"[...] Beberapa kaca jendela rumah berkamar tiga itu telah pecah dan meninggalkan lubang yang besar. Lantai rumah ini awalnya hanya berupa tanah. Oleh warga sekitar, lantai tanah tersebut lalu dicor menggunakan semen. Begitu pula atap rumbia di dapur rumah yang rusak parah, lantas diganti warga menggunakan seng." Demikian saya kutip dari laman RadarBangka.co.id.
Didorong keinginan berbuat sesuatu untuk Nenek Amina, serta rasa penasaran akan jalannya upacara 18 Agustus di tanjung tempat Kakek Dullah, dkk. mengibarkan bendera, medio Agustus 2017 saya terbang kembali ke Tidore. Sendirian. Mandiri. Tujuan utamanya bertemu Nenek Na, bertanya lebih banyak mengenai kisah kepahlawanan pemuda-pemuda Mareku, dan ikut upacara.
Jumat, 18 Agustus 2017, jalan yang merupakan jalur utama Soasio-Rum di sekitar monumen ditutup separuh. Sebuah tenda besar didirikan di sebelah monumen, menutup sebagian badan jalan. Beberapa petugas dari Dinas Perhubungan berjaga-jaga pada kedua sisinya, mengatur kendaraan yang lewat baik dari arah Rum maupun Soasio. Anak-anak sekolah, ibu-ibu PKK, warga setempat, semua tumpah ruah memadati sekitaran monumen.
Saya datang bersama Alex Toduho, putera Tomagoba yang semasa kuliah di Jogja bernyanyi dalam grup rap Hatelamo. Olan dan Ipul menemani kami. Dari Alex saya tahu ada Bapak Achmad Mahifa, Wali Kota Tidore Kepulauan periode 2005-2015, beserta isteri yang turut hadir. Tokoh yang kisah hidupnya dibukukan oleh Alberthine Endah dalam novel Laki-Laki dari Tidore ini duduk berdekatan dengan Sangaji Laho. Ada pula Letnan Ngofa Moch. Camaluddin Alting alias Ko Udin yang datang mewakili Jou Sultan Hi. Husain Syah. Jou sedang sakit waktu itu.
Upacara dimulai. Seorang anggota kepolisian menjadi komandan upacara, sedangkan Lurah Mareku bertindak sebagai pembina upacara. Di sebelah utara, arah menuju Rum, tampak Paskibraka dengan satu-satunya anggota perempuan sebagai pembawa baki.
Yang menarik bagi saya, selain pasukan berseragam putih-putih yang biasa kita lihat dalam upacara-upacara tujuhbelasan, Paskibraka di sini dikawal oleh pasukan Sangaji Jiko Malofo. Berseragam hitam-hitam, bertelanjang kaki, dan memegang parang.
Saya abadikan semuanya dalam rekaman video yang kemudian saya unggah ke kanal pribadi di YouTube.
Jalannya upacara sangat khidmat. Mobil dan sepeda motor yang hendak melintasi badan jalan rela berhenti sampai upacara selesai. Saya menyaksikan sendiri betapa warga Mareku, juga masyarakat Tidore pada umumnya, begitu menghargai dan menghayati peristiwa 18 Agustus 1946. Menurut Olan dan Ipul, upacara kali itu mendapat perhatian media lebih banyak dari sebelum-sebelumnya.
Selepas upacara ada sesi khusus pemberian donasi dan penghargaan untuk Nenek Na. Semasa Kakek Dullah hidup, kedua pelaku sejarah tersebut sama-sama mendapatkannya. Sayang, Kakek Dullah telah meninggal dunia pada 2009 lalu.