Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Perjumpaan dengan Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore

18 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 19 Juli 2018   17:26 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyimak baik-baik. Olan mengeraskan volume suara begitu video mulai berjalan. Kemudian suara Kakek Dullah terdengar. Di detik itu pula saya menepak kepala. Bahasa Tidore!

"Nggak ada terjemahannya?" tanya saya sembari nyengir.

"Tidak ada." Olan menggeleng. Wajahnya tanpa ekspresi.

Baiklah. Mari kita makan malam saja. Perut ini sudah sejak tadi sebenarnya minta diisi. Kepada Olan saya minta alamat tautan video tadi, sembari berpesan kalau sempat beri terjemahan di video agar tak hanya orang berbahasa Tidore saja yang paham cerita Kakek Dullah. Olan mengiyakan.

Kami lalu beranjak ke dalam, menyalami tuan rumah yang langsung menunjukkan letak dapur. Sebuah meja bulat besar sesak berisi makanan telah menanti. Ada nasi putih, tapi saya lebih memilih ketela rebus. Dilihat sekilas saya yakin ketela tersebut empuk enak. Mempur, kalau kata orang jawa.

Beberapa potong ketela, beberapa jumput daun pakis hijau yang saya ambil dari sayur, sepotong besar ikan goreng, dan dua-tiga sendok sambal, berpindah ke dalam piring di tangan saya. Ini baru makan ala Maluku. Bukan nasi, orang Maluku sejak dulu tidak makan nasi. Mereka terbiasa mengonsumsi sagu dan ketela sejak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu.

Saya terlalu malas pindah ke depan, ke tempat teman-teman lain makan dan bercengkerama dengan ayah Ade. Jadi saya pun duduk di kursi kosong dekat meja makan. Kebetulan pula ada ibu tuan rumah, saya ajak beliau ngobrol-ngobrol sembari menyantap habis makanan. Tanpa malu-malu saya menambah setengah porsi lagi.

Benar-benar makan malam yang nikmat!

Upacara 18 Agustus

Hingga kembali ke Pemalang pada 14 April 2017 saya masih terus teringat pada Nenek Amina Sabtu, alm. Kakek Abdullah Kadir, juga peristiwa pengibaran bendera 18 Agustus 1946. Terlebih saat mencari referensi lebih lanjut, yang saya temui berita-berita bernada kepiluan dari surat kabar setempat.

Reportase Malut Post pada Agustus 2015, misalnya. Reporter Safri Noh dalam liputan yang juga dipublikasikan ulang oleh beberapa koran dalam jaringan Jawa Pos News Network (JPNN), di antaranya Radar Bangka, tersebut menggambarkan kondisi rumah Nenek Na yang tergolong tak layak. Beruntung Nenek dilingkungi tetangga-tetangga baik hati, yang selalu ringan tangan membantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun