MASIH ingat ungkapan "rai ndesa rejeki kutha" yang dipopularkan Tukul Arwana? Saya memodifikasi kalimat ini menjadi "wong ndesa rejeki kutha". Ya, saya memang tinggal di desa, tetapi sumber rezeki saya malah berasal dari kota-kota nan jauh. Bahkan dari luar negeri. Semua mungkin terjadi berkat koneksi internet dari IndiHome.
Saya tinggal di sebuah desa kecil di Pemalang. Kabupaten di pantai utara Jawa Tengah ini sering keliru dianggap sebagai Malang, Jawa Timur. Kabupaten yang selalu luput dari pengamatan pengguna jalur Pantura karena kondisinya yang sangat jomplang dengan dua daerah lain di kedua sisinya: Pekalongan dan Tegal.
Bukan keputusan mudah bagi saya untuk meninggalkan Yogyakarta dan menetap di Pemalang. Namun keinginan untuk dekat dengan anak yang baru lahir pada medio 2010, serta istri yang masih terikat kontrak mengajar di dua SD Negeri, membuat saya mengalah.
Toh, sepanjang ada aliran listrik dan koneksi internet, situs jual-beli uang lama yang saya rintis sewaktu di Jogja, juga pekerjaan sambilan sebagai penulis lepas (content writer) pada satu portal, tetap dapat berjalan lancar di mana saja berada.
Sayangnya, ternyata saya salah duga. Mulanya, saya berpikir bakal mudah terkoneksi dengan internet selama di Pemalang. Sebab saya membekal modem HSDPA, perangkat kerja andalan selama di Jogja. Ternyata tidak semudah itu, Ferguso.
Modem boleh punya, tetapi sinyalnya yang tak ada! Saya sudah gonta-ganti provider, tetap saja tidak ada yang nyantol.
Alangkah herannya saya saat itu, padahal desa ini hanya berjarak 5,5 km dari pusat kota. Semestinya paling tidak koneksi internet salah satu provider bisa sampai kemari, sekalipun cuma jaringan EDGE satu bar. Namun nyatanya tidak.
Walhasil, kepada warnetlah saya bersandar. Padahal sewaktu di Jogja saya sudah tidak pernah lagi menginjakkan kaki di warnet sejak medio 2008. Tepatnya setelah punya modem sendiri dan berlangganan paket internet bulanan dari salah provider.
Musti Terus Online
Begitulah. Satu-dua kali dalam sepekan saya nongkrong di warnet. Berbekal flashdisk berisi artikel atau foto untuk memperbarui situs jual-beli uang lama yang saya kelola. Juga naskah tulisan untuk dikirim ke editor situs tempat saya mengisi konten.
Kelar urusan pekerjaan, saya sempatkan browsing sebentar mencari-cari referensi. Hasil berselancar biasa saya simpan dalam bentuk berkas teks di flashdisk. Begitulah ritme yang terus berulang hingga beberapa bulan awal di Pemalang.
Masalahnya, begitu bisnis online semakin ramai pembeli, saya musti terus-terusan terkoneksi dengan internet. Bahkan nyaris sepanjang hari musti online karena calon pembeli itu tidak mengenal waktu untuk berkirim pesan.
Tambahan lagi, kebanyakan calon pembeli lebih senang memakai aplikasi perpesanan Blackbery Messenger dan kemudian WhatsApp. Sedangkan saya waktu itu hanya membuka jalur pelayanan lewat SMS.
Di sisi lain, beban kerja sebagai penulis lepas juga menuntut saya harus update konten setiap hari. Malah sehari musti menulis minimal 8 judul. Artinya, saya musti terus-terusan tersambung dengan koneksi internet 7 hari sepekan, 30 hari sebulan.
Tak ingin kehilangan momentum, saya memberanikan diri mengambil ponsel Blackberry. Yang paling murah saja, yakni tipe Davis. "Sudah cukuplah itu," kata adik saya yang membantu membelikan di Jakarta, "yang penting bisa BBM-an dan juga WA."
Sebuah keputusan tepat. Calon pembeli yang bertanya-tanya jadi merasa lebih yakin karena saya bisa mengirim foto bahkan video produk yang mereka inginkan. Karena sudah yakin, mereka pun tidak ragu-ragu untuk membeli.
Sejak saat itu jumlah pesanan melonjak. Jumlah calon pembeli yang CLBK (chat lama beli kagak) menurun drastis. Omset meningkat, seiring dengan bertambahnya keuntungan bersih dari bulan ke bulan.
Namun itu hanya solusi bagi bisnis uang lama saya, yang kemudian ditangani istri setelah dia memutuskan keluar sebagai guru kontrak. Untuk urusan pekerjaan sebagai content writer, tidak sama sekali.
Padahal bagi saya menjadi penulis bukan sekadar pekerjaan, melainkan passion. Penghasilan bulanannya boleh saja lebih kecil dari keuntungan berdagang uang lama, tetapi rasa-rasanya ada yang kurang kalau saya tidak menulis dalam sehari.
Lagi pula urusan toko online sudah ditangani istri. Saya tak lebih sebagai kurir saja. Tugas saya mengemas pesanan yang masuk dan mengirimkan paket-paket tersebut ke agen JNE atau kantor pos. Ada banyak waktu luang bagi saya untuk mencari tambahan penghasilan sebagai content writer.
Saya sempat mencoba menulis lewat gawai Blackberry, tetapi menulis dengan papan ketik dan layar yang terlalu mungil itu sangat menyiksa. Belum lagi BB itu kan, inventaris toko online. Harus selalu siaga agar dapat langsung menjawab pertanyaan dari calon pembeli.
Lantas, apa solusinya?
Berlangganan IndiHome
Atas saran pemilik situs tempat saya menjadi content writer, opsi berlangganan Speedy jadi pertimbangan. Ini layanan internet dari Telkom Indonesia yang kini kita kenal sebagai IndiHome.
Kenapa baru mempertimbangkan? Karena saya merasa tinggal di desa. Meski hanya berjarak 5,5 km dari pusat kota--terhitung dekat untuk ukuran orang desa, tetapi tempat tinggal saya jauh dari jalan besar di mana biasanya tiang-tiang Telkom terpancang.
Lalu tibalah hari itu. Hari di mana saya melihat seorang teknisi Telkom Indonesia tengah bekerja memperbaiki jaringan kabel di seberang rumah mertua. Astaga, saya baru menyadari ternyata ada tiang telepon tegak di sana.
Saya kontan menepuk jidat. Awalnya sama sekali tidak menyangka kalau jaringan Telkom sudah sampai di sini. Eh, lha kok, ternyata kabelnya melintas di jalan kecil depan rumah. Maklumlah, waktu itu tiang listrik dan tiang telepon masih mirip-mirip.
Pada teknisi tersebut saya bertanya-tanya tentang tata cara berlangganan internet dan berapa tarifnya. Â Beliau menjawab dengan detail, bahkan memberi tahu saya kalau sedang ada promosi khusus bagi pelanggan baru.
Tidak menunggu lama, saya pergi ke Plaza Telkom Pemalang keesokan paginya. Siang hari itu juga seorang teknisi datang untuk melakukan survei, sebelum kemudian menarik kabel dari titik ODP terdekat ke rumah. Sejak itulah saya bisa online 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Betapa senangnya....
Saya memang sudah tidak lagi berjualan uang lama sejak beberapa tahun lalu, juga sudah lama berhenti sebagai content writer. Namun saya masih menekuni pekerjaan di bidang kepenulisan. Selain mengurusi blog pribadi, kini saya menjadi editor-akuisisi lepas di sebuah aplikasi webnovel dan juga menulis novel di beberapa aplikasi lain.
Kesemua pekerjaan tersebut saya lakukan secara daring di rumah. Karena itu layanan IndiHome masih tetap jadi andalan. Kepada siapa lagi memangnya saya bisa berharap selain koneksi kencang, lancar, lagi murah meriah dari Internetnya Indonesia ini?
Berkat IndiHome, saya bisa menggeluti passion sekaligus mencari uang dari rumah saja. Kalau tetangga kanan-kiri musti merantau ke Jakarta, Karawang, Semarang, bahkan kota-kota lebih jauh di Kalimantan demi menjemput rezeki, saya tetap tinggal di desa ini.
Memaksimalkan manfaat internet, saya dapat tetap mendampingi anak-anak tumbuh besar. Juga menemani istri membesarkan mereka dari bayi hingga sekarang masuk SMP. Saya tidak perlu ke mana-mana, sebab dengan internet justru uang dari kotalah, bahkan dari luar negeri, yang saya tarik kemari.
Memodifikasi ungkapan Tukul Arwana tadi, bolehlah dibilang saya ini "wong ndesa rejeki kutha". Orangnya boleh saja "cuma" tinggal di desa, tetapi soal rezeki tidak kalah dari orang kota. Alhamdulillah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H