Esensi Kehidupan
Rembulan tampak cemerlang dipadukan dengan bintang- bintang betebaran layaknya pasangan serasi.Bersinar terang menebarkan cahaya ke seluruh negeri. Sesekali suara jangkrik di semak-semak tak mau kalah ikut mengiringi indahnya malam . Nyamuk-nyamuk beradu untuk mendarat ke permukaan kulit sebagai pelepas dahaga. Heningnya malam membuat orang-orang meringkuk di atas kasur menikmati mimpi indahnya. Terlelap dan terjaga sepanjang tidur.
Namun, tidak bagi Munir. Ia bermunajat di sepertiga malam. Membawa keluh kesah. Air matannya membasahi sajadahnya yang sudah usang. Merengek seperti anak yang ingin meminta sesuatu pada orang tuanya. Dalam doanya, begitu khusyuk. Penuh harapan.
"Ya Allah, limpahkan rezeki yang barokah untuk keluargaku.Panjangkan dan berkahilah umurku. Berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakan keluarga hamba.Aamiin." Sambil menelangkupkan kedua tangan ke wajahnya.
                              ***
Matahari mulai menyongsong, berbanding lurus akan harapan yang baru bagi setiap insan dalam menapaki setiap jengkal kehidupan, mencapai hari yang lebih baik dari sebelumnya. Pun demikian dengan Munir, setiap harinya berharap hidupnya akan penuh keberkahan dan bisa merubah nasibnya menjadi lebih baik.Â
Pekerjaan yang tidak menentu membuatnya harus lebih kerja keras lagi untuk mnafkahi keluarganya, mengingat ia kepala rumah tangga. Jika ramai, orang mencari tanah untuk dijual, Munir muncul beradu harga dengan pembeli. Bisa dibilang, ia mahir bernegosiasi hingga mencapai keputusan akhir. Jika pekerjaannya sebagai makelar tanah sedang sepi, ia mengambil job sebagai pembaca al-qur'an yang di panggil dari rumah ke rumah.Â
Tak perlu membuka kitab Al-qur'an untuk dibaca dan disimak, baginya membaca al-qur'an tanpa melihat sudah menjadi kebiasaannya. Benar saja, ia seorang hafidz qur'an. Tak sedikit pula yang merendahkannya, bukan karena ia seorang hafidz qur'an, tetapi sebagai orang "Melarat" dan tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Bahkan, beberapa keluarganya pun berpikir demikian.Akan tetapi, tak sedikitpun perasaan minder melekat padanya, ucapan orang-orang mengenai dirinya, dijadikan cambukan untuk berevolusi baik untuk dia dan keluarganya.
"Umi, hari ini abi ada undangan ngaji di desa Sumber Agung, kemungkinan pulang agak siang. Bismillah, nanti jika ada pemasukan tambahan walaupun tidak banyak setidaknya bisa membantu untuk membayar ujian  Najwa di pondok, sisanya kita cari lagi." Pungkasnya, sambil mengambil tempe goreng yang diletakkan di piring untuk menemani 1 entong nasi, tak ketinggalan pelengkap andalan krupuk adalah menu wajib yang harus ada dalam setiap kali makan.Â
"Nggih, abi."Pungkas istrinya. Tak banyak dialog pagi itu.Karena memang Anisa, istri Munir sedang sibuk menggoreng tempe di dapur dengan didoninasi tembok kuning kecoklatan berukuran tak terlalu luas, mungkin hanya 2x1 meter. Dipindahkannya, tempe goreng yang telah matang ke serok menggunakan sutil, menyilangkan dan mematikan kompor. Kemudian bergabung satu meja dengan suaminya, ikut sarapan.
Sehari-hari, tempe dan tahu menjadi primadona dalam menu makannya. Mereka punya prinsip, asal makan bersama dan pengganjal lapar apapun lauknya tidak masalah. Lagipula, keuangan juga seret. Jadi mereka harus menghemat. Belum lagi harus menghidupi ke empat anaknya. Si bungsu masih berumur 1,5 tahun.Â