Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Saya Kalah 10 Juta Gara-gara Kamu, Mas...."

18 Juni 2022   06:30 Diperbarui: 18 Juni 2022   06:46 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BULAN Juni di tahun genap seperti ini seharusnya menjadi waktu bagi penggemar sepak bola sedunia untuk berpesta. Disuguhi tontonan berkelas dari pemain-pemain terbaik dunia dalam ajang kalau tidak Piala Dunia, ya Piala Eropa.

Sayang, wabah Covid-19 membuat beberapa agenda sepak bola di tahun genap harus tertunda. Euro 2020 yang seharusnya dimulai sejak 12 Juni 2020, dijadwal ulang menjadi 11 Juni 2021. Demikian pula Piala AFF 2020 yang baru pada digelar akhir 2021 lalu.

Untung saja Piala Dunia 2022 tidak ikut-ikutan ditunda. Hanya bergeser saja ke akhir tahun, bukan pada pertengahan tahun. Ini dilakukan dengan alasan kondisi cuaca tuan rumah yang bagi kebanyakan negara Barat tergolong ekstrem.

Ngomong-ngomong Piala Dunia, saya jadi ingin bercerita tentang sebuah kejadian yang lantas berujung keluarnya ucapan seperti pada judul tulisan ini. Ucapan berusia 20 tahun yang sangat membekas sekali dalam ingatan saya. Sebuah ucapan penuh sesal dari orang yang bahkan tidak saya ketahui namanya. 

Entah kapan saya bisa melupakan kejadian dan ucapan tersebut. Atau malah tidak akan pernah? Entahlah.

***

Ketika itu saya tengah bekerja sebagai tenaga paruh waktu di sebuah hotel bintang empat di Solo.  Saya bertugas sebagai bellboy, ujung tombal dalam menyambut dan menerima tamu. Termasuklah sosok yang akan saya ceritakan di sini.

Piala Dunia 2002 baru saja memasuki babak knock out. Banyak sekali kejutan yang terjadi. Di antara pertandingan mengejutkan yang melegenda adalah kalahnya Prancis dari Senegal di partai pembuka. Juga betapa perkasanya Korea Selatan yang lolos ke fase gugur sebagai juara Grup D.

Sebagai pandemen sepak bola, tentu saja saya mengikuti setiap pertandingan. Walaupun pada sebagian besar kesempatan harus curi-curi menonton tivi di lobi sambil membuka-tutup pintu serta menyapa tamu. Atau hanya menonton beberapa puluh sampai belas menit terakhir karena mendapat shift di jam sibuk.

Lalu tibalah hari itu. Selasa, 18 Juni 2002.

Si Petaruh

Saya tengah berjaga di dekat pintu lobi, sambil menonton satu tayangan ulang pertandingan Piala Dunia 2002 melalui tivi layar lebar, ketika datang seorang tamu. Dari penampilannya, saya terka tamu ini seorang pebisnis muda.

Hotel tempat saya bekerja-paruh-waktu saat itu memang dikenal sebagai tempat transit pebisnis dari Surabaya, Jakarta, juga Pekalongan dan Semarang. Beberapa menteri dan artis pernah pula menginap di sana, tetapi yang dominan adalah para pebisnis.

Begitu tamu tersebut turun dari mobil, saya menyapa sembari memberi senyum, lalu sigap menurunkan barang bawaannya dari bagasi. Standar pelayanan seorang bellboy. Sembari menunggu sang tamu check in, saya berdiri di samping troli barang, melanjutkan mencuri-curi tonton pertandingan yang tengah ditayangkan ulang.

Rupanya saya terlalu asyik menonton, sampai-sampai tidak tahu kalau tamu tadi sudah selesai check in dan bersiap naik ke kamar. Saya tergeragap kaget bercampur malu ketika tamu tersebut memanggil saya, diiringi gerak tubuh yang mengisyaratkan bahwa ia telah selesai check in dan minta diantar naik.

Dari momen singkat tersebut, tamu tadi tahu saya suka sepak bola. Dalam perjalanan dari lobi ke kamar, kami lantas mengobrol seputar Piala Dunia yang tengah berlangsung.

"Mas, nanti Jepang lawan Turki kira-kira mana yang menang?" tanya si tamu pada saya.

Saya tak ragu-ragu menjawab,  "Rasanya Jepang bakal menang, Pak. Walaupun mungkin cuma dengan skor tipis, 1-0." Kira-kira begitu jawaban saya padanya.

Sebuah Analisa

Dasar jawaban saya waktu itu adalah penampilan Jepang yang, menurut saya, lebih menjanjikan di fase grup. Dari 3 pertandingan di Grup H, Jepang tak terkalahkan dan mengoleksi 7 poin untuk menjadi pemuncak grup.

Empat dari 7 poin Jepang itu di antaranya dipetik Jepang dari Belgia dan Rusia, yang pada saat pengundian grup masuk dalam Pot B. Rusia adalah juara Grup 1 di babak prakualifikasi zona Eropa, sedangkan Belgia runner up Grup 6 dan menang meyakinkan melawan Rep. Ceska di babak play-off.

Menurut hemat saya, Rusia dan Berlgia bukanlah lawan enteng bagi Jepang. Dengan demikian saya beranggapan sungguh spesial  sekali Jepang dapat mengambil poin dari keduanya.

Sedangkan Turki, tim yang saat pengundian masuk Pot B ini bahkan hanya mampu bermain imbang melawan Kosta Rika (Pot D), peserta asal zona CONCACAF yang secara tradisional didominasi Amerika Serikat dan Meksiko.

Tidak cuma itu. Kelolosan Turki ke fase gugur ditentukan pada partai terakhir melawan China, yang sebelum bertanding sudah dipastikan tersingkir.

Dari jajaran pemain, Jepang ketika itu diperkuat bintang-bintang muda yang tengah jadi bahan perbincangan di Eropa. Ada Ono Shinji--atau Shinjo Ono kalau menuruti pakem penulisan nama Barat (Feyenoord), Inamoto Junichi (Arsenal), Kawaguchi Yoshikatsu (Portsmouth), serta si legendaris Nakata Hidetoshi (AC Parma).

FOTO: Lapresse via sport.sky.it
FOTO: Lapresse via sport.sky.it

Lalu pelatih timnas Jepang adalah Phillippe Troussier, orang Prancis yang dua tahun sebelumnya mengantar Samurai Blue menjuarai Piala Asia 2000.

Bagaimana dengan Turki?

Banyak sih, pemain Turkiye yang merumput di liga-liga top Eropa. Beberapa di antaranya Okan Buruk dan Emre Belozoglu yang kala itu memperkuat salah satu tim idola saya: Inter Milan.

Namun pemain-pemain Turki yang merumput di luar negeri, menurut saya, tidak terlalu menonjol di klub masing-masing. Sosok pelatihnya, Senol Gunes, pun tak begitu meyakinkan. Kiprah bersama Turki adalah debut baginya melatih timnas.

Jangan lupa satu faktor lain: Jepang adalah tuan rumah bersama Korea Selatan. Pertandingan melawan Turki dihelat di Miyagi Stadium, sebuah stadion berkapasitas 49.133 penonton yang terletak di kota Rifu, Prefektur Miyagi.

Kalah Rp 10 Juta

Berdasarkan deretan data-fakta itulah saya lebih menjagokan Jepang ketimbang Turki. Dalam bayangan saya, pertandingan mungkin bakal berjalan ketat. Bisa-bisa sampai adu penalti, tetapi tetap saja Jepang yang akan jadi pemenang.

"Yakin Jepang yang bakal menang, Mas?" Sang tamu coba menegaskan. Kami sudah sampai di depan pintu kamarnya.

"Kalau saya sih, lebih menjagokan Jepang, Pak," jawab saya, sembari membukakan pintu kamar.

Bagi saya, jawaban ini mempunyai dasar kuat. Setidaknya sependek apa-apa yang saya ketahui. Bukan jawaban asal bunyi, asal kelihatan paham sepak bola.

Satu hal yang tidak saya sangka-sangka sama sekali, ternyata jawaban tersebut ditelan bulat-bulat oleh tamu tadi. Begitu masuk kamar, ia merogoh kantong. Dari sana dikeluarkannya handphone, yang kalau saya tak salah lihat Nokia Communicator, lalu menelepon seseorang entah siapa.

"Gue pasang Jepang, ya. Sepuluh juta," ucapnya di telepon.

Tentu saja saya kaget. Benar-benar langsung tertegun dibuatnya.

Saya pikir tadi kami hanya ngobrol biasa sebagai sesama penggemar sepak bola. Rupanya si tamu ini meminta semacam petunjuk untuk pasang taruhan.

Saya lantas jadi teringat, sepanjang kami mengobrol sejak memasuki lift hingga saya pamit meninggalkan kamarnya tadi, tamu saya tersebut bahkan tidak kenal seorang pun pemain Turki maupun Jepang.

Jadi, kuat dugaan dia bukan penggemar sepak bola. Dia hanya menjadikan sepak bola sebagai ajang taruhan.

FOTO: imdb.com
FOTO: imdb.com

Sebagaimana kita ketahui bersama, pertandingan Jepang vs Turki memang berlangsung sangat sengit. Saya tidak salah. Namun Jepang sudah kecolongan satu gol pada menit ke-12.

Kiper Seigo Narazaki melakukan kesalahan positioning ketika Ergun Penbe mengambil sepak pojok di sisi kiri pertahanan Jepang. Akibatnya, Umit Davala yang juga luput dari kawalan bek tuan rumah, dapat dengan mudah menceploskan bola ke gawang kosong dengan sundulannya.

Jepang tak pernah bisa membalas hingga pertandingan usai. Turki melaju ke babak 8 besar. Tamu saya tadi kehilangan Rp 10 juta.

Pagi-pagi hari berikutnya, saat saya menyapa di lobi ketika ia hendak check out, tamu tersebut menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, "Jepang kalah, Mas. Saya kalah 10 juta nih, gara-gara kamu."

Saya tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam, sama sekali tidak menanggapi. Juga tidak menunjukkan reaksi apa pun. Namun demikian ucapannya tersebut tak akan pernah bisa saya lupakan.

Ya, 20 tahun sudah berlalu. Kalau ada bayi perempuan lahir di hari itu, saat ini bayi tersebut sudah menjadi seorang gadis.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun