Keadilan masih sebatas dalam teks. Tentang berada, apalagi. Koruptor di Negara ini makin menggila. Tontotan elit terkait drama politik merebut kekuasaan juga mulai keluar batas-batas kelaziman dan adab berdemokrasi. Buktinya, rekayasa dan kecurangan masih dilakukan. Â
Dilema sebuah 'Negara akuarium'. Segudang harapan, sekaligus pendapat yang dibangun apik soal kebebasan. Hanya menjadi sekedar pemanis. Kebebasan itu akan takluk, terlepas tanpa daya di bahwa kaki kekuasaan. Tetap pemerintah yang merasa superior. Kemudian dianggapnya pelengkap penderita.
Dimana-mana, di penjuru, sudut dan pusat kota. Pemerintah punya tangan dan kaki memantau rakyatnya. Itu sebetulnya positif. Sayangnya, keperluan pemantauan itu hanya semata-mata membungkam rakyat. Disinilah kendalanya. Menjadi kegelisahan kita semua. Tidak harus begitu.
Semua orang merindukan kebebasan. Orang-orang menolak jika kebebasannya dipenjara. Kecuali mereka yang benar-benar melakukan perbuatan jahat. Merusak, membahayakan orang lain layak dipantau. Di Negara akuarium, semua orang baik pun dicurigai. Dipantau sampai urusan kasur dan dapur.
Radar dipakai belakangan ini hanya untuk mengamankan kepentingan kekuasaan. Jangan sampai ada kritik. Kisruh bisa diciptakan, bergantung kepentingan pemerintah. Itu sebabnya, Negara punya Intel seperti BIN dan BAIS (TNI dan POLRI) untuk mengendalikan keamanan rakyat. Kadang pekerjaan, ganda juga patut kita duga dilakukan mereka.
Mereka mahir soal manajemen konflik. Bagaimana membuat konflik, meredakannya, membuat konflik baru dan seterusnya dapat juga dilakukan. Atribut pemerintah punya banya fungsi. Sehingga pengawasan melekat sebetulnya dapat dimanfaatkan rakyat. Negara akuarium disatu sisi melahirkan ketidaknyamanan.
Terhadap gerak-gerik rakyat meski positif bila dicurigai akan diboikot. Bahkan dibekukan atau dibubarkan seperti kasus HTI dan kasus FPI. Pembubaran Ormas itu tecatat dalam sejarah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mesti tidak perlu terjadi pembubaran Ormas seperti itu.Â
Indonesia bukanlah Negara akuarium, sebetulnya. Antara Negara dan rakyat harus ada ikatan emosional yang kuat. Persaudaraan, rasa memiliki dan saling melindungi, bukan pemerintah meluluh berfikir negatif terhadap gerakan kritik rakyat. Pemerintah yang baik harusnya dapat merawat kritik agar tetap ada.
Seharusnya lebih menghormati kebebasan sipil. Undang-undang yang menjerat, membatasi kebebasan sejatinya dikurangi atau dihilangkan. Lahirkan undang-undang akomodatif, toleran pada kebebasan berpendapat rakyat. Jangan memproduksi raturan Negara yang mengekang kebebasan rakyat untuk berinovasi dan berkreasi.
Begitu juga wakil rakyat diharapakan ketat membabat dan menutup cela pembuatan aturan-aturan yang hanya memperkaya kelompok kapital. Aturan yang menguntungkan oligarki politik juga mustinya dibatasi. Sebab, jika ruang itu dibuka lebar. Dibiarkan, otomatis rakyat yang makin kesusahan mendapatkan keadilan juga kesejahteraan.
Buatlah regulas dengan frame yang merakyat. Yang berbasis pada kepentingan-kepentingan murni rakyat. Bukan kepentingan elit politik yang dibalut dengan alasan bahwa itu kepentingan rakyat. Kesadaran hukum dibangun melalui prodak hukum yang berpihak pada hak-hak rakyat kecil.