Apa yang terjadi jika Indonesia dijajah oleh Spanyol dan bukan oleh Belanda?
Pertanyaan ini melintas begitu saja di linimasa Quora saya suatu waktu. Sungguh satu pertanyaan yang menggoda hati untuk ikut menjawabnya. Ya, tentu saja langsung saya jawab sesuai apa yang saya pernah pelajari atau baca.
Lupakan saja ketidak-tepatan nama Indonesia dalam pertanyaan tersebut. Jelas, Indonesia tidak pernah dijajah Belanda. Wong ketika Republik Indonesia diproklamasikan, Belanda-nya malah sudah pergi diusir Jepang.
Pun, Indonesia tidak pernah dijajah Jepang. Orang sewaktu bangsa ini menyatakan diri merdeka melalui lisan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, balatentara Dai Nippon dan pemerintahan militer di Nusantara sudah kocar-kacir dihajar pasukan Sekutu.
Ada satu istilah yang saya usulkan untuk menyebut Indonesia di masa penjajahan. Bagaimana kalau buku-buku pelajaran menyebut "Indonesia sekarang adalah bekas koloni Belanda" saja? Singkat, jelas, dan memang begitulah faktanya. Fiks, enggak bisa didebat lagi.
Oke, balik lagi ke pertanyaan, kira-kira seperti apa wajah Indonesia sekarang andai di masa lalu yang datang ke kepulauan ini dan bertahan selama ratusan tahun adalah Spanyol?
Trinidad dan Victoria
Sebetulnya sudah pernah terjadi, kok. Bangsa Spanyol sudah pernah datang dan menetap selama ratusan tahun di Nusantara. Namun fakta ini tidak terlalu diketahui umum karena terjadi pada gelombang awal kedatangan bangsa Eropa ke kepulauan Nusantara. Juga karena terjadinya di Maluku sana, bukan di Jawa.
Interaksi bangsa kita dengan orang Spanyol terjadi sejak November 1521. Tepatnya sewaktu Trinidad dan Victoria, dua kapal yang tersisa dari ekspedisi Ferdinand Magellan, merapat di Pelabuhan Rum Balibunga, Pulau Tidore.
Sekadar informasi bagi yang belum pernah ke Tidore, sampai sekarang Pelabuhan Rum jadi pintu masuk ke pulau mungil ini. Berhadap-hadapan dengan Ternate, serta memiliki latar belakang Pulau Maitara yang pernah menghiasi uang kertas Rp1.000.
Magellan sendiri tidak tampak batang hidungnya waktu itu. Yang suka sejarah pasti tahu kalau Magellan tidak pernah menyelesaikan ekspedisi ini. Dia tewas dibunuh seorang penguasa lokal bernama Lapu-Lapu saat singgah di Cebu, wilayah Filipina kini.
Sepeninggal Magellan, pemimpin ekspedisi sempat berganti-ganti. Sampai kemudian dipercayakan kepada Juan Sebastian Elcano atau ada juga versi yang menyebut nama terakhirnya Delcano. Orang inilah yang menemui Sultan Al Mansyur, penguasa Kesultanan Tidore waktu itu.
Dari kunjungan ini, Spanyol mendapatkan hak eksklusif atas perdagangan cengkeh di wilayah Kesultanan Tidore. Jangan bayangkan wilayah Tidore cuma sepulau mungil itu. Namun membentang luas sampai ke Seram di selatan, sisi timur Halmahera, bahkan hingga kawasan Raja Ampat di kepala burung Pulau Papua.
Konon, utusan Spanyol juga sempat meminta kesediaan Sultan Tidore untuk menyatakan kesetiaan pada Raja Charles I, dengan imbalan proteksi. Ini berarti Spanyol meminta Tidore menjadi negara bawahan.
Benteng Tahula
Sebagaimana lazimnya kekuatan Eropa lain yang datang ke kepulauan kita ini, orang-orang Spanyol minta lahan pada Sultan Al Mansyur untuk mendirikan loji. Maka diberikanlah sepetak tanah di sudut Soasio, berupa sebuah bukit cadas yang berada tepat di tepi laut.
Di sana orang-orang Spanyol membangun sebuah bangunan sebagai gudang sekaligus tempat tinggal. Bangunan ini sekarang dikenal sebagai Benteng Tahula. Letaknya tidak jauh dari Kadato Kie, istana kediaman Sultan Tidore sekarang. Kalau saya tak salah mengira, waktu tempuhnya sekitar 10 menit berjalan kaki.
Kok dekat sekali? Apa enggak takut tahu-tahu ditembak meriam?
Jangan salah paham dulu. Pada masa Benteng Tahula dibangun, istana Sultan tidak berlokasi di tempatnya yang sekarang di Soasio. Pusat Kesultanan Tidore waktu itu masih berada di Rum Balibunga, tidak terlalu jauh dari pelabuhan.
Kelak, istana dipindahkan ke Soasio yang berada di sisi timur pulau usai Tidore terlibat sekian pertempuran dengan Ternate. Jika Tidore bersekutu dengan bangsa Spanyol, maka Ternate disokong orang-orang Portugal.
Benteng Tahula sendiri dari mulanya diniatkan sebagai gudang dan tempat tinggal, lama-lama jadi benteng pertahanan juga. Orang-orang Spanyol menyusun pasukan. Meski tidak bisa dibilang besar, tetapi inilah yang kemudian bersama-sama pasukan Tidore bolak-balik menyerang dan diserang Ternate-Portugal.
Setelah sempat meninggalkan Tidore, orang-orang Spanyol balik lagi. Lumayan lama sih, bangsa Spanyol bercokol di Tidore-Ternate. Sejak mereka pertama kali datang pada 1521 hingga 1663. Kurang-lebih selama 142 tahun.
Untungnya pengaruh Spanyol tidak keburu membesar. Bangsa Belanda juga tertarik berburu rempah-rempah murah dari Maluku dan akhirnya tiba di Tidore-Ternate. Adalah VOC yang kemudian menyingkirkan Spanyol dari dua pulau tersebut.
Jauh sebelum itu, bangsa Portugal sudah terlebih dahulu diusir habis oleh Sultan Baabulah. Pengusiran besar-besaran ini dilakukan menyusul pembunuhan Sultan Hairun oleh Antonio Pimental atas perintah Diego Lopez de Mesquita.
Sejak saat itulah dominasi bangsa asing beralih ke Belanda. Sebuah peristiwa sejarah yang sedikit banyak "menguntungkan" orang-orang pribumi.
Apa pasal?
Penjajahan Total
Mari kita balik ke pertanyaan yang saya tuliskan sebagai pembuka artikel ini. Jawabannya terletak pada "gaya penjajahan" yang diterapkan Belanda terhadap koloni-koloninya.
Cara Spanyol memerintah wilayah jajahannya sangat berbeda sekali dengan Belanda. Â Spanyol tak hanya menguasai teritori suatu wilayah, tapi juga mengubah budaya penduduknya menjadi se-Hispanic mungkin.
Mereka benar-benar menerapkan gold, glory, and gospel. Sudahlah kekayaan alam (berupa rempah-rempah) dikeruk habis-habisan, kekuasaan penguasa lokal dikebiri sekaligus dipaksa tunduk pada Raja Spanyol, mereka juga memaksakan budaya (bahasa, agama, dll.) Hispanic ke wilayah yang dikuasai.
Ini terjadi di benua Amerika. Kecuali Brazil dan eks Guyana, Amerika Selatan berubah jadi semacam "kampung Spanyol" besar. Demikian pula dengan Meksiko dan beberapa negara bagian Amerika Serikat yang dulunya merupakan koloni Spanyol.
Kalau pernah ada yang bertanya mengapa banyak orang Amerika Selatan memiliki nama-nama Spanyol tetapi (maaf) berkulit gelap, inilah akibat penjajahan Spanyol. Suku-suku asli di sana diubah jadi Hispanik, atau setidak-tidaknya mestizo alias indo.
Nama orang-orang, nama tempat, agama yang dipeluk, serta budaya yang berkembang, semuanya serupa seperti di Semenanjung Iberia sana.Â
Contoh paling dekat ya, Filipina. Kalau ada yang menyaksikan pertandingan Palestina vs Filipina, pasti tahu kalau sebagian nama-nama pemain Filipina seperti nama orang Spanyol. Misalnya Sandro Reyes, Jose Porteria atau Amani Aguinaldo.
Cuma memang Filipina tidak seperti koloni Spanyol di Amerika. Mungkin karena setelah Spanyol pergi, mereka sempat diduduki Amerika Serikat. Sehingga Filipina tidak sampai mengadopsi bahasa Spanyol, hanya menyerap begitu intens ke bahasa Tagalog.
Spanyol versi Keling
Jadi, menurut saya, kira-kira seperti di Amerika Latin itulah Indonesia saat ini jika dulu dijajah bangsa Spanyol dan bukan Belanda. Kita bakal jadi orang Spanyol versi keling. Enggak akan ada istilah londo ireng, yang ada spanyol ireng.
Juga enggak akan ada Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sebab yang dipakai adalah bahasa Spanyol. Todos hablamos espaol, seor y seora. Kalaupun Sumpah Pemuda tetap ada dan bahasa Indonesia tetap dijadikan bahasa nasional, unsur Spanyol akan jauh lebih banyak dari sekarang.
Kita enggak cuma akan menyerap  gratis menjadi gratis,  banco menjadi bangku, bandera menjadi bendera, bataco menjadi batako, falso menjadi palsu atau caldo menjadi kaldu. Namun pasti bakal lebih banyak lagi. Sebanyak kata serapan dari bahasa Belanda yang sekarang ada dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, sepertinya enggak akan ada presiden bernama Soekarno, Soeharto, Joko Widodo, apalagi Abdurrahman Wahid atau Bacharuddin Jusuf Habibie. Yang kita kenal mungkin presiden bernama Juan Sebastian, Francisco Mendez, Ferdinand Ronquillo, Pedro Sarmiento, dan sebagainya.
Lalu, mungkin juga saya diberi nama Pablo Neruda alih-alih Eko Nurhuda. Hahaha.
Kemudian kampung halaman kita sangat boleh jadi ikut berganti nama kespanyol-spanyolan pula. Pelabuhan Ratu berubah menjadi Puerto de la Reina, Kayu Agung jadi Gran Madera, Banyuwangi jadi Agua Fragante.
Terlebih di Jakarta sebagai pusat pemerintahan, rasa-rasanya bakal banyak yang berubah namanya menuruti selera penguasa Spanyol. Enggak akan ada Kebon Jeruk, yang ada Jardn de Naranjas. Cempaka Blanca, bukan Cempaka Putih. Gran Campo de Arroz, bukan Sawah Besar.
Ini hanya perkiraan sih, sedikit berandai-andai dengan mengacu pada yang terjadi di eks jajahan Spanyol lainnya.
Oya, bagi yang belum tahu, Quora adalah semacam sosial media atau boleh juga disebut situs berbasis user generated content. Di sana kita bisa mengajukan pertanyaan apa pun dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan member lain. Simpelnya begitu.
Semoga penjelasan satu paragraf ini tidak dianggap promosi dan dicekal oleh admin Kompasiana, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H