SEBUAH deskripsi yang mengurai soal kebebasan. Sedangkan di hadapannya dibentangkan, aturan-aturan kaku yang mengikat. Kemerdekaan 100 persen, itu kesukaan semua manusia. Tapi itu akan terbentur. Setiap kita harus berkompromi dengan situasi. Terlebih yang berada di Negara hukum (rechtsstaat).
Yang dijunjung tinggi adalah rule of law (supremasi hukum). Kita hanya dapat memperoleh kemerdekaan atau kebebasan yang bertanggung jawab. 'Kebebasan terbatas'. Bahwa di atas kebebasan kita, masih berdampingan dengan kebebasan orang lain. Itu sebabnya, kebebasan kita akan parsial. Problemnya, kebebasan baru berpihak pada para elit pemerintah. Rakyat belum marasakan sepenuhnya.
Kita telah mengerti. Bahkan menerimanya, sedari awal sejak bernegara. Bahwa negara hukum menjadikan keadilan sebagai landasan. Seperti itu pula soal 'keterbukaan'. Yang cenderung digunakan untuk memuluskan kepentingan politik pribadi dan kelompok. Tentu, rakyat tak mau berada di 'Negara akuarium'. Sekedar menjadi objek. Lantas subjeknya para bandit.
Dimana segala gerak-geriknya diintip. Area privasinya diambil alih. Ditarik-ubar ke ruang publik. Lalu menjadi seperti pementasan konsumsi publik. Satu contoh diantaranya, ialah urusan etika dan moral. Urusan kebaikan, kejahatan dan keburukan pribadi secara politis selalu diributkan publik.
Lebih parah lagi, jika urusan ranjang seseorang dipindahkan menjadi pembicaraan di 'luar kamar'. Dan yang paling santer menghiasi ruang diskusi-diskusi kita adalah kritik terhadap pemerintah dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 tahun 2008. Seakan kebebasan kita diteror.
Beberapa Pasalnya juga dinilai bermakna multitafsir dan menjadi 'Pasal karet'. Tegas adanya tuntutan menghapus Pasal 27 ayat 3, dalam UU tersebut. Selebihnya, frase ancama kekerasan dan menakut-nakuti yang diatur dalam Pasal 29 UU ITE. Beberapa contoh regulasi yang berpotensi memicu keributan.
Harusnya urusan moralitas, itu soal pribadi kita masing-masing. Kenapa Negara terlampau jauh mencapurinya?. Negara yang mengandalkan pendekatan represif, kurangi diaog merupakan bentuk dan tanda dari Negara otoriter. Sebuah tradisi bernegara yang menjadikan rakyat sebagai objek.
Sungguh sangat tidak produktif dalam pembangunan. Pemerintah, sepantasanya memposisikan Negara dan rakyat sebagai sama-sama subjek. Agar kemitraan, relasi setara itu terbangun. Karena hanya Negara saja tentu tak mampu mewujud-nyatakan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menghalangi kebebasan rakyat itu tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebetulnya. Pemerintah juga harus adil menyikapi ini. Jangan hanya melihat dari satu arah. Menganggap atau menuduh rakyat yang mengkritik, sebagai fitnah, hoax dan bentuk perlawanan terhadap Negara. Tidaklah seperti itu mestinya.
Pemerintah harus adil sejak berfikir. Negara akuraium itu digambarkan seperti postur neokolonial. Yang pemerintahannya berobsesi menguasai semua hak-hak pribadi rakyatnya. Mau melampawi kuasa Tuhan. Bahkan hak hidup rakyat pun, sengaja diambil alih. Struktur penjajahan budaya, yang mengarah pada pembauran atau asimilasi budaya dilakukan. Terbentuklah budaya baru. Kearifan lokal berlahan hilang.
Rakyat yang terbiasa bicara, mulai dilarang. Begitu pula berlaku untuk rakyat, yang senang menulis, dihantam. Sebuah tabiat kekuasaan yang sangat riskan. Tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan demokrasi. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam Pancasila penerapannya seperti menggantung.
Keadilan masih sebatas dalam teks. Tentang berada, apalagi. Koruptor di Negara ini makin menggila. Tontotan elit terkait drama politik merebut kekuasaan juga mulai keluar batas-batas kelaziman dan adab berdemokrasi. Buktinya, rekayasa dan kecurangan masih dilakukan. Â
Dilema sebuah 'Negara akuarium'. Segudang harapan, sekaligus pendapat yang dibangun apik soal kebebasan. Hanya menjadi sekedar pemanis. Kebebasan itu akan takluk, terlepas tanpa daya di bahwa kaki kekuasaan. Tetap pemerintah yang merasa superior. Kemudian dianggapnya pelengkap penderita.
Dimana-mana, di penjuru, sudut dan pusat kota. Pemerintah punya tangan dan kaki memantau rakyatnya. Itu sebetulnya positif. Sayangnya, keperluan pemantauan itu hanya semata-mata membungkam rakyat. Disinilah kendalanya. Menjadi kegelisahan kita semua. Tidak harus begitu.
Semua orang merindukan kebebasan. Orang-orang menolak jika kebebasannya dipenjara. Kecuali mereka yang benar-benar melakukan perbuatan jahat. Merusak, membahayakan orang lain layak dipantau. Di Negara akuarium, semua orang baik pun dicurigai. Dipantau sampai urusan kasur dan dapur.
Radar dipakai belakangan ini hanya untuk mengamankan kepentingan kekuasaan. Jangan sampai ada kritik. Kisruh bisa diciptakan, bergantung kepentingan pemerintah. Itu sebabnya, Negara punya Intel seperti BIN dan BAIS (TNI dan POLRI) untuk mengendalikan keamanan rakyat. Kadang pekerjaan, ganda juga patut kita duga dilakukan mereka.
Mereka mahir soal manajemen konflik. Bagaimana membuat konflik, meredakannya, membuat konflik baru dan seterusnya dapat juga dilakukan. Atribut pemerintah punya banya fungsi. Sehingga pengawasan melekat sebetulnya dapat dimanfaatkan rakyat. Negara akuarium disatu sisi melahirkan ketidaknyamanan.
Terhadap gerak-gerik rakyat meski positif bila dicurigai akan diboikot. Bahkan dibekukan atau dibubarkan seperti kasus HTI dan kasus FPI. Pembubaran Ormas itu tecatat dalam sejarah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mesti tidak perlu terjadi pembubaran Ormas seperti itu.Â
Indonesia bukanlah Negara akuarium, sebetulnya. Antara Negara dan rakyat harus ada ikatan emosional yang kuat. Persaudaraan, rasa memiliki dan saling melindungi, bukan pemerintah meluluh berfikir negatif terhadap gerakan kritik rakyat. Pemerintah yang baik harusnya dapat merawat kritik agar tetap ada.
Seharusnya lebih menghormati kebebasan sipil. Undang-undang yang menjerat, membatasi kebebasan sejatinya dikurangi atau dihilangkan. Lahirkan undang-undang akomodatif, toleran pada kebebasan berpendapat rakyat. Jangan memproduksi raturan Negara yang mengekang kebebasan rakyat untuk berinovasi dan berkreasi.
Begitu juga wakil rakyat diharapakan ketat membabat dan menutup cela pembuatan aturan-aturan yang hanya memperkaya kelompok kapital. Aturan yang menguntungkan oligarki politik juga mustinya dibatasi. Sebab, jika ruang itu dibuka lebar. Dibiarkan, otomatis rakyat yang makin kesusahan mendapatkan keadilan juga kesejahteraan.
Buatlah regulas dengan frame yang merakyat. Yang berbasis pada kepentingan-kepentingan murni rakyat. Bukan kepentingan elit politik yang dibalut dengan alasan bahwa itu kepentingan rakyat. Kesadaran hukum dibangun melalui prodak hukum yang berpihak pada hak-hak rakyat kecil.
Keteladanan dikokohkan, agar rakyat tak hilang panutannya terhadap pemerintah. Negara akuarium mendeskripsikan tatanan Negara yang memposisikan rakyat begitu telanjang. Namun, pemerintah jauh dari praktek-praktek transparan itu. Mereka berada di luar akuarium. Pemilik akuarium, itulah yang tidak adil.
Bernegara seperti hanya melakukan akrobat. Menampilkan tontonan yang baik, sekedar memuaskan penonton. Posisi penonton disini, sekaligus dirangkap pemerintah dan pemodal. Kemudian rakyat diadu, menjadi kompetitor. Para penguasa itu tertawa 'termehek-mehek' melihat rakyat saling menuding. Rakyat dihadap-hadapkan untuk saling menyalahkan.
Siapa yang paling nasionalis. Siapa yang paling Pancasilais, siapa yang radikalis dan teroris dan seterusnya. Tuduh-menuduh itu berkembang di tengah rakyat. Sedangkan para koruptor itu tidak terpantau, mereka melenggang manis. Terus-menerus mencuri. Bahkan sedihnya, sebagian mereka dilindungi. Takut dibongkar aib-aib korupsinya.
Negara akuarium menampilkan potret keraguan dan saling curiga. Karena pemerintah belum percaya rakyatnya itu tertib dan disiplin, maka aturan-aturan itu dibuat. Bahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik hanya bersifat formalitas, lembek. Penerapannya masih jauh dari harapan.
Undang-undang ITE yang diperketat. Tandanya pemerintah takut dikritik rakyatnya sendiri. Harusnya UU tersebut dihapus. Percayalah yang dikritik atau dihujat rakyat itu demi kepentingan memajukan Negara Indonesia tercinta. Pemerintah tidak perlu bengis dan galak pada rakyatnya sendiri.
Panggung diskriminasi itu bernama negara akuarium. Istilah populernya negara transparan. Alasan transparansi itu nyatanya hanya diterapkan ke rakyat. Terlebih mereka yang dianggap lawan politik pemerintah. Padahal, semestinya transparansi (akuarium) dialamatkan untuk pelayanan publik. Untuk pemerintah yang mengelola uang, aset, dan sumber daya alam milik rakyat. Â
Memang pemerintah sering melakukan kriminalisasi terhadap lawan-lawan politiknya. Akhirnya transparansi, demokrasi dan HAM menjadi dalil pemerintah. Seperti inilah bukti apologi nyata dari permainan politik pemerintah yang tidak negarawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H