kesultanan Tidore, rencana Van Mook untuk membuat negara boneka terganjal. Ternate dikenal lebih condong pada Belanda, tetapi tidak demikian halnya dengan Tidore.

Adalah sikap politik Sultan Zainal Abidin Syah yang membuat repot Van Mook. Dalam wawancara dengan Nenek Salma dano Hasan, kemenakan Sultan, pada Agustus 2018 (video di bawah), saya diceritai bahwa Sultan Zainal Abidin Syah dengan tegas menolak tawaran Van Mook.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun