Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Kisahku Membangun Bisnis Online Modal Yakin Plus Internet

13 Juli 2022   15:00 Diperbarui: 13 Juli 2022   15:03 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenang-kenangan catatan daftar pemesan. FOTO: Dok. pribadi

BELUM lulus kuliah dan akan segera menikahi anak gadis orang. Itulah kondisi saya di Jogja tahun 2009. Jauh dari kata ideal untuk ukuran seorang pemuda yang bakal menjadi suami, lalu tentu saja setelahnya jadi bapak.

Namun agaknya the power of kepepet memang sungguhan ada. Sebab, keadaan tersebut lantas memicu dan memacu kreativitas. Saya malah melahirkan sebuah bisnis online yang kelak menjadi tumpuan nafkah keluarga.

Saya ingat betul, ibu saya di Jambi sana benar-benar cemas melihat kondisi saya waktu itu. Calon mertua di Pemalang pun pastinya merasa kebat-kebit karena bakal dapat menantu pengacara. Pengangguran banyak acara.

Yang mereka semua tidak tahu, diam-diam saya tengah merintis sebuah bisnis online. Jenis usaha yang terhitung tidak lumrah pada masanya. Barang dagangannya pun unik, yakni uang lama alias uang yang sudah tidak berlaku lagi.

Berawal dari Mahar

Ceritanya, waktu itu saya berniat memberi mas kawin berupa uang tunai senilai tanggal pernikahan. Karena saya dan calon istri sudah ditentukan bakal menikah pada 4 Agustus 2009, maka mahar yang saya siapkan adalah Rp482.009.

Mulanya saya mau pakai uang lama semua, biar unik. Saya dapat "harga teman" dari seorang kenalan yang berjualan di Pasar Klithikan. Namanya Wishnu Murti. Beliau pernah saya wawancarai untuk keperluan liputan di satu koran lokal Jogja.

Balik ke tempat kos, seorang teman yang tahu rencana itu memberi saran. Katanya, kalau mau kasih mahar dalam bentuk uang tunai, sebaiknya pakai uang yang masih berlaku. Jangan uang lama, sekalipun nilainya lebih tinggi dari angka nominalnya.

Kami sempat berdebat kecil waktu itu. Saya yang sudah kadung keluar uang untuk beli uang lama, tentu tak mau rugi. Namun teman tadi anak pondokan, jadi dia berhasil meyakinkan saya menggunakan dalil-dalil terkait mas kawin. Saya berubah pikiran.

Uang lama yang sudah terlanjur dibeli saya bawa kembali pada Pak Wishnu. Niatnya mau diretur, kembali barang kembali uang. Namun meski tak ada ketentuan "barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan", Pak Wishnu tidak menerima retur.

Saya sih, maklum-maklum saja. Ya sudahlah, buat koleksi pribadi saja, pikir saya kemudian.

Wishnu Murti di lapaknya di Pasar Klitikhan, Wirobrajan, Yogyakarta. FOTO: Harian Jogja via uanglama.com
Wishnu Murti di lapaknya di Pasar Klitikhan, Wirobrajan, Yogyakarta. FOTO: Harian Jogja via uanglama.com

Pada saat itulah Pak Wishnu menceritakan peluang berdagang uang lama. Pasar paling ramai memang para calon pengantin seperti saya. Yang dicari biasanya jenis-jenis "uang sayur", begitu istilah di kalangan numismatis.

"Sampeyan ambil barangnya dari saya, nanti ta kasih harga Rp7.500 selembar. Terus sampeyan jual Rp10.000, untungnya Rp2.500 selembar. Wis lumayan iku, Mas," kata Pak Wishnu.

Saya manggut-manggut. Benar juga, pikir saya.

"Kalau yang beli itu mau ngoleksi, mereka enggak bakal sayang uang. Berapa pun harga yang sampeyan kasih, asalkan sudah cocok sama barangnya, pasti ditebus," tambah Pak Wishnu, semakin mengompori.

"Terus kalau yang beli calon manten, enggak mungkin belinya cuma selembar. Untuk mahar itu paling sedikit butuh tiga-empat lembar. Bisa untung lima-sepuluh ribu sekali transaksi sudah lumayan banget, lo."

Anggukan kepala saya semakin intens. Ketimbang dikoleksi sendiri, pikir saya lagi, mendingan uang lama yang sedianya buat mahar dijadikan modal awal berdagang. Lebih tepatnya lagi, berjualan online.

Memaksimalkan Manfaat Internet

Sejak awal kepikiran berdagang uang lama, saya memang berniat berjualan online. Tidak sedikit pun terlintas untuk usaha offline. Saya ingin benar-benar mengoptimalkan manfaat internet.

Rencana yang ada di kepala saya waktu itu antara menumpang jualan di forum jual-beli atau sekalian membuat website sendiri. Alasannya? Realistis saja, modal saya cekak.

Kalau mau buka lapak seperti Pak Wishnu di Pasar Klithikan, dari mana duit untuk biaya sewa? Belum lagi modal untuk berbelanja barang agar lapak terlihat ramai dengan bermacam-macam koleksi.

Uang di tabungan ada, sih, tetapi sudah diplot untuk keperluan menikah. Pasti ada sisa memang, cuma kan tidak mungkin saya pakai duluan sebelum urusan kawinan beres. Mana tahu nanti ada kebutuhan printilan di luar yang sudah dianggarkan.

Karena itu berjualan online adalah pilihan paling masuk akal. Modalnya dijamin seuprit. Sekalipun saya memilih opsi membuat situs sendiri, tak akan sampai Rp100.000. Saya bahkan bisa langsung memulai dengan apa yang sudah ada.

Stok awalnya dari uang lama yang tadinya untuk mahar pernikahan saya. Untuk urusan jepret-jepret barang dagangan, saya sudah punya kamera saku yang biasa dipakai liputan. Komputer juga sudah sejak lama ada.

Tanpa menunggu lama, saya segera merancang sebuah blog. Ya, Anda tidak salah baca dan saya tidak salah tulis. Saya membangun satu blog sederhana di Blogger.com, bukannya toko online. Kalau mau tahu alasannya, ya balik lagi ke atas tadi: modalnya cekak.

Ada pilihan layanan toko online instan, tetapi tarif bulanannya lebih tinggi dari sewa kamar kos saya. Mau pakai WordPress, musti keluar uang tidak sedikit untuk beli plugin yang mendukung fitur e-commerce.

Ada yang gratis ini, kenapa musti pusing-pusing mencari yang berbayar? Toh, dengan blog gratisan begini juga bisa berjualan, kok.

Tinggal nanti blognya diotak-atik saja sedemikian rupa. Buatkan satu halaman khusus untuk memajang barang dagangan, lengkap dengan tata cara pembelian dan nomor kontak. Beres sudah!

Tampilan uanglama.com di bulan pertama, Juni 2009. GAMBAR: Screenshot dari WebArchive.org 
Tampilan uanglama.com di bulan pertama, Juni 2009. GAMBAR: Screenshot dari WebArchive.org 

Sumber Nafkah

Begitu blog rampung, saya langsung membeli nama domain. Harganya kira-kira Rp95.000-an setelah dikonversi. Tidak sampai Rp100.000, kan? Inilah satu-satunya biaya yang saya keluarkan untuk merintis bisnis online.

Semesta seolah mendukung niat baik saya. Beruntung sekali saya mendapatkan nama domain yang mengandung kata kunci incaran, sekaligus nama barang dagangan utama: uanglama.com.

Nama domain itulah yang kemudian jadi jimat keberuntungan. Karena mengandung kata kunci, lalu didukung dengan konten-konten seputar uang lama dan dunia numismatik yang saya tulis setiap hari, peringkat blog tempat jualan ini segera menanjak.

Blog saya ini sempat nangkring di halaman satu hasil pencarian Google untuk beberapa variasi keyword incaran. Imbasnya adalah jumlah pengunjung yang semakin lama bertambah banyak. Karena saya berdagang, banyak pengunjung berarti potensi terjadinya transaksi juga besar.

Dengan konten seputar uang lama dan numismatik, tentu saja yang datang membaca adalah orang-orang yang punya minat tentang topik tersebut. Ini target yang sangat spesifik sekali. Meski ada yang sekadar penasaran, tetapi banyak yang memang tengah membutuhkan uang lama.

Tak lama kemudian pembeli pertama datang. Saya masih mengingat dengan jelas, customer pertama ini seorang calon pengantin dari Kalimantan. Dia membutuhkan uang lama nominal Rp9 untuk pelengkap mahar.

Meski belum punya stok, saya sanggupi pesanan tersebut. Gampang, ada Pak Wishnu ini. Saya tinggal datang ke Pasar Klithikan, ambil uang-uang yang dibeli customer, lalu sambil pulang mampir sebentar ke Kantor Pos Besar Yogyakarta untuk mengirim pesanan.

Saya juga masih ingat, waktu itu yang dibeli adalah empat lembar Rp1 dan selembar Rp5. Nilai transaksi di luar ongkos kirim sebesar Rp60.000, dengan marjin bersih kisaran Rp15.000 alias 25% dari nilai transaksi. Wow!

Kenang-kenangan catatan daftar pemesan. FOTO: Dok. pribadi
Kenang-kenangan catatan daftar pemesan. FOTO: Dok. pribadi

Lalu pembeli berikutnya berdatangan. Transaksi demi transaksi dicatatkan. Sedikit demi sedikit laba saya kumpulkan, sampai akhirnya bisa menyetok barang sendiri.

Ketika akhirnya saya menikah beberapa bulan berselang, saya sudah bukan pengangguran lagi. Meski baru berskala kamar kos, saya tetaplah seorang pebisnis online. Omsetnya? Cukuplah kalau cuma buat nafkah berdua.

Pada malam midodareni, saya berbisik bangga di telinga Ibu, "Jangan khawatir, anak Ibu sudah punya usaha sendiri. Pengusaha."

Dengan toko online inilah saya menghidupi istri dan anak-anak hingga beberapa tahun berikutnya. Usaha yang bermula dari semi-konsinyasi dengan Pak Wishnu, dengan modal nama domain seharga Rp95.000 dan begadang bermalam-malam, berkembang semakin besar.

Saya bahkan sempat punya satu lemari penuh berisi stok uang lama. Beberapa perajin mahar hias di sejumlah kota di Indonesia secara rutin kulakan uang mahar pada saya.

Terbantu Internet Andal

Oya, saya hampir lupa menceritakan satu hal. Semua yang saya lakukan di atas tak lepas dari dukungan koneksi internet andal. Ada warung internet tepat di sebelah tempat kos. Si pemilik berlangganan Telkom Speedy, layanan internet yang kini dikenal sebagai IndiHome.

Tarif sewanya Rp2.500/jam waktu itu. Ada tarif ekonomis, yakni Rp5.000/3 jam, tetapi hanya berlaku mulai pukul 00.00-06.00 WIB. Ini masih dikasih bonus segelas kopi panas pula.

Promosi menarik sebetulnya, tetapi menuntut saya terus begadang demi mengurusi blog yang baru lahir. Apa boleh buat, demi masa depan saya rela menjungkir-balikkan jam tidur.

Rutinitas saya berubah sejak itu, semata-mata agar dapat memanfaatkan promosi murah tadi. Selepas salat Isya tidur, lalu bangun tengah malam untuk pergi ke warnet, pulang ke tempat kos menjelang Subuh. Begitu terus selama sekian bulan.

Ketika kemudian pindah ke Pemalang karena istri sudah hampir melahirkan, warnet tidak ada yang buka 24 jam seperti di Jogja. Praktis, saya sempat kesulitan online. Sudah coba beli modem, tetapi tidak semua provider sinyalnya sampai. Kalaupun ada yang tertangkap, cuma sayup-sayup sampai.

Lalu tibalah hari itu. Seolah sudah berjodoh, saya melihat seorang teknisi Telkom Indonesia tengah bekerja di seberang rumah mertua. Ternyata ada tiang telepon terpancang di sana.

Saya menepak dahi, kenapa baru tahu sekarang? Sambil merasa geli sendiri saya lantas bertanya-tanya pada teknisi tersebut. Dari beliaulah saya dapat informasi kalau waktu itu sedang ada promosi khusus bagi pelanggan baru.

Tanpa pikir panjang saya langsung menuju Plaza Telkom Pemalang keesokan paginya. Kemudian seorang teknisi datang untuk melakukan survei, sebelum menarik kabel dari ODP terdekat ke rumah.

Kini, saya memang tidak lagi berjualan uang lama. Namun layanan IndiHome alias Internetnya Indonesia masih tetap saya andalkan sebagai penunjang pekerjaan sebagai editor-akuisisi lepas di sebuah aplikasi webnovel, juga mendukung kreativitas anak-anak di rumah.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun