Keteladanan dikokohkan, agar rakyat tak hilang panutannya terhadap pemerintah. Negara akuarium mendeskripsikan tatanan Negara yang memposisikan rakyat begitu telanjang. Namun, pemerintah jauh dari praktek-praktek transparan itu. Mereka berada di luar akuarium. Pemilik akuarium, itulah yang tidak adil.
Bernegara seperti hanya melakukan akrobat. Menampilkan tontonan yang baik, sekedar memuaskan penonton. Posisi penonton disini, sekaligus dirangkap pemerintah dan pemodal. Kemudian rakyat diadu, menjadi kompetitor. Para penguasa itu tertawa 'termehek-mehek' melihat rakyat saling menuding. Rakyat dihadap-hadapkan untuk saling menyalahkan.
Siapa yang paling nasionalis. Siapa yang paling Pancasilais, siapa yang radikalis dan teroris dan seterusnya. Tuduh-menuduh itu berkembang di tengah rakyat. Sedangkan para koruptor itu tidak terpantau, mereka melenggang manis. Terus-menerus mencuri. Bahkan sedihnya, sebagian mereka dilindungi. Takut dibongkar aib-aib korupsinya.
Negara akuarium menampilkan potret keraguan dan saling curiga. Karena pemerintah belum percaya rakyatnya itu tertib dan disiplin, maka aturan-aturan itu dibuat. Bahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik hanya bersifat formalitas, lembek. Penerapannya masih jauh dari harapan.
Undang-undang ITE yang diperketat. Tandanya pemerintah takut dikritik rakyatnya sendiri. Harusnya UU tersebut dihapus. Percayalah yang dikritik atau dihujat rakyat itu demi kepentingan memajukan Negara Indonesia tercinta. Pemerintah tidak perlu bengis dan galak pada rakyatnya sendiri.
Panggung diskriminasi itu bernama negara akuarium. Istilah populernya negara transparan. Alasan transparansi itu nyatanya hanya diterapkan ke rakyat. Terlebih mereka yang dianggap lawan politik pemerintah. Padahal, semestinya transparansi (akuarium) dialamatkan untuk pelayanan publik. Untuk pemerintah yang mengelola uang, aset, dan sumber daya alam milik rakyat. Â
Memang pemerintah sering melakukan kriminalisasi terhadap lawan-lawan politiknya. Akhirnya transparansi, demokrasi dan HAM menjadi dalil pemerintah. Seperti inilah bukti apologi nyata dari permainan politik pemerintah yang tidak negarawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H